14

53 3 0
                                    

       


Narapidana telah membubarkan diri dari barisan setelah musik senam berakhir, mereka membagi diri hingga ke penjuru lapangan. Yasmin memilih menepi di bawah pohon rindang bersama beberapa Narapidana yang sibuk berceloteh tentang moleknya instruktur senam pagi ini.

"Eh, Yasmin gue dengar kemarin lu labrak Si Agisa? Benar gak tuh?" Nadira rekan sebilik Yasmin memulai pembicaraan. Yasmin memandang Nadira tak minat.

"Yaelah, lu gak ada sopan santunnya. Yakali, lu tinggal ngangguk atau geleng!"

Yasmin diam membisu, Nadira yang tak terima atas pengabaianya dari Yasmin mendekat dan menarik sejumput rambut Yasmin yang terjuntai.

"Lu dengar gue gak?"

Yasmin meringis pelan.

Berdecak, Nadira melepaskan rambut Yasmin. "Lu sebaiknya gak usah cari gara-gara dengan Agisa. Lu bisa mampus kali ini, meski tampannya kalem gituh tapi dia lebih licik dari yang lu pikir." Yasmin menatap dalam Nadira yang bercerita begitu serius. "Lu gak usah kegeeran! Gue cuman ngingetin aja, kan gak lucu kalau Agisa berhasil intimidasi seorang Yasmin yang katanya seorang pembunuh berdarah dingin." tambahnya.

Dan lagi, perasaan tak bernama itu menyelusup sukma Yasmin menimbulkan rasa haru. Untungnya Yasmin memiliki kemampuan baik dalam mengontrol sistem lakrimalnya. Yang entah mengapa akhir-akhir ini kemampuannya itu kian memburuk.

"Lu dengar, kan?" tanya Nadira kini dengan suara yang menusuk pendengaran Yasmin. Respontif Yasmin mengangguk, mengalihkan tatapannya ke objek lain.

"Yaudah, kalau lu ngerti. Pergi lu!" Nadira mendorong punggung Yasmin hingga nyaris tersungkur. Yasmin mendelik tak suka hendak memprotes namun terlebih dulu disalip Nadira. "Mata Dokter Bian dari tadi jelalatan liat lu sampai lupa ngedip. Sana lu samperin dia!" sumringah Nadira.

Setengah hati Yasmin menuruti perintah Nadira, ia berjalan mendekat ke pagar teralis persis di hadapan Bian yang tengah menatapnya sambil bersandar di tiang penyanggah.

"Orang akan berpikir Dokter Pria cabul, jadi berhenti menatap saya seperti itu." Ucap Yasmin sedikit parau saat tiba di hadapan Bian

Bian mengulum senyum. "Seperti apa?"

Yasmin menyeringai, "Seperti ini!" ucapnya sembari memperagakan mimik Bian kala menatapnya secara asal-asalan.

Bian tertawa pelan kemudian telibat perang bisu dengan Yasmin.

"Maaf!"

Yasmin menatap Bian penuh tanya. "Kemarin, aku sedikit sentimentil. Kamu tahukan pekerjaanku bertambah dan juga perkara Aisyah." jelas Bian dengan nada rendah.

Akhirnya Yasmin mendengar ungkapan maaf yang sejak kemarin ingin didengarnya. Akibat insiden di Ruang konsultasi, sepanjang hari Yasmin dirutuki perasaan dongkol. Perasaan yang tak dapat ditafsirkan saat Yasmin menyaksikan melodrama Agisa dan Bian.

"Suster Yemi bilang Agisa lulusan Sekolah keperawatan. Jadi, ku pikir tidak ada salahnya meminta bantuannya sementara waktu sampai Dokter pengganti datang." Bian menggaruk tengkuk yang tak gatal. "Sekedar informasi, mungkin terjadi kesalahpahaman."

"Kesalahpahaman? Itu tidak akan terjadi." gumam Yasmin "Ada lagi?"

Bian menggeleng, Yasmin mendesah pelan.

"Yasmin, mengenai kasus Aisyah. Kamu sudah mendengarnya, kan?" Yasmin mengangguk. "Dokter sarif dinyatakan sebagai terdakwa atas kecelakaan Aisyah dan saat ini sedang menjalani pemeriksaan terkait kasus kematian Sarah dan Marissa." terang Bian. "Kamu pasti terkejut."

"Tidak. Semua orang berpotensi menjadi pembunuh."

Yah, kalimat itu begitu membekas dalam ingatan Yasmin sebab selama penyidikannya dulu para penyidik kerap melontarkan kalimat serupa tatkala takjub akan penampilan Yasmin yang begitu sukar dan tidak mungkin di golongkan dalam tipe pembunuh bengis.

"Aku tahu Yasmin, tapi dalam ilmu Psikologi kita harus mempertimbangkan−"

"Siapa yang peduli dengan ilmu psikologi, nyatanya yang sah dimata hukum adalah bukti sekalipun itu hasil manipulasi." potong Yasmin sarkastis.

Bian diam beberapa saat, menyadari lawan bicaranya mulai tersulut emosi.

"Aku ingin memberitahukanmu, mungkin kamu akan mendapat surat panggilan sebagai saksi."

Yasmin menyerngitkan keningnya, "Kenapa tidak ijin dulu sebelum menceritakannya ke Polisi?" nada Yasmin tak suka.

"Mereka butuh saksi untuk memperkuat dakwaan, bukti sidik jari saja tidak cukup."

"Tapi, harusnya Dokter membicarakannya dulu dengan saya!"

"Aku minta maaf, tapi mereka sangat butuh penjelesanmu."

"Saya tidak bersedia!" putus Yasmin kemudian berjalan tergesa-gesa meninggalkan Bian yang tercengang.

"Kenapa saat bersama Yasmin tidak ada yang berjalan dengan baik, semuanya pasti berakhir perdebatan atau kesalahpahaman!" gerutu Bian memijit pangkal hidungnya.

Getaran di saku Bian menghentikan gerutuannya, "Halo, Om." Air muka Bian menegang saat mendengar penuturan Bram di ujung sambungan telepon.

"Baik, aku segera ke sana." Ucap Bian kemudian berlari sepanjang koridor

...

BRAK!

"Pasien kehilangan banyak darah!"

"Tekanan darahnya tidak terdeteksi. Pasangkan masker oksigen!"

"Satu, Dua, Tiga Shoot!"

"Suntikan FB1F. Satu, Dua, Tiga Shoot!"

Pasien monitor menampilkan garis lurus hijau statis.

Bian berjalan dengan langkah lebar dan cepat menyusuri koridor Rumah Sakit menuju kamar inap Aisyah setelah mendapat kabar dari Bram bahwa Aisyah telah siuman. Di ujung koridor, Bian dapat melihat Bram berdiri di ambang pintu dengan wajah yang tak lagi kuyu.

"Bian, kamu ngebut ya?" pekik Bram tak percaya dengan kehadiran Bian yang begitu cepat mengingat jarak Rumah sakit dan Lapas terbilang jauh.

Bian meringis malu. "Kenapa Om di luar?"

"Baru saja ada yang membesuknya. Masuklah, dia rekan kerjamu di Lapas."

Dengan cepat Bian masuk tanpa mengetuk pintu. "Apa yang kamu lakukan di sini?"

Pria yang dimaksud menoleh dan bergeming mengabaikan kehadiran Bian yang sudah dia duga.

"Bian! Kenapa kamu berteriak ke Gustav." Ucap Aisyah yang kini sedang duduk bersandar di bangkar dengan sebelah tangan yang terpasang infus dan sebelahnya lagi menggenggam tangan Pria yang kehadirannya tak pernah Bian sangka, Trias.

Bian mendekat, menarik paksa tangan Trias. "Aisyah dia bukan Gustav." Mengalihkan tatapan penuh intimidasi ke Trias. "Dan kamu! Ikut dengan saya."

"Bian! Hentikan." Cekal Aisyah, "Ada apa denganmu? Harusnya kamu senang Gustav kembali."

"Aisyah, dia−"

"Kamu tidak perlu khawatir Gustav, belakangan ini otak Bian terganggu. Dia sedang jatuh cinta."

Bian mengacak rambutnya pelan, seperti yang dia duga Aisyah saat ini tengah mengalami gejala halusinasi akibat dari efek samping obat bius pasca operasi dan tak memungkinkan Bian untuk menyeret paksa Trias keluar. Justru Bian lah yang akan di usir dengan tidak terhormat oleh Aisyah.

"Saya tunggu kamu di luar."

Bian beranjak keluar, suara dentuman pintu terdengar disusul decakan takjub Aisyah.

"Terimakasih Aisyah."

Aisyah tersenyum simpul, melepaskan tangan Trias dari genggamannya. "Tidak! saya yang  berterimakasih, Trias."

When The Rain ComesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang