Sepuluh

1K 175 41
                                    

Hujan deras melanda. Waktu seakan berjalan begitu lambat di tengah malam yang sunyi dan dingin ini. Levi masih terjaga, bersandar di kursi sembari mengawasi (Y/N). Dia memandang ke arah gadis yang tengah tertidur pulas itu, namun dengan cepat membalikkan tubuh, khawatir perasaan barunya ini akan mengusik ketenangannya.

Kemudian Levi berbalik lagi dan bertumpu pada sikunya, tenggelam dalam gelombang kebingungan. Dia bangun dan mendekati (Y/N) yang masih terpejam, berlutut tepat di sebelah tempat tidur anak perempuan itu.

Cantik. Bahkan saat tidur pun dia tampak cerah. Hatinya merasa nyeri karena memikirkan hal itu terhadap seorang anak perempuan yang berusia jauh belasan tahun di bawahnya, tetapi dia tak mampu mengalihkan pandangan.

"Sepertinya aku tidak bisa menepati kata-kataku hari itu." Bisiknya, terdengar gusar. Dia memainkan rambut gadis itu dengan jari telunjuknya sembari tersenyum. "Aku menyukai--"

Levi terhuyung mundur saat gadis itu bergerak. Kemudian ia merasakan tangan-tangan kecilnya menggenggam telunjuknya, seperti seorang bayi.

"Aku selalu menangis. Setiap malam."

Levi agak terkejut. "Oi, bocah. Kau mengigau?"

"Aku ingin pergi." Bisiknya. "Dari Pulau itu."

Beberapa menit berlalu tanpa ada yang berbicara. (Y/N) terpejam, sangat berharap pria itu tidak pergi.

"Kenapa?" Tanya Levi tiba-tiba. "Kau dikelilingi oleh orang-orang yang menyayangimu. Kenapa kau ingin meninggalkan mereka?"

"Aku tahu itu terdengar kejam, tapi," Gadis itu kembali membuka matanya yang sayu. "Bayangan-bayangan mengerikan itu selalu menghantuiku. Kau tahu? Saking takutnya, aku sampai berpikir, lebih baik aku mati saja."

"Jangan katakan hal seperti itu--"

"Sepi. Sepi sekali. Aku capek."

Untuk kali pertama, dia tersentuh oleh kata-kata (Y/N) yang membuatnya sangat marah dan ingin membunuh seseorang. Anak perempuan itu seharusnya berada di sekolah, di rumah, bermain dengan teman-teman sepantarannya. Dia berhak pulang ke rumah, ke keluarga yang mencintainya, mencemaskannya. Seorang ibu yang menjadi buku harian anak gadisnya, dan seorang ayah yang selalu ada. Tak seharusnya di usia semuda itu dia berpikir untuk mati. Tak seharusnya di usia semuda itu dia mengalami hal-hal rumit.

Levi membenci orang-orang yang mengambil kebahagiaan anak malang dan tak berdosa itu. Levi ingin (Y/N) bahagia.

Gadis itu tak berkata apa pun, matanya memandangi Levi dengan tatapan hampa.

"Dengarkan aku, (Y/N)." Levi terdiam sesaat, berusaha tenang. "Banyak orang yang menyayangimu. Kau tidak pernah sendirian. Tapi jika kau merasa seperti itu, kau harus tahu kalau aku ada, denganmu."

"Apa kau menyayangiku?"

Levi berpindah, naik ke tepi ranjang untuk melihat wajahnya lebih jelas lagi. "Iya."

"Kalau begitu, jangan tinggalkan aku."

Pria itu menggelengkan kepala, tak sanggup menjawab. Mendengar anak yang biasanya ceria mengatakan hal aneh seperti itu.. Seakan ia merasakan rasa sakit yang belum pernah dirasakan menjalarinya— Nyeri yang menyesakkan. Jauh lebih buruk daripada luka fisik.

"Berteman pun.. Aku tak masalah selagi kau mau berjanji untuk tidak pergi." Bisiknya, lalu bersandar di dada Levi, ia terpejam.

"Aku berjanji, (Y/N)."

Semua orang memiliki sisi kelamnya masing-masing. Gagasan itu berkelebat di benak Levi, membuat jantungnya bergolak.

***

"Hector, kau harus mengerti, terlahirnya anak itu adalah sebuah kesalahan." Wanita itu menepuk dada Hector sebelum membawa seluruh barangnya keluar dari rumah mereka. "Aku akan membawa Phelle dan tinggal di Sina bersama suamiku, jadi dia akan baik-baik saja. Kau cukup urus saja putrimu itu."

"Tidak, aku mau ikut dengan Ayah dan (Y/N) saja, Bu!" Jerit Phel, merengkuh erat tubuh sang ayah. "Jangan pisahkan aku dengan (Y/N)!"

"Kau putraku, bukan putranya, Phelle." Bentak wanita itu, menariknya paksa. "Kenapa kau masih tak mengerti juga?!"

"Ayah! Tolong aku!"

"Ayah, tolong Kakak!" (Y/N) menarik tangan Phel, melawan sang Ibu. "Ayah!"

"Lepaskan putraku, dasar anak cengeng! Kau pikir karena siapa aku meninggalkannya, huh?!" Jerit wanita itu padanya. Membuat bocah yang masih berusia lima tahun itu mati kutu, syok.

"Jangan berteriak padanya! Dia juga putrimu, wanita sinting!"

(Y/N) menangis, seperti seorang bayi yang popoknya basah. "J-Jangan bertengkar.. Ayah, Ibu.."

"Ayo, Phel! Kita pergi!"

"Ibu, kumohon jangan bawa Kakak!" (Y/N) berjuang menahan tangan Phel dengan erat. Namun, wanita itu enggan menyerah. Kepalan tangannya melayang ke wajah gadis malang itu dengan kasar. Membuat tubuh mungilnya terpental cukup jauh.

"(Y/N)!" Phel berusaha melepaskan diri, syok melihat darah yang mengucur dari hidung adiknya. "Ibu, hentikan! Ibu sudah keterlaluan!"

"Sekarang juga.. Pergi dari rumahku, jalang." Hector murka, menarik kerah wanita itu. Lalu berjalan ke arah putrinya, merengkuhnya erat-erat. "Jangan pernah temui putriku lagi. Dia adalah sebuah anugerah, bukan kesalahan. Jadi, sekarang juga, enyah lah kau dari rumahku, atau aku akan menggorok habis lehermu."

"Ya sudah. Kalau begitu, selamat tinggal, Hector."

"Lepaskan aku, Bu!"

"Ayo, Phel."

"Tidak mau!"

"Jangan keras kepala!"

Phel mendorong sang Ibu dan kembali mencengkeram Hector sekuat yang ia bisa. "Kumohon, Ayah, tolong aku. Jangan lakukan ini. Aku ingin tinggal bersama kalian."

Hector tersenyum lemah padanya. "Phel. Ikutlah dan jangan membantah. Dia ibumu. Kau akan baik-baik saja, kau akan senang di sana."

"Apa?!"

Wanita itu datang, menariknya keluar dengan sepenuh tenaga. Phel terus berjuang, menggapai-gapai udara kosong, tak menyerah. Matanya terpaku pada ayah dan adiknya yang semakin menjauh dari pandangannya.

"A-Ayah!" Phel menjerit sekuat yang dirinya bisa, terdengar menyakitkan untuk di dengar. "(Y/N)! (Y/N)! Tidak! Siapa pun, kumohon!"

Pintu membanting.

Demikianlah keluarga kecil itu berakhir. Seorang kakak yang tumbuh besar tanpa pelukan adiknya, dan seorang adik yang tumbuh besar tanpa kasih sayang kakaknya.

Seorang ibu yang duduk santai di atas bangku mahal, memakai gaun-gaun indah, tinggal di sebuah Mansion, dilayani oleh pelayan pribadi, dan tak perlu mengkhawatirkan sulitnya bertahan hidup. Seorang ibu yang gila harta. Seorang ibu yang gila kedudukan. Seorang ibu yang menghancurkan harapan anak-anaknya.

Ada pula seorang ayah yang bekerja keras mati-matian demi keberlangsungan hidup putrinya. Seorang ayah yang meninggalkan keinginannya demi kebutuhan putrinya. Seorang ayah yang tangguh. Seorang ayah yang diam-diam lelah dan tetap tersenyum.

I Belong To Mr. AckermanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang