Bagian 22

2.8K 358 34
                                    

Lorong rumah sakit pagi ini masih cukup sepi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lorong rumah sakit pagi ini masih cukup sepi. Sedari tadi, Semesta tidak menjumpai siapapun. Mau itu petugas rumah sakit, pengunjung, atau teman sekelasnya. Karena merasa sepi, Semesta memutuskan untuk tidak melepaskan earphone dari telinganya.

Dari yang Semesta ketahui, rumah sakit yang merupakan pusat rujukan ini telah berdiri lebih dari seratus tahun. Ada banyak mitos yang tersebar di penjuru rumah sakit. Makanya itu, walaupun kondisinya sepi, tapi Semesta masih bersyukur karena ia melewati lorong saat pagi hari.  Walau hanya hari ini, karena besok ia mendapatkan jadwal siang dan selesai di pukul delapan malam.

Ditambah lagi, Semesta mengingat percakapannya dengan Sasi pagi tadi. Bundanya yang kadang berlebihan itu memasukkan dua kotak makan dan sekotak susu ke dalam tas kecil yang Semesta bawa. Katanya, kebiasaan kurang makan yang Semesta jalani sehari-hari yang menyebabkan kecerobohannya.

Yah, Semesta memilih untuk setuju, daripada Sasi makin bertindak jauh.

Ruang Dahlia sudah terlihat di ujung lorong, yang mana membuat Semesta makin mempercepat langkahnya. Aroma melati yang ditanam di taman tercium, terutama ketika angin berembus lebih kencang lagi. Lalu, langkah Semesta berhenti, tepat di depan gadis berpakaian serba putih yang sedang tersenyum ke arahnya, seolah menyapa. Ia duduk di kursi taman dengan tenangnya.

"Udah dari tadi?" Semesta bertanya. Perempuan itu adalah Ara, yang kebetulan berdinas bersamanya pagi hari ini. "Rajin, ya."

"Gue, 'kan, emang biasanya rajin," balas Ara. Ia bangkit sambil meraih tas kuning yang tergeletak di sebelahnya. Diikutinya langkah Semesta yang berjalan menuju ruangan. "Gue udah bawa Doenges-nya. Untung, kakak gue punya. Jadi, bisa gue bawain."

Semesta melirik tas yang Ara bawa. "Berat, ya?" Semesta bertanya dengan pertanyaan retorik. "Sini gue bantu bawa."

Ara menggeleng singkat. Dijauhkannya tangan dari jangkauan Semesta. "Nggak apa-apa, gue bawa sendiri aja."

Menghela napas panjang, Semesta kembali fokus pada lorong kosong di hadapannya. Tidak jauh di depan, pintu Ruang Dahlia sudah terlihat. Seorang satpam duduk di meja tugasnya, hendak bangkit untuk membukakan pintu.

"Pagi, Mas," sapa Pak Adi, satpam muda yang sudah bekerja di ruangan tersebut sejak lima tahun yang lalu. Senyumnya ramah, yang lantas membuat Semesta ikut tersenyum.

"Pagi, Pak." Semesta dan Ara membalas secara bersamaan. Keduanya masuk ke dalam ruangan dan segera menuju ke ruang diskusi, tempat mereka menyimpan tas.

"Oh, iya, Ta. Nanti kalau kita disuruh ngecek TTV, lo yang cek, ya. Gue yang catat," pinta Ara.

Semesta merotasikan kedua bola matanya. Kalau masalah diperintahkan untuk mengecek tanda-tanda vital, memang paling enak hanya mencatat hasilnya. Sementara bagian yang memeriksa harus bersabar dan menahan kuping yang kadang terasa sakit. Tapi, Semesta tidak masalah. Lagipula, ia juga tidak ingin berdebat pagi-pagi begini.

KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang