"Tidak mungkin..." gumam Jean dengan keterkejutan di matanya.
Marco meremas bahu rekannya itu untuk menenangkan nya. "Mungkin benar-benar bukan dia."
"Tapi dia menghilang di hari pengejaran, lengannya terluka sama dengan posisi yang para senior laporkan. Dia... Dia juga mengakuinya!" Jean menatap nanar pada selembar kertas di depannya. Dia meremasnya dengan emosi, bergerak cepat untuk menyambar mantel dan pergi. Namun Marco segera mencegahnya, dia menarik tangan pria.
"Pelaku itu harusnya bergolongan darah A, tapi darah yang kamu dapatkan itu O. Lagipula, apa kamu pernah mendengar maling mengaku? Jean... Mari lakukan saja apa yang jadi tugas kita."
Jean melepaskan tangan Marco dan menatapnya sinis, "Aku jadi polisi bukan hanya untuk seragam ataupun jalan-jalan dengan mobil bersirine. Jika kita teman atau setidaknya ingin naik jabatan, ikutlah denganku."
"Sembilan puluh..."
"Seratus..."
Marco mengeluarkan uang dari dompetnya, menghela napas saat melihat hanya tersisa selembar uang sepuluh marks disana. Sedangkan Jean sendiri sudah membuang dompetnya karena itu benar-benar sudah kosong.
"Terimakasih." Profiler itu mengambil tumpukan uang di meja, menghitungnya kembali dengan jari-jarinya yang panjang dan lentik. Setelah dipastikan pas, dia pun menyodorkan sebuah map yang tipis kepada mereka berdua. "Ini barangnya."
"Terimakasih!" Jean menjaga mulutnya tetap menutup agar air liur tidak menetes darinya. Tangannya dengan cepat membuka map itu, namun wajahnya langsung menjadi muram begitu melihat isinya. "Hanya dua lembar?!"
Profiler yang sedang memuji-muji uangnya pun langsung melirik dengan tajam karena merasa hasil kerjanya disepelekan. Dia menggebrak meja dan berteriak, "Kau pikir dia orang yang mudah diteliti apa?!"
"Kembalikan uangku!" bentak Jean balik.
"Eh... Sudah-sudah... Kami akan pergi sekarang, makasih, Mas." Marco membungkuk dan menyeret rekannya itu keluar dari rumah si Profiler.
"Itu sisa gaji bulan lalu ku, Bajingan!"
"Sudah tahu profiler terlalu mewah untuk orang miskin, masih nekat."
Mereka masuk ke dalam mobil. Marco membaca profile Reiner Braun sementara Jean mencoba menenangkan diri dengan semangkuk ramen dan mendengarkan alat penyadap yang terhubung ke ponsel Bertholdt.
"Sialan, gaji pertamaku benar-benar habis." Jean menghela napas, dan menangis entah karena rasa pedas ramen atau karena pedasnga hidup.
"Memangnya kau gunakan untuk apa?" Tanya Marco tanpa beralih dari profile.
"Biaya kos, ponsel dan penyadap yang kukasih ke Hoover, mentraktirmu di Bazar, uang damai dengan pemilik toko roti, dan profiler." dia menjatuhkan garpu plastik dengan kesal, "Aku bahkan tidak bisa makan besok."
.
Pieck berjalan tanpa ragu untuk masuk ke bangunan besar itu. Bangunan itu memang besar dan cukup bagus, tapi karena tidak terlalu terawat itu menjadi nilai buruknya. Disana gelap dan kosong, karena pemiliknya jarang ada di dan sehingga lampu jarang dinyalakan.
Dia naik ke lantai dua untuk menemukan yang dia cari. Disana, dibalkon yang gelap dan sunyi dimana mungkin kamu bahkan bisa mendengarkan detak jantungmu sendiri. Dia duduk di sofa yang empuk dan hangat, kakinya bersilangan dengan tangan memegang vodka dan satunya cerutu yang berasap.
"Pasti ada alasan yang sangat penting sehingga kamu mendatangiku kemari, Pieck?" Reiner menghisap cerutu, menyimpan asapnya di mulut dan menghembuskannya ke udara*.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Season I Want to Die [End]
Mystery / ThrillerBertholdt Hoover ✔️ Reiner Braun ✔️ "Sungguh perasaan yang aneh... Aku bahkan hampir tidak takut. Saya dapat melihat... segala sesuatu di sekitar saya... Saya merasa seperti... hasil apa pun akan dapat diterima. Itu benar... tidak ada yang salah di...