Selamat menunaikan ibadah puasa. Mohon maaf lahir dan batin :)
-With love, Author.
***
Ketika Levi bersiap tidur di atas kasur nan empuk, dia merenungkan kejadian hari ini selama beberapa waktu. Rasa lelah menyelubungi dirinya, namun pikirannya tak dapat beralih dari perkataan (Y/N).
'Hey, itu Ayah Mertuamu, loh~'
Ayah Mertua..
"Cih." Decaknya pada bantalnya. "Bikin kepikiran saja."
***
"Levi.. Kau.. Pernah berpikir ingin membunuh seseorang?"
Levi tersedak. Mungkin saja itu keinginan kelam yang dimiliki semua orang, tapi dia tidak pernah menyangka kata-kata itu keluar dari mulut (Y/N).
"Aku ada." Setengah melamun, gadis itu berbisik. "Kalau bisa membunuhnya, mati pun tidak apa-apa."
"Rasa bencimu sampai seperti itu?" Tanya Levi terkejut dan memandang wajah gadis itu.
"Ibu," Ujar (Y/N) sambil melempar jauh pandangannya ke luar jendela. "Ibuku berselingkuh dari Ayah, oleh seorang Bangsawan. Ayahku sangat sedih waktu itu.."
"Apa?"
"Oh.. Lupakan." (Y/N) menggigit bibirnya erat-erat. Baru pertama kali Levi melihat (Y/N) yang seperti ini.
"Hey, bocah, bagaimana pun, dia tetap ibumu, tahu." Levi meletakkan cangkir tehnya ke atas meja dan bangkit untuk menepuk kepala gadis itu. "Jangan katakan hal seperti itu lagi."
"Aku tahu. Maaf.. Tadi itu aku bercanda." Ia memerah, kemudian matanya kembali pada Levi, dan dengan tenang tersenyum. "Jadi, aku sudah memikirkannya."
"Memikirkan apa?"
"Kita akan pergi besok lusa."
"Mendadak sekali." Gertak Levi, menyentil ujung hidung gadis itu.
"Keren, kan? Seperti kejutan!"
"Kau ini, memangnya anak kecil, huh?"
"Ayolah. Ini sempurna. Liburan berdua di musim hujan, bukankah itu terdengar sangat romantis? Seperti cerita-cerita novel remaja!"
"Dasar bodoh. Aku ikut hanya untuk menjagamu, tahu? Jangan macam-macam." Pria itu tergugup, membuat (Y/N) tergelak.
"Iya, iya, aku tahu! Tapi jangan lupa, loh?!"
"Terserah kau saja, bocah." Meskipun nada bicaranya dingin, namun kilatan di matanya tidak bisa berbohong. Dia mencubit pipi gadis itu, lalu mengunyel-ngunyelnya seperti boneka. "Kau itu sangat menjengkelkan, tahu tidak?"
"Aku kira kau mau memujiku atau semacamnya." Keluh (Y/N) sambil menepis tangan-tangan usil pria itu.
"Tadinya aku ingin menghujatmu, tapi aku tahu kayaknya aku bakal kerepotan kalau kau sampai menangis di tempat ini, terlebih lagi.." Levi melayangkan tatapannya ke arah pintu Ruang Staff, lalu memutar bola mata. "Kakakmu itu galak, dan agak bawel sepertimu. Pokoknya kalian berdua sama-sama merepotkan."
"Kalau aku nangis, tinggal peluk saja," (Y/N) terkikik, wajahnya memerah. "Semua orang melakukannya, loh!"
"Huh? Aku tidak pernah, tuh?"
(Y/N) membulatkan mata dan tertawa terbahak-bahak. "Mau coba?"
"Jangan berani-berani, dasar bocah." Gerutu Levi.
"Seriusan, deh," Setelah tertawa, gadis itu menyeka matanya yang basah. "Berpelukan itu bisa membuat perasaan seseorang jadi lebih tenang, tahu."
"Terus?"
"Ihh! Tidak seru banget, sih!"
"Lagi pula, kau itu sok tahu, (Y/N)."
"Aku tahu, tuh? Kau saja yang tidak pernah di peluk!"
"Memangnya untuk apa di peluk?"
"Jangan membuatku berputar-putar, dong!"
"Sudah, ah. Berdebat denganmu tidak ada habisnya." Pria itu mengangkat bahu lalu berbalik. "Aku pulang dulu, bawel."
"Apa? Buru-buru sekali?"
"Memangnya untuk apa aku berlama-lama di sini?"
"Ya untuk aku, dong?" Selak (Y/N), membuat pria itu semakin jengkel.
"Kalau aku pergi, kau akan kecewa?"
"Tentu saja."
"Kalau begitu, selamat menikmati kekecewaanmu, bocah cilik."
"Apa? Jahat!" (Y/N) merengek seperti anak kecil, namun Levi hanya melewatinya dengan santai dan pergi ke kasir untuk meminta tagihan.
"Aku akan menjemputmu besok lusa. Sampai jumpa." Ujar pria itu sebelum menutup pintu.
"Sejak kapan dia jadi bawel?" Bisik (Y/N) pada angin yang berhembus, tersenyum hangat seraya mengamati dari jendela pria itu beranjak pergi.
***
Kemarin, di taman kota, pagi hari pukul sembilan. Mikasa menjumpai Levi untuk mengirimkan sesuatu yang tidak begitu penting untuk di sebut.
Tidak seperti pertemuan biasanya, hari itu Levi tampak lebih ceria dan bersemangat dari hari biasa. Dia bahkan berpakaian rapih, dan agak banyak tersenyum. Mengherankan, pikir Mikasa.
"Kapten Levi, anda punya pacar? Sepertinya anda terlihat senang belakangan ini." Sahut Mikasa sembari menyamai langkah pria itu.
"Ah, bukan seperti itu." Levi memerah, menutup mulutnya dengan telapak tangan. "Aku bertemu orang gila baru-baru ini."
"Bukankah orang-orang di sekitar anda memang gila?"
"Yah, anak ini agak.. Berbeda." Lagi-lagi pria itu tersenyum aneh.
Mikasa tergelak melihat ekspresi itu. "Dia pasti gadis yang kuat karena sanggup menghadapi anda."
"Sudah kubilang, Mikasa, dia gila." Ujar Levi, tertawa. Lalu ia merasakan sebuah tatapan tajam terarah padanya. Menoleh untuk memastikan, itu adalah (Y/N).
Bahaya, gadis itu bisa salah paham, batin Levi sambil menghela napas berat.
"Sudah dulu, Mikasa, terima kasih atas kirimannya." Dia menepuk pundak gadis itu lantas berbalik.
"Baiklah, terima kasih kembali, Kapten Levi."
Levi berjuang mengejarnya, namun gadis itu sudah nyaris kabur dari pandangan. Dia bahkan tidak tahu untuk apa mengejarnya, dan kenapa dia begitu peduli.
Di persimpangan, gadis itu berpisah dengan kawannya dan pergi ke toko bunga. Levi mengikutinya dalam hening bak seorang detektif.
Dan, saat ia dapati seorang pria tua dengan lancang menyentuh (Y/N), sesuatu bergolak dalam dada Levi. Perasaan yang menggebu-gebu, perasaan takut jika hal buruk terjadi pada gadis ceria itu, lalu--
"Masa bodoh, lah." Ia menerobos masuk dan menepis tangan pria tua itu.
Setelah berdebat cukup panjang dan memastikan pria tua itu bukan orang yang memiliki niatan buruk, ketegangan Levi mengendur. Tapi..
"Biar saja. Lagian kita tidak akan pacaran! Iya, kan, tuan Levi?"
Deg— Kata-kata itu tidak salah, tapi menusuk seperti sebuah belati.
Entah kenapa..
Aku kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Belong To Mr. Ackerman
RomanceTidak di rekomendasikan untuk pembaca di bawah umur. "Cinta bukanlah tentang kepemilikan, Levi Ackerman. Aku tidak harus memilikimu untuk mencintaimu." Cinta pada pandangan pertama- Levi tidak menyukai (Y/N) yang menyukainya. Suatu hari gadis itu me...