Bagian 29

2.3K 331 14
                                    

Rumah terasa sepi ketika Semesta masuk ke dalam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rumah terasa sepi ketika Semesta masuk ke dalam. Lampu ruang tamu yang biasa dinyalakan, kini hanya dibiarkan hingga menyisakan gelap. Suasana yang dingin membuat Semesta untuk sejenak mengernyit.

"Bunda?" panggil Semesta heran. Ia menolehkan kepalanya, mencari keberadaan Sasi yang entah berada di mana. Sepatunya yang tergeletak di lemari menjadi salah satu dasar Semesta untuk mencari Sasi di seluruh pojok rumah. "Tumben banget gelap-gelapan."

Kedua tungkai jenjang Semesta berderap menuju ruang makan. Sama seperti sebelumnya, ruangan itu temaram. Kedua kelopak mata Semesta lantas menyipit ketika melihat sesosok wanita yang sangat dikenalinya sedang duduk di salah satu kursi meja makan. Semangkuk es krim yang sudah mencair menjadi temannya, tapi Semesta hanya fokus pada berkas-berkas yang tergeletak sembarangan di atas meja.

"Bunda?"

"Semesta ...." Sasi mengangkat kepala, membuat kedua netranya saling bertubrukan dengan milik Semesta. Heran, laki-laki itu melangkah maju. Selangkah, hingga pada akhirnya ia menyadari bahwa berkas yang ada di atas meja adalah hasil pemeriksaannya.

"Bunda, ada apa?" Semesta bertanya penasaran. Bukan hanya karena hasil pemeriksaannya, tapi juga karena raut Sasi yang penuh dengan kesedihan. Beban berat yang tiba-tiba menimpa kedua pundaknya menyebabkan wajahnya yang biasa menampilkan senyum ceria, menjadi berubah sepenuhnya, hingga Semesta seolah tidak dapat mengenalinya.

"Bunda, apa ada yang salah sama hasil pemeriksaannya?" Semesta kembali bertanya ketika Sasi tidak kunjung menjawab.

"Maaf ...." Gumaman lirih Sasi terdengar, tanpa jawaban. Tidak ada satu kata yang ingin Sasi ucapkan, terutama ketika melihat wajah Semesta.

"Bunda kenapa minta maaf? Bunda nggak salah apa-apa, 'kan?" Semesta panik sendiri. Ia menghampiri Sasi dan berlutut di sisinya. Tangannya meraih tangan sang bunda yang terasa dingin, hingga wanita itu pada akhirnya menoleh. Menatapnya dalam-dalam penuh rasa bersalah, padahal Sasi tidak melakukan apa-apa.

"Maaf ... Bunda nggak bisa jaga kamu." Sasi mengeratkan pegangannya pada jemari Semesta. Suaranya bergetar hebat.

Semesta mengerjap tidak mengerti. Ia melepaskan genggaman tangan Sasi secara paksa, lalu meraih hasil pemeriksaannya dari atas meja. Kedua bola matanya tampak menyiratkan tanda tanya, namun hanya sesaat.

Rasa takut mulai merasuki dada Semesta, membuat tumpuan kedua kakinya melemah. Ia jatuh terduduk. "Gara-gara itu, ya, Bun?" lirih Semesta. Kedua kelopak matanya perlahan menutup. "Aku nggak mau tahu hasilnya dan Bunda juga nggak perlu takut sama apa yang ada di dalam situ."

Nggak mau tahu hasilnya? Pembohong banget lo, Ta, batin Semesta.

"Bun, kenapa nangis, sih? Aku biasa aja loh, sekarang." Laki-laki itu tersenyum lebar, lalu menepuk pundak Sasi perlahan. Berusaha melupakan segala hal yang mengganggu pikirannya. "Duh, aku lapar banget. Bunda nggak masak, ya? Aku keluar sebentar, ya, mau beli makan. Bunda mau makan juga?"

KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang