Reiner dan Bertholdt duduk di atas kerikil-kerikil di pinggir sungai. Bertholdt berkali-kali menggeser duduknya agar berjarak dari Reiner, tapi pria itupun ikut bergeser ketika Bertholdt menjauh.
Berhtoldt kembali menggeser duduknya, tapi kali ini tangannya yang menyangga tergelincir dan tersayat pinggiran kerikil hingga berdarah. Dia mencoba menyembunyikannya dari Reiner, tapi sepertinya pria itu tahu karena dia mendengus mengejek. Tapi kali ini dia membiarkan Berhtoldr menjauh sementara dia menyulut rokok yang terselip di bibirnya.
"Apa kamu ingin?" Reiner menyodorkan bungkus rokoknya yang baru diambil satu.
Bertholdt segera menggeleng. Tangannya ia simpan di balik hoodie yang panas untuk menyembunyikan gemetar tubuhnya. Setelah semua yang terjadi, wajar kan kalau dia takut kepada pria itu, wajar kan kalau dia tak ingin dekat-dekat dengannya.
Reiner meraih dagu Bertholdt, membuat pria itu menatapnya dengan takut. "Apa kamu marah?"
Dia menggeleng.
"Apa kamu iri karena aku lebih memperhatikan dia daripada kamu?" Reiner menyeringai setelah membisukan kata itu tepat didepan hidung Bertholdt.
Bau rokok dari mulut Reiner sekarang memenuhi rongga hidungnya, membuatnya terbatuk-batuk. Dia tak perlu bertanya siapa 'dia' dalam kalimat Reiner.
"Tenang saja," Reiner turun untuk mencium leher Bertholdt, sesekali meniupnya untuk membuatnya merinding. "Kita masih punya banyak hari."
Dia menjauhkan wajahnya untuk melihat ekspresi Bertholdt, itu seperti yang dia harapkan,... Ketakutan. Menyeringai senang, dia segera menubrukan bibirnya ke bibir Bertholdt, menghisap nya dengan kuat.
"Reiner..." Bertholdt memanggil namanya untuk meminta berhenti, berusaha mendorong pria itu darinya. Tapi dia tidak bisa menolak saat tangan Reiner mencengkram dan mendorong tengkuknya, dia tak bisa kecuali dia ingin hal yang lebih parah terjadi.
Reiner terus memancingnya dengan lumayan kasar, dia juga sering melakukan gigitan yang terlalu keras untuk daging kenyal itu membuat Bertholdt meringis kesakitan. Bertholdt kewalahan untuk memberikan balasan bagi lidah Reiner yang bergerak menggila di rongga mulutnya, pria itu bahkan menolak memberi jeda untuk mengambil nafas.
"Permisi, Paman..."
Reiner menyempatkan untuk menggigit bibir Bertholdt sampai berdarah sebelum melepasnya. Rupanya itu adalah anak berusia berusia sepuluh tahun dengan pakaian lusuh khas kota kumuh.
"Iya?" Reiner tersenyum, membuat anak itu terkejut dengan mulutnya yang Sobel sampai ke telinga kirinya, tapi dia tidak lari, justru membalas senyumannya.
"Anu, bola ku..." dia menunjuk bola sepak yang terbuat dari plastik yang dilakban, bahkan bentukan tidak bundar sempurna. Benda itu rupanya ditendang terlalu jauh dan berakhir di kaki Reiner.
"Begitu, ya? Lain kali mainlah di lapangan." Reiner tertawa kecil, memungut bola itu dan menyerahkannya kepada si anak.
"Tidak bisa, Paman. Mereka akan membangun pabrik di sana."
Reiner mengacak rambut si anak dengan lembut, "Kalau begitu kau harus mengubur cita-cita jadi pesepak bola, ya?"
Anak itu menggeleng. "Cita-cita menjadi pangeran yang mencium puteri tidur, dia sangat cantik!"
Itu membuat Reiner tertawa, mengusap pipi si anak yang masih halus.
"Eh? Paman itu kenapa?" tanya si anak setelah menyadari kehadiran Bertholdt. "Kenapa dia terlihat sedih?"
"Masa sih?" Reiner memandang Bertholdt sekilas, pria itu bergetar ketakutan, nyaris menangis. "Hanya sedang bermain denganku. Kau pergi saja dan bermain dengan temanmu, temanku yang satu ini juga sepertinya sedih karena permainan kami terganggu."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Season I Want to Die [End]
Mystery / ThrillerBertholdt Hoover ✔️ Reiner Braun ✔️ "Sungguh perasaan yang aneh... Aku bahkan hampir tidak takut. Saya dapat melihat... segala sesuatu di sekitar saya... Saya merasa seperti... hasil apa pun akan dapat diterima. Itu benar... tidak ada yang salah di...