Part 2

5.4K 390 40
                                    

Dean memainkan ponselnya sembari membalas pesan-pesan dari Evan. Dilihat dari balasan pesannya, Evan nampak lega mengetahui Stella bersamanya.

Meski pada awalnya Evan tidak rela adiknya harus satu rumah dengan playboy, tapi Evan tidak punya pilihan. Adiknya butuh menenangkan diri. Jika Stella di rumah, ibunya pasti akan mencecarnya dengan berbagai pertanyaan tentang Reno yang akan membuat adiknya semakin sedih.

Pada akhirnya Evan menitipkan Stella padanya. Dean terpaksa harus menerima hal itu, demi persahabatan yang sudah terjalin lama.

Sebenarnya Dean tidak ada masalah Stella tinggal. Yang masalah adalah nafsunya. Bagaimana jika ia tidak dapat mengontrol diri? Terlebih.... lihatlah wanita itu. Memakai baju sembarangan.

Bagaimana bisa Stella hanya mengenakan kemeja kebesarannya saja saat ini? Jika ia Evan mungkin tidak masalah. Tapi sayangnya ia Dean. Dean Winata.

"Hai mas Dean! Aku udah masak. Mau makan bareng?" Sapa Stella sambil mengunyah makanan. "Maaf aku makan duluan mas, laper."

Dean pun duduk bergabung di samping Stella, lalu meraih semangkuk sop ayam yang Stella buat.

"Stell... " Panggilnya sambil mengaduk sop yang ada di hadapanya.

"Ya?"

"Kamu mau tinggal berapa lama?"

Raut Stella berubah sendu begitu Dean bertanya hal itu. Seolah pria itu tidak menginginkan kehadirannya di rumah ini.

Mereka memang tidak saling mengenal. Dan Stella dengan tidak tahu malunya meminta untuk tinggal bersama sementara. Pria dewasa sepertinya mana mau diusik anak-anak.

Pria hampir 40 tahunan sepertinya, harus di repotkan oleh wanita umur 25an yang sedang patah hati. Pasti sangat menggelikan bukan? Tapi mau bagaimana? Stella harus bertahan demi menghindari ibu dan kakaknya. Apalagi ibunya. Ia tidak sanggup mendengar drama menangis ibunya karena kegagalannya menikah.

"Jangan salah paham Stella. Mas nggak bermaksud begitu. Mas cuman nanya. Kalau kamu lama, nanti mas beliin baju."

Stella menoleh ke arah Dean dengan wajah memerah. Hampir saja ia menjatuhkan air mata karena takut diusir.

"Mas nggak usir aku kan?" Isaknya. "Aku belum siap ketemu mama dan mas Evan. Mereka pasti masih sedih karena hal ini. Apalagi kalau lihat keadaan aku kaya gini."

Entah dorongan dari mana Dean memeluknya. Ia menepuk-nepuk kepala Stella dengan lembut seperti sedang menenangkan anak kecil.

"Lagian mas heran. Mas udah tahu banyak pacar kamu dari Evan. Rupanya mas juga tahu. Kenapa kamu sepatah hati ini ditinggal kulit ketiak sepertinya? Wajahnya saja burik seperti pantat ayam. Kacamatanya tebel banget kaya Nobita. Tukang selingkuh pula. Kamu waras kan Stell?"

Stella semakin terisak mendengar ucapan itu. Ia bahkan mengorek ingus yang keluar di hidungnya dengan kaos yang Dean kenakan. Membuat Dean meringis ngeri melihatnya.

Apa yang Dean katakan benar. Ia cantik, sexy, kaya, juga designer muda yang sangat berbakat. Apalagi yang kurang? Maka dari itu Stella terus berpikir dimana letak kesalahannya.

"Yang jelek aja selingkuhin Stella mas. Gimana yang cakep? Stella kayaknya bakal jadi perawan tua.... " Isaknya tersedu-sedu. "Stella pasti ngebosenin ya mas?"

"Ngisssshhhhh" Stella kembali menyisi seluruh ingusnya. Lagi-lagi di kaos Dean. Terlihat sangat menjijikan.

Dean mendesah panjang. Mau marah juga tidak tega. Lagipula si burik itu memang tidak tahu diri. Apa kurangnya Stella? Jika ia masih muda, Stella adalah tipe wanita idamannya. Cantik, sexy, agresif. Pasti hot jika di ranjang. Stella juga cerdas dan pintar. Cocok jadi ibu dari anak-anaknya. Ngomong apa sih? Dean merutuki dirinya sendiri.

"Pria masih banyak Stella. Jangan nangis ya? Kamu pantas mendapat pria yang lebih baik. Dia nggak pantas di tangisi. Masih banyak pria seperti Naruto yang keren di luar sana. Ngapain kamu tangisi pria culun seperti Nobita?"

"Tapi Reno yang paling mengerti aku mas. Shisuka aja ampe cinta mati sama Nobita kan?"

Mampus kamu Dean. Skakmat!

"Udah ah stop nangisnya. Cepetan makan, terus tidur. Udah malam."

"Makasih mas."

Stella masih memeluk Dean dengan manjanya. Ia memperlakukan Dean seperti saat ia bersama Evan kakaknya. Apa Stella tau jika Evan dan Dean itu jauh berbeda?

Skinship itu membuat Dean tegang. Si totongnya juga ikut tegang. Terkutuklah otaknya yang selalu saja mesum disaat dekat dengan wanita.

"Ehmm Stel.."

"Apa?"

"Malam ini mas mau undang....ehmm wanita." Ujar Dean gugup. Kenapa jadi izin-izinan segala sih? Memangnya siapa Stella?

Stella mendongak menatap Dean. Ia tau apa yang Dean maksud. Pasti tentang wanita jalang-jalangnya. Pria matang dan duda sepertinya pasti membutuhkan kehangatan.

"Aku ngerti mas Dean."

"Kamu di kamar ya? Jangan keluar kalau ada suara aneh." Dean memperingati.

"Emang enak mas, main begituan?" Lagi-lagi pertanyaan awkward yang keluar dari bibir Stella. Sekarang Dean harus jawab apa? Anak orang bisa rusak jika terlalu lama bersamanya.

"Stella sayang jangan coba-coba. Okey? Belum waktunya. Besok mas ajak kamu beli beberapa baju."

Oh shit... Dean baru ingat baju yang Stella kenakan. Dean baru sadar posisi Stella sekarang. Duduk mengangkangi pahanya, dengan kemeja pendeknya saja. Bahkan milik mereka saling bertemu sekatang. Stella menduduki miliknya tanpa dosa. Oh my God... nikmatnya...

"Mas, Stella ke kamar ya? Makasih mas udah baik banget." Ujar Stella sembari bangkit meninggalkannya.

Dean sedikit kecewa karena kenikmatan itu hanya berasa sebentar. Mulai sekarang Dean harus semakin waspada. Stella sangat berbahaya untuk kesehatan si tongtong.

Miss Pesimis For Mr Playboy  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang