Tiga

1K 200 79
                                    

Besok. Dia bilang padaku, sampai jumpa besok. Itu artinya, dia ingin kita bertemu lagi, bukan?

Aku berguling ke sisi lain kasurku, dan berguling lagi ke posisi normal. Benar-benar, deh. Ini adalah hari keberuntunganku! Aku sampai tak bisa tidur memikirkannya!

***

Tapi ternyata, semua ucapan itu hanyalah omong kosong. Nyatanya, tuan Levi tidak lagi terlihat di Bar sejak hari itu. Jujur saja, aku sangat kecewa.

Aku menatap sendu ke batu makam tuan Mason, ayah Ken. Merapihkan daun-daun kering yang berguguran di atasnya, lalu meletakkan setangkai bunga mawar.

Sudah empat belas tahun setelah kepergiannya, dan Ken bahkan tak mau mengunjunginya sekali pun. Bukan. Dia tak sanggup. Aku tahu rasa kehilangannya, dan sedekat apa hubungan antara mereka dulu. Dan aku ingat betul seberapa syoknya dia saat melihat Ayahnya dipulangkan dalam kondisi tak bernyawa. Ken yang malang.

Selama ini, hanya aku, Phel, dan Ayah yang sering mengunjugi makam tuan Mason. Bahkan, kerabatnya yang lain pun tidak pernah berkunjung, setidaknya satu kali dalam seumur hidup mereka. Seolah-olah kematian pria bijaksana itu adalah sebuah aib keluarga, atau entahlah apa. Yang jelas, dia adalah satu-satunya manusia paling normal di keluarganya, kurasa.

Yang kutahu, Mason adalah nama klan Bangsawan. Namun, tak seperti seorang pria Bangsawan lainnya, ayah Ken bergabung ke Akademi Militer demi mewujudkan mimpinya, yaitu bergabung dengan Survey Corps dan melihat keindahan dunia luar.

Sejak tersebarnya kabar tentang seorang putra Bangsawan yang menjadi prajurit rendahan, namanya di hapus dan tidak pernah dianggap ada oleh keluarga Mason.

Kemudian, dia bertemu ibu Ken, dan jatuh cinta. Mereka menikah, memiliki seorang putra yang kemudian di beri nama Kenneth Mason.

Tuan Mason akhirnya mendapatkan kehidupan sederhana yang bahagia, sampai suatu ketika ia pergi menjalankan tugas Ekspedisi, dua hari setelahnya dia pulang di dalam balutan sebuah kain. Ibu Ken yang sangat mencintainya langsung gantung diri setelah peristiwa itu, meninggalkan putra kecilnya sebatang kara.

Aku mengerjap dan menggelengkan kepala, berharap tak seorang pun ada di sana. "Putramu sudah besar, pak. Ayahku sangat menyayanginya, bahkan kadang-kadang hal itu membuatku cemburu."

Hujan baru saja berhenti saat aku kemari, suasana di sekelilingku saat ini sangat berkabut dan dingin. Untuk kali pertama, aku menyadari Pemakaman Khusus Prajurit adalah tempat paling menyedihkan di Pulau Paradis. Semua kematian punya ceritanya masing-masing, dan tak banyak dari mereka memiliki akhir kisah yang manis.

Aku berlutut untuk menyeka debu yang menutupi namanya. Saul Mason. Nama yang indah, bukan?

Terdengar suara langkah, tepat berasal dari balik punggungku. Suaranya semakin dekat, beriringan dengan kabut yang semakin pekat.

"Phel?" Aku berteriak, suaraku bergetar dan bergema— Seolah-olah aku berbicara di dalam sebuah ruangan besar yang hampa.

Alih-alih bocah jangkung, aku malah bertemu dengan tuan Levi. Wajahnya datar tak berekspresi, dan matanya tampak rapuh.

"Apa yang kau lakukan di sini sendirian?" Tanyanya dari bawah payung hitamnya.

Aku mengabaikan pertanyaan itu dan bangkit berdiri. "Kau sendiri sedang apa?"

"Berkunjung ke makam.." Dia membuang pandangannya dariku. "Seorang teman."

"Oh.. Oke." Di saat seperti ini, mustahil aku mengusiknya.

"Kemarin aku flu," Pria itu berjalan melewatiku dan berhenti di salah satu makam yang berjarak dua blok dari makam tuan Mason.

Aku tak memberi apa pun sebagai balasan. Entah apa yang kuharapkan dengan mengabaikannya, padahal sudah jelas dia takkan peduli.

I Belong To Mr. AckermanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang