13.1

36 4 0
                                    

Namanya Melati, entah bagaiamana Bian harus mengatakannya?

Mulanya Bian mengelak perasaan aneh yang muncul kala pertemuan pertama Bian dan Melati di Taman Panti Asuhan Harapan, lebih tepatnya ketika mata keduanya saling bertemu dalam satu momentum, seolah ada medan magnet yang berlawanan arus saling menarik dengan sama kuatnya.

Sejak itu, Bian mulai menjadi laki-laki pengecut di usianya yang baru menginjak lima belas tahun. Ekor matanya tak pernah teralihkan dari sosok Melati setiap mereka berada di dimensi dan ruang yang sama membuatnya semakin didera rasa tak biasa yang Bian nikmati dalam diam. Memperhatikan Melati adalah kegemaran barunya, memastikan tiap langkah Melati dengan aman adalah pioritasnya seakan dunia Bian telah berganti poros dengan berotasi di sekitar Melati. Detik itu juga Bian menyadari satu hal yang pasti bahwa dia jatuh cinta.

Hari itu tiba katastrofe, Bian dihadapkan pada sebuah perpisahan yang meluruhkan masa remajanya. Perceraian kedua orang tua yang menyita atensi Bian hingga melewatkan harinya tanpa berkunjung ke Panti Harapan, figur Melati tak lagi mampu menjadi alasannya tersenyum, Bian tak memiliki waktu luang untuk menikmati detaknya. Bian menyepi, menyindiri untuk mengenang konsepsi keluarga yang tinggal angan serta menikmati berada dalam kukungan kecewa seorang diri.

"Dia tidak di sini lagi. Sebulan lalu, Bibinya yang tinggal di Amerika datang dan ikut serta membawa Melati."

Bian terperangah, denyut jantungnya kembali bertalu seiring dengan sesak yang menyelinap sukma ketika mengetahui kenyataan bahwa dia kembali dihadapkan pada perpisahan. Alunan kalimat dari Bunda-Pemilik Panti Asuahan Harapan terus terputar menciptakan pergolakan dalam batinnya.

Sore itu hujan mengguyur Bian hingga kuyup, rintik yang berjatuhan menyembunyikan tangis Bian dengan mata sayu. Raganya utuh namun merapuh.

Melati yang beranjak meninggalkan Bian pada suatu babak yang begitu abstrak.

Jalinan cinta pertamanya yang kandas sebelum memulai tak pernah dikisahkan Bian sekalipun pada sahabatnya Gustav, sebab segala tentang Melati taklah mudah.

...

"Kenapa harus Washington DC?"

Bian mengangkat bahu "Entahlah." Gustav dan Aisyah berbagi pandang dan terperangah kaget. "Bian, kamu yakin? Bukannya kamu dan Ayahmu tidak terlibat hubungan harmonis. Walaupun aku tidak senang kamu pindah, tapi bukankah lebih baik ikut Ibumu di Jakarta." kata Aisyah.

Bian menghirup dalam-dalam oksigen yang bercampur dengan aroma kopi dalam genggamannya. "Aku ingin menyepi di tempat yang tidak sepi." Jawab Bian tak berminat.

Lagi, Gustav dan Bian bertelepati melalui tatap.

"Washington DC, kota yang meski padat tapi sunyi sebab aku akan menjadi asing tanpa harus terasingkan. Selain itu, Ayah butuh aku untuk menghempas rindu akan figur Ibu. Kalian tahukan hancurnya Ayahku akibat perceraian mereka."

Bohong, Bian tak mungkin meninggalkan kedua sahabatnya demi Ayah yang selama tujuh belas tahun hidupnya hanya berperan sebagai pendonor sperma. Washington DC adalah kota yang dituju Melati dan sahabatnya akan mengutuki kebodohan Bian bila mengetahui alasan sebenarnya, sebab di mata mereka Bian bukanlah seorang fanatik romantisme.

Mereka diam untuk waktu yang cukup lama. Ketika suasana cukup netral, Gustav berseru demikian riang mengakhir keheningan. "Baiklah, bagaimana kalau kita adakan pesta perpisahan!" dibalas anggukan Bian dan Aisyah. "Kalian tahukan kasus KDRT yang ditangani Ayahku, Kliennya memiliki seorang anak remaja. Ibuku mengadopsinya!" lanjut Gustav riang.

"What?!" Pekik Aisyah, Bian menyemburkan Maacchiato Latte yang diteguknya.

"Kenapa? Ada yang salah? Bukannya aku sudah sering cerita ingin punya adik perempuan yang langsung gede. Keinginanku terkabul, dan malam ini sambil merayakan pesta perpisahan Bian akan ku kenalkan kalian dengannya."

When The Rain ComesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang