Kami berakhir di Taman Kota, di tepi danau, sembari berjalan-jalan di bawah naungan langit yang kemerahan. Sejak keluar dari rumah, tuan Levi tak mengatakan apa pun. Matanya sesekali menemuiku, dan kembali ke arah semula.
Biasanya, aku akan senang-- Seharusnya aku senang. Namun alih-alih, kudapati diriku terbungkam dengan bibir yang melengkung ke bawah.
"Mukamu jelek kalau sedang marah." Katanya tiba-tiba.
"Aku tidak marah." Gertakku.
"Senyum, dong."
"Huh?" Aku tertawa getir mendengar perkataan itu, tetapi pria itu tidak tersenyum.
"Kuharap kau benar," Katanya, berhenti melangkah lalu menepuk pundakku. "Mengenai perasaanmu padaku."
"Benar, kok."
"Bagaimana kalau suatu hari aku menikah?"
"Kenapa kau peduli? Aku tinggal berhenti menyukaimu."
"Kau gadis yang aneh, (Y/N)."
Tuan Levi melayangkan pandangan ke langit. Dia terlihat begitu tenang. Mata peraknya yang indah terpejam erat saat angin sejuk menerpa wajahnya.
Sudah lah, tak ada gunanya aku memperpanjang semua ini.
"Tuan Levi, kehidupan di luar pulau Paradis itu.. Seperti apa, sih?" Tanyaku.
"Membosankan." Dia mengangkat pundaknya, lalu menatapku. "Kenapa?"
"Sesekali aku ingin jalan-jalan ke luar pulau, deh." Ujarku sambil menangkap wajahnya yang melamun ke arahku. "Tuan Levi?"
"Ya, jalan-jalan sana. Nanti kalau nyasar, kau tidak bisa pulang."
"Jadi maksudmu, kau khawatir karena tidak bisa melihatku lagi?" Aku terkikik usil.
"Cih. Kenapa, sih, kau ini ge'er banget?"
"Kenapa tidak ikut saja?" Tanyaku ragu, namun pria itu mengangguk dengan yakin.
Selamat tinggal dunia. Jantungku lepas.
"Ya sudah."
"Ya sudah?"
"Memang kau ingin aku ikut, kan? Berterima kasih lah karena aku sudah mengabuli permintaanmu."
Aku yakin, wajahku pasti sudah semerah tomat. Tapi masa bodoh, lah. Aku benar-benar senang setengah mati. "Terima kasih, tuan Levi!"
"Sudah beres, kan? Sekarang ayo pulang."
"Hee~ pulang?" Nada bicaraku kubuat terdengar seakan seperti kecewa berat, namun aku lupa dengan siapa aku bicara. Dia tidak peduli.
"Sudah mau malam, tidak baik jika kita terlihat berdua seperti ini."
"Kenapa?"
"Orang-orang bisa salah paham."
"Ah, kau tidak seru."
"Tapi kau tetap saja menyukaiku, bocah." Gertaknya sambil menarikku. Tangannya yang besar kini menyelimuti tanganku. Terasa hangat, dan mendebarkan. "Pokoknya pulang."
"A-Aku akan pulang, tapi jangan lepas tanganmu, loh!"
Tuan Levi melepas genggamannya. Pria itu memerah, imut banget. "Malas."
"Kalau begitu aku tidak mau pulang!"
"Ya sudah, diam saja di sini sampai masuk angin." Bibirnya tersenyum kecil. "Aku pulang duluan."
"Apa? Tunggu! Kau jahat banget!"
"Makasih." Dia tertawa lalu kembali menarik tanganku. "Ayo pulang, bocah."
"Iya, ayo!"
Hangat. Aku senang melihatnya tersenyum karenaku. Meskipun tidak bisa bersama, tapi untuk sementara, aku ingin berada di sisinya. Seharusnya itu tidak apa-apa, kan?
***
Kami tiba di depan pintu masuk, dan secara tak sengaja berpapasan dengan Ayah yang juga baru turun dari kereta kudanya. Tuan Levi membungkuk hormat saat tatapan mereka bertemu, begitu pula dengan Ayah.
"Kenapa kalian saling membungkuk begitu?" Aku terheran.
Ayah dan tuan Levi menegakkan tubuh seperti semula, dan sama sepertiku, mereka juga kebingungan.
"Karena aku menghormatinya." Ucap mereka dengan kompak. Tidak tahu situasi macam apa ini, walaupun tidak sedang melucu, aku memuntahkan tawa.
"Saling menghormati, ya?!" Aku tertawa terbahak-bahak, membuat kedua mantan prajurit itu memerah malu.
"Kecilkan suaramu, anak muda." Ayah menggelintir kupingku, membuatku meringis kesakitan. "Kalian saling kenal?"
"Oh iya!" Aku menarik tuan Levi ke sisiku. "Kita berteman baik!"
"Begitu? Syukurlah kalau putriku akhirnya punya teman." Ayah menepuk pundak Levi. "Mohon bantuannya, Levi. Tolong jaga putriku."
"Eh? Baiklah?" Dengan heran, tuan Levi menunduk.
"Kalau begitu aku masuk dulu. Selamat malam."
"Selamat malam, tuan." Pria itu membungkuk pada Ayah, lalu kembali menatapku.
"Hey, itu Ayah Mertuamu, loh~" Ejekku sambil tertawa.
"Apa? Jaga bicaramu, bocah!" Gertak tuan Levi dengan rona merah di pipinya. Dia terlalu imut!
"Bercanda, kok." Aku melempar tawa.
"S-Sana masuk, dasar gila."
"Yakin tidak mau mampir?"
"Sana masuk."
"Aku masuk, nih?"
"Ya sudah, cepat masuk."
"Jangan kangen padaku, loh, tuan!"
"Omong-omong, berhenti lah memanggilku Tuan."
"Iya, iya." Aku tergelak dan melambai padanya. "Sampai jumpa, Levi."
"Ya."
"Ingat, kalau kangen datang saja kemari!"
"Berisik. Sana. Aku juga mau pulang."
"Oke!"
"Selamat malam, (Y/N)." Bisiknya. "Bicara apa, sih, aku?!"
***
Tambahan: Next chapter hingga seterusnya akan menggunakan Point of View orang ketiga.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Belong To Mr. Ackerman
RomanceTidak di rekomendasikan untuk pembaca di bawah umur. "Cinta bukanlah tentang kepemilikan, Levi Ackerman. Aku tidak harus memilikimu untuk mencintaimu." Cinta pada pandangan pertama- Levi tidak menyukai (Y/N) yang menyukainya. Suatu hari gadis itu me...