Bagian 21

2.7K 346 38
                                    

"Apa seharusnya aku nggak usah bilang ke Tante Sasi, ya?" Kafka tiba-tiba berbicara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Apa seharusnya aku nggak usah bilang ke Tante Sasi, ya?" Kafka tiba-tiba berbicara. Padahal, sedari tadi ia fokus pada makanannya yang dipotong-potong kecil. Diliriknya Azri yang duduk tepat di seberangnya.

"Malah menurut Ayah, pilihan kamu udah tepat." Azri membalas. Walau sebenarnya ia juga tidak tahu apa keputusan Kafka benar atau tidak. Ada sudut pandang berbeda antara milik sang putra dan Semesta, hingga akhirnya membuat konflik tersendiri yang tidak tahu di mana akhirnya.

"Gitu, ya?"

Menarik napas panjang, Kafka memilih untuk meletakkan sendoknya ke atas piring. Didorongnya kursi ke belakang, hingga pada akhirnya Kafka dapat berdiri. Sendu wajahnya menampilkan sebuah senyuman tipis. Kafka izin, tanpa berucap.

"Kenapa nggak dihabiskan makannya?"

Kepala Kafka bergerak, menggeleng perlahan. Nafsu makannya perlahan menurun, membuat Kafka ingin mengakhiri malam ini secepat mungkin. Inginnya tidur, tapi baru ingat kalau laporannya menunggu untuk dikerjakan.

"Aku ada tugas. Biar nggak keteter nantinya," jawab Kafka. Alasan yang cukup klise, tapi Azri tidak akan membalas lagi. Karena nyatanya, jawaban Kafka juga tidak sepenuhnya bohong.

Azri menghela napas panjang seraya meletakkan sendoknya di atas piring. Diambilnya teko dan dituangkan isinya ke dalam gelas. "Jangan begadang," titah Azri. Ia melirik Kafka yang masih berdiri di hadapannya. "Jangan lupa salat. Obatnya juga diminum."

"Ingetin aja terus, Yah. Padahal tahu aku nggak bakal lupa." Kafka terkekeh sejenak, sebelum meraih gelas yang berada di atas meja.

Mendengar balasan Kafka, lantas membuat Azri menaikkan sebelah alis, menatap Kafka sangsi. Jemarinya mengetuk meja, menghasilkan ritme yang konstan. Karenanya, Kafka seolah sedang disudutkan.

"Ya udah, sana." Azri berucap, seperti mengusir Kafka, padahal tidak. "Nanti tugasnya nggak selesai. Ayah nggak mau, loh, kalau kamu begadang lagi."

Kafka mengerjap. Diraihnya teko dengan cepat. Tanpa aba-aba, ia menuang isinya ke dalam gelas.

"Ummm, mau ambil minum dulu." Setelah gelasnya terisi penuh, Kafka sedikit menundukkan kepala. "Aku ke kamar dulu, Yah."

Azri tidak membalas dan hanya mengangguk pelan. Diliriknya sang putra yang berjalan perlahan meninggalkan ruang makan. Lalu, senyum tipisnya terbit.

•••

Suara ketukan tiga kali membuat Semesta menoleh ke arah pintu. Secara refleks ia meletakkan pulpennya ke atas meja. Ia menekan tombol pause, dan tepat saat itu pula lagu yang mengalun memasuki liang pendengarannya terhenti.

"Semesta, Bunda masuk, ya." Suara Sasi terdengar samar-samar, sontak membuat Semesta melepaskan earphone dari telinganya.

Tanpa menunggu jawaban dari Semesta, pintu terbuka. Sosok Sasi terlihat, membawa dua mangkuk di tangannya. "Bunda bawa puding cokelat sama mangga kesukaan Semesta," lirih Sasi. Ia menendang pintu dengan kakinya, sehingga pintu tertutup dengan suara yang cukup keras. Tanpa peduli dengan hal tersebut, Sasi segera duduk di atas tempat tidur.

KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang