Bagian 38

2K 279 29
                                    

Kafka sudah boleh pulang ke rumah, dan semua orang harus tahu itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kafka sudah boleh pulang ke rumah, dan semua orang harus tahu itu. Walau awalnya ia kira akan dirawat di rumah sakit jiwa, tapi atas rengekannya sendiri, akhirnya hal tersebut urung dilakukan. Lagipula, siapa yang mau mendekam di tempat tanpa hiburan dengan orang-orang yang senasib dan tidak akan bisa keluar sampai waktu yang tidak bisa diprediksi tanpa dijenguk keluarga?

Kafka melompat ke atas kasur, mengusap permukaannya yang terasa dingin dengan keempat ekstremitasnya. Rasanya membahagiakan sampai-sampai ia tidak berhenti menyunggingkan seulas senyum di bibirnya. Manik hijau Kafka berbinar, kemudian kelopaknya menutup perlahan, merasakan kenyamanan yang seminggu ini tidak didapatkannya.

"Enak tidur di rumah, kemarin malah berulah. Gue bego banget." Kafka bergumam pelan. Ia membalik tubuhnya dan menatap langit-langit kamar.

"Jangan ngomong sendiri atau Ayah bakal seret kamu ke RSJ sekarang juga." Kepala Azri tiba-tiba menyembul dari balik pintu. "Ingat, ya. Kalau kamu berulah lagi, Ayah nggak bakal segan-segan."

Kafka bergidik. Ia bangkit dan menggeleng cepat. Tangannya terangkat, menunjukkan jari kelingkingnya. "Janji nggak lagi," ucapnya cepat. "Janji. Aku nggak mau masuk sana."

"Nggak ada yang selanjutnya?"

Kafka menggelengkan kepalanya. "Nggak ada."

"Kalau ngelanggar?"

Kemudian diam. Lidah Kafka terasa kelu. Masa iya, kalau melanggar ia akan menyerahkan dirinya untuk dibawa ke rumah sakit jiwa?

"Kalau aku janji lagi, boleh?"

Azri berdecak pelan. Ia membuka pintu kamar lebih lebar lagi. Kedua tungkai jenjangnya melangkah masuk dan kemudian Azri duduk di atas kasur.

"Kalau kamu ngulang lagi dan nggak selamat?"

"Aku jadi arwah penasaran, bareng Bunda."

Azri perlahan mengacak surai Kafka gemas. Bisa-bisanya sang putra berbicara seperti itu. "Jangan ngaco."

Helaan napas terdengar, bersamaan dengan kekehan dari Kafka. Diambilnya sebuah guling, lalu Kafka berguling, hingga hampir jatuh ke lantai. Tawanya berhenti ketika kedua netranya menangkap sebuah potret di dekat meja belajar.

Itu foto bundanya, yang bahkan tidak dapat Kafka kenali rupanya.

"Kalau aku ngulang lagi, Ayah boleh bawa aku ke RSJ, terus ngebiarin aku sampai dibawa dinas sosial." Kafka berujar.

"Ayah nggak bakal bisa kalau ngelakuin itu."

Kafka itu seperti merepresentasikan bundanya. Mulai dari fisik, sifat, dan sialnya hingga ke penyakit mentalnya. Mana mungkin Azri tega menelantarkan seseorang yang menjadi pengganti sosok istrinya?

"Kenapa? Aku 'kan—"

"Ayah nggak izinin kamu buat bicara kali ini." Azri memotong ucapan Kafka. Ditatapnya sang putra yang kini membuang pandangan. "Kalau kamu HDR dan halusinasi kamu muncul lagi, Ayah beneran bakal seret kamu ke RSJ. Kamu tahu sendiri perawatan di sana gimana."

"Iya." Kafka berdeham. "Tapi, Yah, aku jadi penasaran. Halusinasi aku emang secara rutin muncul, tapi lebih sering nyuruh bunuh diri kalau emang aku lagi stres banget. Kira-kira ... dulu Bunda kenapa, ya, sampai disuruh bunuh diri gitu?"

Tubuh Azri menegang. Napasnya seolah tercekat dan ia merasa bahwa oksigen di sekitarnya menipis. Kedua bola matanya bergerak gelisah, hingga berhenti pada sosok Kafka yang masih menatap langit-langit.

"Sulit juga buat ditebak," jawab Azri pada akhirnya. "Bunda pernah cerita kalau halusinasinya suka nyuruh apa aja. Bukannya kamu tahu itu, ya?"

"Iya, sih. Cuma aku jadi penasaran aja." Jemari Kafka saling bertaut. "Apa Bunda nggak ada sedikit aja kepikiran sama aku sebelum ngelakuin itu? Apa halusinasinya emang sekuat itu? Padahal, Bunda juga pasti tahu gimana cara ngatasinnya."

"Kamu sendiri kemarin gimana?" Azri balas bertanya. "Apa kamu nggak ada kepikiran sama Ayah sedikitpun?"

"Aku udah coba hardik suara itu. Aku ingat sama Ayah, tapi ucapan Kak Semesta bikin suara itu muncul lagi." Pandangan Kafka menerawang. Hanya sesaat, karena kemudian ia mengerjap. "Aku minta maaf."

"Nggak usah minta maaf lagi." Azri perlahan mengusap lengan Kafka. Ia tidak marah, tapi justru kecewa. Kafka sudah sering berjanji untuk tidak mengulangi hal tersebut. Nyatanya, sebanyak apapun Kafka berjanji, sebanyak itu pula ia akan mengingkarinya.

"Aku janji nggak bakal ngulangin lagi dalam waktu dekat."

"Kafka, jangan bercanda masalah itu."

Kafka tertawa pelan. Ia mengangkat jari kelingkingnya sekali lagi. "Liat nih. Aku janji. Kalau aku ingkar, potong aja jari kelingking aku."

"Kafka ...."

"Iya, iya. Ini aku diam!"

Tangan Azri terjulur, lalu mengusap surai Kafka yang sedikit lepek. Anak itu baru pulang dari rumah sakit dan belum membersihkan dirinya. Senyumnya terulas tipis. Membayangkan jika Kafka tidak ada di dekatnya, rasanya begitu berat.

"Jangan pergi juga kayak Bunda ya, Yah."

"Iya."

•To be continued•

A/n

Aku baru selesai dinas di RSJ, boleh kan bikin yang gemes gemes dulu wkwkwk

Gak tau deng, kafka mah emang gemesin

KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang