17. Terjaga

11 1 0
                                    

Allah ingin wanita terjaga dan Allah ingin pria menjaga, bukan merusak.

• Ramadhan Al-Madhi •

°°°

Gia menatap wajah Azran dari samping sambil senyum-senyum sendiri, membuat pria yang menjadi objek penglihatannya itu risih. "Ngapain liatin gue kayak gitu?" tanyanya sedikit sinis. Dia masih malu karena telah menangis di depan gadis yang masih menjadi tambatan hatinya.

"Wajah Azran lucu banget kalo abis nangis. Apalagi idungnya merah udah kayak badut." Gia terkekeh karena ucapannya sendiri.

"Tuh, kan, ngeledekin! Gia, sih, nyuruh gue nangis!" Azran tak terima.

Gia tertawa kecil. "Siapa yang ledekin? Lucu, kok, serius!"

Azran hanya diam. Selang beberapa detik, pria itu bertanya untuk mengalihkan topik. "Gimana rasanya setelah mengenal ajaran-ajaran Tuhan lebih jauh?"

Gia menyunggingkan senyum manis. "Rasanya bahagia banget."

Singkat, namun padat.

Azran mengangguk beberapa kali. Karena pegal, ia mengubah posisi. Menyandarkan punggung ke belakang dengan kedua tangan sebagai tumpuan di samping tubuhnya. Jemari tangan kanannya tak sengaja bersentuhan dengan jari telunjuk Gia yang refleks segera menarik tangannya. Azran tersenyum kecil sambil memperhatikan tangannya yang baru saja diabaikan. "Kenapa? Sekarang gak boleh ada sentuhan sama sekali, ya?"

Gia hanya tersenyum sebagai jawaban.

"Tuhan lo jahat, ya?"

Gia menoleh. "Kenapa jahat?"

"Bahkan untuk bersentuhan pun, hamba-Nya dilarang."

"Bukan hanya dilarang, tapi ada sanksinya. Mau tau apa?"

Azran mengangguk.

"Ditusukkannya besi yang mendidih dari ujung kepala, bagi mereka yang sengaja bersentuhan dengan lawan jenis." Azran hanya diam mendengarkan dengan pandangan yang tak lepas dari wajah Gia.

"Awalnya, Gia juga ngerasa kalau itu berlebihan. Tetapi, setelah dicerna lebih jauh, ternyata ada banyak sekali hal mengerikan yang dapat terjadi hanya karena kita bersentuhan. Dengan sanksi itu, Allah ingin wanita maupun pria sama-sama terjaga. Allah ingin wanita terjaga dari hal-hal yang hina dan Allah ingin pria menjaga wanita. Dari sana, kita bisa membuktikan, mana pria yang menjaga dan mana pria yang merusak."

"Tapi, gimana kalo misalkan keadaannya darurat?"

"Tentu saja ada ada beberapa keadaan dimana Allah memperbolehkan interaksi fisik antar lawan jenis. Antara pasien dengan dokter, misalnya. Antara orang yang butuh pertolongan dengan orang yang menolong juga termasuk."

Di saat asiknya berbincang, seorang pria menghampiri mereka.

"Eum—Gia?" Pria itu terlihat gugup. Gia dan Azran menoleh bersamaan.

"Iya?"

"Kamu dicariin Bang Rasyid di pesantren."

Gia mengerutkan keningnya, lalu memeriksa ponsel. Kenapa abangnya itu tidak menelpon saja dan malah menyuruh Galih memberitahunya? Bukankah semalam Rasyid terlihat tidak menyukai pria ini?

"Gia pergi dulu, ya?" pamitnya kepada Azran yang mengangguk sebagai jawaban.

"Jangan pake acara ngumpet-ngumpet lagi kayak tadi!" peringat Gia.

Azran terkekeh kecil. "Lagian, kan, Gia gak mau ketemu gue. Yaudah, gue ngikutin Gia aja diem-diem," alibinya.

"Ya ampun. Iya, tapi, kan, sekarang udah nggak!"

"Yaudah, pulang sono!"

"Dadah!" Gia melambaikan tangannya, meninggalkan Azran yang masih enggan beranjak dari tempatnya.

Karena ini hati Jum'at, Rasyid tidak pergi ke bengkel karena libur. Di sepanjang perjalanan, Gia dan Galih sama-sama diam. Hanya ada suara deru angin dan beberapa motor yang berlalu-lalang.

"Kamu Galih, kan, ya?" Gia adalah tipe orang yang akan sangat bosan bila hanya angin lalu yang menemani perjalanannya. Karena itulah dia selalu berusaha untuk membangun topik pembicaraan.

"Iya," jawab pria itu singkat.

"Makasih, ya, bubur sum-sumnya."

Kali ini, pria itu menoleh, tapi hanya sepersekian detik sebelum kembali menatap ke bawah kakinya. Namun, itu terlihat lucu menurut Gia sampai gadis itu terkekeh kecil.

"Bubur sum-sumnya, kan, udah tumpah duluan sebelum sampai di tangan kamu."

"Gak papa. Yang penting udah ada niat mau dikasih ke Gia."

Hening lagi. Gia mengerucutkan bibirnya, memutar otak untuk kembali menciptakan obrolan.

"Galih suka sama Gia, ya?" tanya gadis itu polos. Tentu saja Galih langsung menoleh ke arahnya. Namun, kali ini pria itu menatapnya lama dengan mata membulat. Bukan hanya itu, Galih juga menghentikan langkahnya, membuat Gia keheranan.

"Kenapa? Pertanyaan Gia berlebihan, ya? Maaf—"

"Hidung kamu!" Bersamaan dengan itu, satu tetes darah jatuh ke tanah.  Galih meraba-raba sakunya dan menemukan sehelai kain di sana. Segera ia memberikan itu kepada Gia.

•••

"I-itu beneran udah gak papa?" tanya Galih was-was.

"Nggak, kok. Makasih, ya, nanti sapu tangannya aku balikin kalo udah dicuci." Sebenarnya, Gia sudah merasa pusing sejak tadi. Jika ia bertemu dengan Rasyid sekarang, sudah pasti abangnya itu bisa menebak perubahan garis wajah Gia yang terlihat menahan sakit.

Lagi-lagi, Galih menghentikan langkahnya dengan kepala setengah menunduk. "Sebenarnya ... Bang Rasyid gak nyuruh kamu ke pesantren," aku Galih gelagapan.

"Terus?" heran Gia.

Galih menelan salivanya lamat-lamat. "Karena aku gak mau kamu duduk berdua sama cowok tadi. Aku, kira dia cowok aneh-aneh, tapi ternyata bukan. Maaf."

Gia melongo, membuat Galih semakin merasa bersalah.

"Marah aja. Gak papa, kok."

Gia tertawa renyah. Demi apa dia dipertemukan dengan pria modelan Galih?

Galih ikut tersenyum kecil. Syukurlah gadis itu tidak marah, pikirnya.

"Eh, astaghfirullah!" pekik Gia. Gadis itu segera meraih ponsel dan mengabari Hani kalau dia tidak jadi ikut ke taman. Untung saja mereka tidak marah. Justru ketiganya sibuk menanyakan apakah ada sesuatu yang buruk terjadi sampai Gia tidak bisa ikut bermain di taman.

•••

See U Next Part — Uril❤

Ramadhan Al-MadhiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang