Bagian 53

1.6K 233 14
                                    

Semesta tidak dapat mencerna kejadian yang barusan terjadi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Semesta tidak dapat mencerna kejadian yang barusan terjadi. Seingatnya, Semesta hanya ingin membereskan sisa makan malam yang sempat dibiarkan di atas meja. Semesta hanya ingin membersihkan meja dan mencuci piringnya dan milik Sasi.

Semesta hanya ingin melakukan hal sederhana tersebut.

Namun, saat ini Semesta terbaring di instalasi gawat darurat. Kepalanya terasa sakit karena tidak sengaja terbentur ujung meja. Lalu, bagian terparahnya.

Kedua kaki Semesta terasa sulit untuk digerakkan.

Semesta kira, perjalanan penyakitnya akan sangat lambat. Untuk beberapa saat ia tidak merasakan gejala yang mengganggu. Hanya sesekali hampir terjatuh, seperti orang tersandung angin, atau menjatuhkan barang dari genggamannya.

Sebelumnya, Semesta masih dapat merasakan keberadaan kedua kakinya. Tapi kini, sensasinya seolah menghilang. Semesta tidak dapat menggerakkannya. Membuatnya berbaring cukup lama, sebelum berhasil meraih ujung meja dan setelahnya, Sasi datang.

Wajah Semesta datar. Meski sesekali meringis karena sedikit luka di kepala. Tangan Semesta terangkat, mengusap kepalanya yang tadi sedikit berdarah. Sasi keluar dari ruangan, katanya ke meja depan untuk menyelesaikan proses pendaftaran dan ke apotek IGD.

Semesta menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri, memperhatikan kondisi sekitar. Ruangan tidak terlalu penuh, namun suasana IGD terasa benar-benar berbeda. Seluruh pasien dalam kondisi sadar, tapi semua tahu kalau bisa saja terjadi penurunan dalam waktu singkat.

Semua yang ada di dalam sana ketakutan, cemas akan nasib selanjutnya, hingga membuat Semesta ikut merasakan hal yang sama. Jantungnya berdetak lebih cepat dengan sesak yang kemudian menghimpit dadanya dengan kuat. Tangan Semesta yang masih dapat bergerak mencengkeram ujung selimut yang menutupi tubuh.

Semesta takut akan nasibnya kemudian.

Rasanya, baru kemarin Semesta berjanji akan menyelesaikan kuliahnya dengan cepat, lalu bekerja di rumah sakit besar. Semesta berkata ia akan menggantikan peran Sasi. Ia akan bekerja keras demi diri sendiri dan bundanya. Kiranya, Semesta dapat melakukan semuanya, sesuai dengan rencana yang sudah ditetapkan sejak lama.

Menyedihkan. Saking menyedihkannya, Semesta ingin menertawakan kehidupannya.

"Kepalanya masih sakit?" Sasi yang baru masuk ke dalam ruangan langsung bertanya. Ia duduk di kursi kecil yang ada di sisi bed. Rautnya khawatir, walau sudah tidak separah tadi.

Semesta menggeleng pelan, tidak menjawab dengan suara. Bila ia membuka mulut, mungkin tangisnya akan pecah. Semesta tidak peduli lagi dengan fakta bahwa ia adalah seorang laki-laki yang katanya tidak boleh menangis. Dunianya yang sederhana baru saja dihancurkan oleh realita.

"Kamu mau tidur dulu?" Sasi melirik jam dinding yang berada tepat di atas troli tindakan. Sudah hampir tengah malam.

"Nggak, Bun. Aku nggak ngantuk," jawab Semesta. Suaranya terdengar parau, lantas membuat Semesta berdeham. "Bunda mau tidur? Maaf, ya, Bun, di sini nggak enak."

Sasi mengusap lengan Semesta perlahan. Diperhatikannya setiap jengkal wajah sang putra yang masih sama seperti sebelumnya. Namun, kantung mata efek begadangnya sejak tahun-tahun lalu tampak lebih jelas malam ini. Seulas senyum terulas di bibirnya yang kering, walau terlihat seperti formalitas belaka.

"Bunda ...." Semesta memanggil. Kedua netranya menatap tepat ke arah pintu yang sesekali terbuka. "Aku bakal baik-baik aja 'kan, ya?"

Suara ambulans beberapa kali terdengar. Rasanya sulit untuk memejamkan mata dalam kondisi seperti ini. Kepala Semesta rasanya penuh dengan berbagai spekulasi yang akan terjadi selanjutnya.

"Iya." Sasi tercekat. Rasanya sulit untuk mengeluarkan satu dua kata. "Kamu bakal baik-baik aja, kok."

Semesta tidak bisa tenang. Kedua tangannya saling menggenggam, menunjukkan rasa gelisah yang dialami. Kantuk mulai menghampiri, tetapi Semesta tidak ingin terpejam. Ia ingin mengungkapkan rasa takutnya, tapi Semesta tidak mungkin bicara aneh-aneh di depan Sasi.

"Jadi ... aku beneran nggak bisa lanjut kuliah, ya, tahun depan?" Semesta bergumam lirih, menatap langit-langit ruangan. "Sia-sia dari semester satu bayar UKT terus. Sekarang, malah nggak bisa lanjut, nggak bisa kerja juga. Aku nggak berguna lagi, ya, sekarang?"

Tidak ada jawaban dari Sasi. Ia bukan tipe orang yang dapat menenangkan orang lain. Dirinya sendiri juga merasa takut malam ini, bahkan mungkin melebihi Semesta sendiri. Lalu, perlahan Sasi meraih tangan dingin Semesta dan menggenggamnya erat. Cairan di pelupuk mata berusaha keras ia tahan.

"Nggak, kamu bakal baik-baik aja. Kamu pasti bisa sembuh setelah ini," ucap Sasi lembut. Ibu jarinya mengusap punggung tangan Semesta. "Tahun depan kamu bisa kuliah lagi. Kalaupun telat setahun, nggak apa-apa. Setelahnya, kamu bisa kerja. Kamu bisa lanjut sekolah lagi. Kamu mau manjangin nama kamu 'kan, soalnya selama ini terlalu pendek? Bisa, kok. Tenang aja."

Bunda terlalu optimis, aku nggak suka.

"Bohong itu." Semesta tertawa pelan. Hidupnya terlalu lucu hingga bersedih pun rasanya tidak sanggup. Helaan napas lesu terdengar. "Aku belum bisa gerakin kaki lagi. Berdiri aja nggak bisa, gimana disuruh jalan atau lari? Aku udah nggak bisa ngejar teman-teman aku lagi."

Sasi menunduk, kemudian menjatuhkan kepalanya ke lengan Semesta. Ia tidak ingin mendengar ucapa pesimis putranya itu. Kalau bisa, Sasi ingin membalik keadaan saja, di mana dirinya lah yang merasakan sakit.

"Maafin aku. Aku nggak bisa jadi anak yang baik." Semesta memejamkan mata sesaat. "Sejak dulu, sejak ada aku ... aku nggak bisa jadi anak yang bikin Bunda bahagia. Keberadaanku cuma bikin Bunda susah, dan sampai sekarang. Kayaknya ... sembilan belas tahun udah cukup lama buat aku."

•••

Kafka mengetuk pintu kamar Azri dengan lembut sebelum akhirnya membukanya. Ia masuk selangkah ke dalam, ditatap heran oleh sang ayah. Kepalanya tertunduk, menatap kedua kakinya yang menapak lantai dingin.

"Ayah, maaf." Kafka menarik napas panjang sesaat. "Kayaknya ... aku belum siap buat terima Tante Sasi lagi."

[To be continued]

A/n

Sekian dan terima kasih.

Aku undur diri.

Updatenya gak sebulan kan awokwwokwowkwok

KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang