Bagian 34

2K 317 17
                                    

"Gue iseng buka hasil pemeriksaan gue

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Gue iseng buka hasil pemeriksaan gue."

Detik itu pula, Kafka merasa bahwa atensinya sepenuhnya teralihkan. Ia awalnya hanya melirik, kini menengokkan kepalanya. Suara dedaunan yang tertiup angin menjadi pengisi antara keduanya dalam beberapa detik, sebelum kemudian tarikan napas Semesta menggantikan.

"Iya?" Kafka tidak tahu bagaimana harus berespon.

"Ya." Semesta mengembuskan napas perlahan. "Cuma sedikit."

"That's good." Kafka mengulum bibir, sebelum membentuk satu kurva indah di wajahnya. "Seenggaknya, lo udah tahu."

"Iya."

Seulas senyum di wajah Kafka memudar, berganti dengan raut heran. Demi apapun, Kafka berharap ia dapat melihat bagaimana ekspresi Semesta saat ini. Karena barusan, sedikit perasaan aneh menggelitiknya, membuat Kafka lantas mulai berpikir macam-macam.

"Gue putusin buat nikmatin hidup gue."

Kafka mengerjap beberapa kali. Manik hijaunya berpendar lemah dengan tanda tanya menghiasi. Menikmati hidup? Memang sudah seharusnya, bukan?

"Terus?"

"Udah, gitu aja."

Kafka bukan orang yang mudah percaya, jadi ia tidak dapat menerima pernyataan dari seorang Kerlap Semesta begitu saja. Kemudian kedua kakinya mendorong tubuh, menyebabkan gerakan konstan pada ayunan yang didudukinya. Kedua bola matanya bergerak gelisah dengan jemari yang mulai mengetuk rantai.

"Gue nggak percaya," ungkap Kafka pada akhirnya. "Apa cuma begitu? Gue nggak yakin."

"Oh, satu lagi."

"Apa?"

"Kalau gue minta tolong buat jagain bunda gue ... lo mau, 'kan?"

"Ha?"

Semesta diam, membiarkan Kafka tenggelam dalam dugaannya sendiri. "Kak, maksud lo ...." Kafka bergumam, tidak ingin mengikuti pikirannya yang hobi mencetuskan keburukan.

"Gue minta tolong."

"Minta tolong buat jaga bunda lo?" Kafka memvalidasi ucapan Semesta. Meski begitu, nada suaranya terdengar penuh keraguan. Telinga dan pikirannya sepertinya sama-sama sakit.

"Iya, lo nggak salah dengar. Gue minta tolong buat jaga bunda gue."

Bagaimana raut wajah Semesta saat ini, Kafka benar-benar ingin tahu. Kepalanya perlahan menunduk, lalu kembali mendongak, menatap langit yang mulai gelap. Satu lagi hari yang buruk telah terlewati, namun diakhir dengan kalimat ambigu yang Semesta lontarkan.

Kafka menggeleng pelan. Bukan ambigu, tepatnya tidak jelas.

"Kenapa bukan lo sendiri, Kak?" Kafka bertanya.

"Karena mungkin gue nggak akan bisa?" Semesta kembali menjawab dengan pertanyaan. "Ya, anggap aja gue minta bantuan. Bunda gue kadang suka ceroboh kalau lagi sendiri, dan gue nggak mau bunda gue kenapa-napa."

"Tapi ...." Kafka menggigit lidahnya sejenak. Tiba-tiba saja, wajah pasiennya yang tadi berpulang terputar di kepala. "Bunda lo masih punya lo, berarti bunda lo nggak sendirian, 'kan?"

Semesta tersenyum tipis, menatap jauh ke ujung sana, tempat di mana matahari mengintip malu-malu sebelum akhirnya menghilang di balik awan.

"Iya, sekarang." Helaan napas Semesta begitu lembut dan menenangkan. "Nggak tahu ke depannya gimana."

Kali ini, Kafka menggeleng cepat. Lalu, tawa renyahnya muncul. Semesta seperti sedang melucu, tapi ucapannya tidak lucu sama sekali. Andai boleh, untuk sekali saja Kafka ingin menampar mulut laki-laki itu.

"Ngaco, mulai ngaco." Kafka kembali tertawa. "Kak, yang gila itu gue, bukan lo. Lo nggak usah ikut-ikutan."

Semesta diam. Suara yang mengisi hanya decitan dari rantai ayunan yang mulai berkarat. Ia biarkan Kafka menertawai ucapannya.

Mikir apa pula Semesta barusan?

"Gue harus hubungin dokter Zara," ucap Kafka setelah tawanya reda. Kedua maniknya tampak berkaca-kaca. "Kayaknya gue nggak cuma BPD, tapi juga gangguan pendengaran. Atau halusinasi, bahkan?"

"Ya." Semesta kembali berucap, setelah sekian lama menutup mulut. "Gue ngomong apa, sih, barusan?"

"Nggak tahu, gue nggak ingat." Kafka membalas, terdengar santai di balik raut wajah frustrasinya. "Gue mau pulang. Lo juga harus pulang, Kak."

"Iya."

Kafka berdecak pelan. "Jangan cuma iya-iya aja. Gue dari tadi pengin nampar lo rasanya."

Semesta tertawa pelan. Terdengar tanpa emosi, seolah hanya sebagai sebuah formalitas. "Gue harus nyari pacar nggak, sih, biar nggak ngaco gini lagi?"

"Harus. Gue kasian liat lo jomlo seumur hidup lo."

"Sampai mati?"

"Sekali lagi lo ngomong, gue pastiin lo bakal pulang ke IGD malam ini."

"Jangan doa jelek-jelek gitu. Kalau kejadian, lo beneran harus jagain bunda gue."

Perlahan, Kafka bangkit dari ayunan dan menendang pasir di bawah kakinya. "Kak, pulang," titah Kafka. Ia tidak ingin lagi mendengar suara Semesta dengan segala ucapannya. Pikirannya mulai berkecamuk, lalu kepalanya terasa pening. Menyebabkan efek pada pandangannya yang sedikit memburam.

Kafka memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket, tanpa peduli pada Semesta yang masih terdiam di posisinya. Ia berjalan menjauh, sesekali menendang kerikil yang menghalangi jalannya.

"Dek."

Adek ....

Kafka lantas membalik tubuhnya. Ekspresinya tidak dapat dideskripsikan. Namun, tidak ada suara, Kafka hanya mematung di posisinya.

"Soal tadi, lo harus janji, ya? Lo harus jaga bunda kita."

Senyum Kafka tanpa sadar terbit begitu tipis. Ia terpejam sesaat, sebelum menggeleng.

"Nggak janji, karena yang harus jaga Bunda itu kita, bukan cuma gue."

[To be continued]

A/n

Nggak tahu ini aku ngetik apa karena aku lagi puyeng mikir askep :")

KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang