Bagian 2

6.8K 624 45
                                    

"Ibu A, berusia tiga puluh tahun, datang ke Poli KIA Puskesmas X pada tanggal 6 November dengan G4P3A0

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ibu A, berusia tiga puluh tahun, datang ke Poli KIA Puskesmas X pada tanggal 6 November dengan G4P3A0. Usia kehamilan delapan belas minggu. Klien datang dengan keluhan mual dan muntah. Hasil pemeriksaan menunjukkan denyut jantung janin normal, 145 kali permenit ...."

Semesta mengetukkan pulpennya ke atas meja. Ia berhenti bergumam, kemudian menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi yang terasa keras. Helaan napasnya terdengar begitu lagi-lagi pikirannya terdistraksi dari soal yang ada di hadapannya.

Bagi Semesta, soal itu tidak terlalu rumit. Hanya berisi keluhan, hasil pemeriksaan penunjang, dan satu pertanyaan yang sejak soal nomor satu muncul; apa diagnosis keperawatan yang tepat untuk kasus di atas?

Tapi, rasanya ketika mengingat pesan yang bunda kirim tadi, pikirannya lagi-lagi berkelana. Ada banyak pertanyaan yang mungkin akan diajukannya saat makan malam nanti. Bahkan, lebih banyak daripada soal kuis Maternitasnya.

Kalau ayah tirinya jahat seperti di sinetron yang suka membuat bundanya emosi, bagaimana? Atau hanya memanfaatkan harta warisan yang bunda dapatkan dari kedua orang tuanya?

"Bodo amat, defisit nutrisi," gumam Semesta tidak peduli. Ia menulis jawaban yang barusan disebutkannya, lalu meletakkan pulpennya di atas meja. Walau sebenarnya kurang yakin dengan jawabannya-karena sumpah, Semesta bisa bicara kalau soal kuisnya menjebak-tapi ia tidak peduli.

Helaan napas beratnya terdengar, dengan kedua matanya yang melirik. Memang jatuhnya agak mencurigakan, tapi dengan kenyataan bahwa ia sudah selesai, Semesta terus lanjut memperhatikan teman-temannya.

Waktu menunjukkan pukul sebelas. Masih ada waktu empat puluh menit sebelum waktu istirahat dimulai. Meski begitu, Bu Nina selaku dosen Maternitas, memperbolehkan mahasiswanya yang sudah selesai untuk keluar kelas dan beristirahat lebih cepat dari biasanya. Hal itu tentu menjadi salah satu kesempatan yang tidak akan Semesta sia-siakan. Kapan lagi bisa ke kantin tanpa perlu berdesak-desakan?

Tentu saja, Semesta bukan menjadi orang yang pertama keluar. Teman sekelasnya adalah tipe orang ambisius yang selalu belajar dan mengharap indeks prestasi sempurna. Makanya itu, sejak tadi beberapa orang sudah bangkit dari bangkunya, berjalan ke luar kelas setelah mengambil ponsel dan uangnya dari dalam tas, lalu entah ke mana. Mungkin menghilangkan penat setelah berkutat dengan lima belas soal yang jawabannya ada di awang-awang.

Lorong yang berada di depan kelas masih sepi. Loker-loker masih tertutup rapat, walau sebenarnya loker yang berjejer dari depan ruang 401 sampai 403 memang tidak pernah dipakai. Semesta berjalan dengan tangan membawa kotak bekal yang hanya berisi nasi sambil memikirkan bakso Pak De yang bisa dinikmati lebih cepat dari biasanya.

Hingga kemudian, suara denting lift berbunyi diikuti oleh pintunya yang terbuka. Langkah kaki terdengar. Hanya seorang. Tak lama, seorang laki-laki yang membawa segelas es teh yang di-blend dengan susu vanila muncul.

Asyik meminum minuman paling murah di kantin, namun berhenti ketika melihat Semesta di hadapannya. Tangannya terangkat, meski bibirnya tersenyum heran dengan kedua netra yang berusaha untuk melihat ciri khas yang menempel di tubuh Semesta. Hingga ia menemukannya, tepat pada sepatu berwarna biru cerah yang setiap hari digunakannya.

Kafka, laki-laki yang kini menggigit sedotan, melangkah maju. "Baru selesai, Ta?" tanyanya ketika menyadari siapa orang yang berdiri di hadapannya. "Susah, ya?"

Menjadi salah satu penderita prosopagnosia memang merepotkan. Apalagi kalau secara tidak sengaja bertemu seseorang di tempat umum. Sering dianggap sombong dan melupakan teman menjadi hal yang biasa untuk Kafka. Malah, dirinya pernah menjadi topik hangat oleh perawat di ruangan-bahkan hampir menyebar ke penjuru rumah sakit-tempatnya berdinas semester lalu karena melupakan wajah pasiennya dan kakak seniornya begitu saja.

"Enggak. Nggak juga." Semesta menjawab. Kedua manik cokelat terangnya memperhatikan Kafka yang menyedot minumannya. Lalu, ketika hendak beralih-berhubung waktu terus berjalan dan Semesta tidak ingin berdesakan di kantin-Kafka malah menahannya.

"Nanti lo bisa ngumpul EC? Entar ada latihan 'kan?" Ia kembali bertanya, tepat setelah meneguk minumannya. Walau lidahnya terasa kelu akibat esnya, tapi Kafka memaksakan, hingga membuat kalimatnya tidak terdengar begitu jelas.

"Nggak," jawab Semesta. "Lo gantiin gue dulu, bisa? Lagian juga, kita udah purna. Ngapain datang lagi?"

Tangan Kafka terangkat, mengusap belakang lehernya. "Gara-gara Ma'am Lina masih suruh ngawasin adek tingkat. Gue juga kadang nggak enak karena doi harus ngurus mereka sendirian. Susah banget diatur. Mana nggak ada perkembangannya sama sekali."

Semesta menghela napas dan mengetuk tutup kotak makannya. Bermaksud memberikan kode ke Kafka kalau ia sudah lapar dan ingin segera ke kantin. "Yaudah."

"Yaudah?" Binar tampak di kedua bola mata Kafka. "Yaudah lo datang?"

"Enggak. Gue nggak bisa," jawab Semesta. Ia melangkah ke kiri dan berderap begitu saja. Ditinggalkannya Kafka dengan senyum yang luntur dari bibirnya.

Tapi, tepat sebelum Semesta menekan tombol lift, secara tidak sengaja ia lagi-lagi mendengar suara Kafka. Entah siapa lawan bicaranya, ia tidak tahu. Hanya ada sedikit hal yang Semesta dapatkan dari pembicaraan searah yang didengarnya.

Belum sampai ke inti pembicaraan, pintu lift terbuka. Tanpa peduli lagi, Semesta segera masuk ke dalam dan menekan tombol di samping pintu. Namun, sebelum pintu benar-benar tertutup, ada satu kalimat yang didapatkannya.

Makan malam bersama calon keluarga barunya.

•••

Suara meongan kembali terdengar dari kucing putih penghuni kantin yang hobi meminta makanan. Kedua kaki depannya berada di pinggir meja, memperhatikan Semesta yang sedang mengaduk kuah baksonya sambil menggulir layar. Kedua manik birunya tampak mengharap, sebelum akhirnya melompat dan berdiri sepenuhnya di depan mangkuk.

"Mau?" Semesta menusuk salah satu bakso berukuran kecil dengan garpunya. Ia mendelik, hendak menggoda kucing di hadapannya, yang masih berharap diberikan sedikit kenikmatan, ketika tiba-tiba ponselnya bergetar panjang tanda ada panggilan masuk.

Semesta meletakkan baksonya di atas meja, sebelum mengambil ponsel yang tergeletak di samping kotak bekalnya. Ia membaca caller ID yang tertera di layar dan langsung menjawab ketika menyadari bahwa yang menghubunginya adalah sang bunda.

"Nanti langsung pulang, ya!" Suara bunda yang menggelegar terdengar. "Jangan main ke mana-mana dulu!"

Semesta berdecak pelan. "Iya," balasnya singkat.

"Jangan bandel. Awas kalau jam lima kamu belum sampai rumah. Bunda potong uang bulanan kamu, baru tahu rasa."

"Galaknya ...." Semesta bergumam pelan. Ia mengulum senyuman. "Nanti langsung pulang."

"Yaudah."

"Udah? Nggak jelas banget," sungut Semesta. Ia memutuskan hubungan, sebelum akhirnya kembali menikmati makanannya.

Namun, pikirannya lagi-lagi melayang. Secara tidak sengaja, ia mengingat penuturan Kafka tadi, tepat sebelum pintu lift tertutup rapat. Tanpa sadar, tubuhnya menegang.

Suatu kebetulan yang mengerikan.

•Note•

Poli KIA: Poli Kesehatan Ibu dan Anak

G4P3A0: Gravida 4 (kehamilan keempat) Partus 3 (jumlah kelahiran 3) Abortus 0 (jumlah keguguran 0)

Defisit Nutrisi: Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme

[To be continued]

KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang