16

10 0 0
                                    

"Melati is your first love, isn't she?"

Biang mengangguk lemah, sudah berapa lama dia tidak merasakan perasaan tak berarti, kehadirannya tak diingini. Mungkin setelah Ayahnya meninggal dan turut membawa jiwa Ibunya.
Bian besar tanpa cinta, tapi dia percaya cinta. Love always win kata Gustav dan Aisyah dan dia yakini. bahkan Bian masih percaya setelah berkali-kali dihancurkan cinta, dan hari ini dia sadar tersadar. Bian dan kata cinta bukanlah perpaduan yang tepat.

"Bian, sorry. Aku tidak tahu cerita lamamu dan Yasmin maksudku Melati. Aku, aku—"

"It's okay."

"Gustav tahu?"

Lagi, Bian mengangguk pelan. "Satu hari sebelum aku ke USA, dia cerita."

Aisyah menatap dalam Bian, sorot mata sahabatnya itu kian sayu bagaimana bisa semesta begitu senang mempermainkan lelaki sebaik Bian melalui Melati yang kini Yasmin.

"Gustav, asked me to forget her." Bian tertawa pedih. "Dan menganggap Yasmin sebagai adik sahabat baiknya."

Sahabat baik, batin Aisyah. Yah, ingatannya masih jelas hari keberangkatan Bian tak dihadiri Gustav dengan alasan adiknya sakit, tak boleh ditinggal. Dan semenjak hari itu, yang Aisyah sadari mereka tak lagi sedekat dulu, ada sekat kian nyata. Komunikasi pun makin jarang ditengah kesibukan mereka sebagai mahasiswa, barulah mereka kembali sedia kala ketika telah lulus Universitas dan Bian sesekali pulang ke Indonesia juga Gustav maupun Aisyah yang mengunjungi Bian ditengah kesibukan lanjutan pendidikan kedokterannya.

"How could i, Aisyah? She is still my first love. Tapi Gustav lebih berarti. I let my feeling go, then."
"Kamu laki-laki Baik, Bian. Kita tahu itu, jika kamu merasa Gustav keberatan kamu mencintai adiknya."

"Aku tahu, he loved her more than me. And that's okay." Bian bangkit, mengelus pelan rambut Aisyah. "I need to go. Pasien-pasienku menunggu."

Aisyah mengangguk, "Hati-hati Bian, you can call me when you need anything."
"Harusnya aku yang bilang begitu ke kamu sejak dulu. This is the last time i'm looking you at ICU room. Key!" putus Bian dan berjalan meninggalkan Aisyah yang entah mengapa ingatannya melayang ke momen beberapa tahun silam.

***

Sore itu, kala awan beriak jingga. Gustav dan Aisyah tengah memasuki pekarangan rumah keluarga Bilge. Mereka disambut tawa hangat milik Ayah dan Ibu Gustav juga wajah Yasmin yang bersemu di ruang keluarga.

"Hei sayang, Sini!" sambut Mama Gustav kala melihat Aisyah mempersilahkan duduk disebelah Yasmin.

"Gustav, lihat deh. Mama nemu ini, di kotak pos tadi pagi." Baik Gustav dan Aisyah melirik secarik kertas berwarna pink yang disodorkan Dewi perempuan paruh baya itu. "Someone has secret admire, dapat surat cinta." timpal Ayah Gustav tak dapat menahan senyum.

"Papa, Ma!" Rajuk Yasmin, "Kak, jangan ikut-ikutan mereka ngejek Yas."

Gustav membaca surat pink dengan aksen beberapa gambar hati setengah mual, bagaimana tidak surat ini dipenuhi kutipan-kutipan dari syair cinta yang sukses bikin bergidik ngeri, Gustav telalu baik jika membiarkan perayu ulung ini mendekati adiknya.

"Jauhi laki-laki ini, Yas." tukas Gustav, dan orang-orang serempak menatap Gustav yang wajahnya tak lagi ramah, tandanya Gustav tak bercanda. "Kamu tahukan, konsep secret admire itu tidak ada bedanya dengan penguntit. Cuman nambah kata-kata cinta, biar terdengar romantis."

"Gustav, sekarang secret admire itu lagi hype-hype nya. Dan jelas berbeda dengan penguntit."
ujar Aisyah tak rela, Yah Aisyah adalah pemuja romantisme.

"Dia memperhatikan tingkah Yasmin diam-diam, that's creepy Aisyah." elak Gustav, "Yas, kamu harus hati-hati. Mulai sekarang biar kakak yang antar jemput." Gustav melirik Yasmin, "Yas, ingat yah kamu fokus sekolah aja. Kalau ada yang deketin, kenalin dulu ke kakak."

Dwi, Mama Gustav berdecak. "Kamu yah, mulai deh over nya." Dwi mengelus rambut Yasmin, anak perempuannya yang masih memberenggut. "Lagian, mama oke-oke aja kok kalau Yasmin pacaran. Emang, udah umurnya kan cinta-cintaan."

"Benar, kamu aja pacaran dengan Aisyah dari jaman SMP. Mama sama Papa gak ada larang."

"Beda, Pa. Pokoknya Gustav gak setuju."

"Aisyah sih setuju om tante, malah lebih setuju kalau Yasmin pacaran dengan Bian."
Aisyah menimpali, meski tak ada yang meminta persetujuannya. Dan Bian, entah nama sahabatnya itu muncul saja dibenaknya. Aisyah pernah berandai tanpa sepengetahun Gustav tentunya, Bian Si anak lurus tak neko-neko itu akan sangat cocok dengan Yasmin yang cantik dan penuh misteri, mirip dengan alur romansa film dan drama kesukaannya.

"Wah, Bian yah. Aduh apa kabar anak mama yang satu itu."

"Baik kok, tante. Lagi fokus sekolah dia nya, kedokteran di USA kan hectic nya berkali-kali lipat dari Indo."

"Mama setuju banget kamu sama Bian, Yas. Atur deh, gimana kalian bisa jalan bareng." kikik Dwi.

Gustav melirik sekilas Yasmin, menyadari ada samar senyum tipis milik adiknya. "Gustav, tetap gak setuju. Bian sahabat yang baik, tapi belum tentu baik dijadikan calon adik ipar."

"Ih, kita cuman berandai-andai Gustav. Gak kejauhan juga mikirnya sampai ke sono." delik Aisyah.

"Udah deh, Yasmin tidak tertarik dalam hal apapun Papa, Mama dan Kak Gustav. Tidak dalam waktu dekat ini."

"Tuh dengar, anak Papa yang satu ini memang terbijak." Bilge mengecup kening Yasmin, meraih surat kabar dan berlalu mengamit lengan istrinya.

"Tapi Yasmin, kalau kamu punya satu hal yang kamu inginkan. You should tell me, Kakak akan wujudkan."

"Bian."

Gustav mendesah, Aisyah melongo tak percaya pendengarannya. "Maksud kamu, Yas?" tanya Aisyah menahan pekik bahagia kalau saja dalam waktu dekat, rencananya mendekatkan Bian dan Yasmin akan terealisasikan.

"Bian," Yasmin menggeleng, "Bian menelpon kak." Lanjutnya, menunjuk arah gawai milik Gustav. Bian memanggil, dalam mode hening.

Aisyah mendesah kecewa, binar-binar bahagia dimatanya pupus. "Kirain, kamu ada apa gituh sama Bian."

Gustav beranjak, mengangkat panggilan Bian dan menjauh.

"Jangan berandai terlalu berlebih, Kak." Aisyah menatap Yasmin dalam tanya, "Aku dan Bian adalah ketidakmungkinan." Yasmin berlalu.

Aisyah yang kala itu, memang tak begitu dekat dengan Yasmin mendengus dongkol semakin tak suka dengan tabiat Yasmin. Terlalu angkuh dan tak tahu beramah-tamah. Lupakan pasangan kekasih ideal di film itu, Bian tak pantas dengan perempuan sekaku Yasmin, dia layak dapat yang lebih baik.

"Kamu layak dapat yang lebih baik, Bian." ucap Aisya, menenggelamkan dirinya dalam selimut putih berbau khas rumah sakit, ethanol.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 08, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

When The Rain ComesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang