4

81 13 5
                                    

Kini Yasmin menangis terisak-isak pelan dalam pelukan Sipir yang bernama Trias, meratapi betapa bodohnya dia sempat berfikir mengakhiri hidupnya. Padahal dia tak boleh mati konyol sebelum kebenaran yang dia cari selama ini terungkap, dia harus hidup untuk Keluarga Bilge.

"Just cry. Kamu butuh menangis." bisik Trias sembari menepuk pundak Yasmin lembut.

Suara isak tangis Yasmin semakin terdengar pilu.

Aisyah terpaku menyaksikan penampakan dihadapannya, Yasmin menangis.

Hal yang sangat langkah mengingat betapa hebatnya Yasmin selama proses penyidikan hingga ditetapkan terpidana seumur hidup namun tak sekalipun meneteskan air mata, dikucilkan oleh narapidana lain tapi Yasmin berusaha nampak kuat, tak goyah oleh apapun.

...

Dalam dekap Trias tadi, Yasmin mengulik keping ingatan lama yang telah ia kubur dalam, Ingatan tentang bagaimana sosok Trias menjadi putih dalam kelam hidupnya.

Trias akan selalu mengulurkan tangannya kala Yasmin terpuruk, entah itu saat ini ataupun sepuluh tahun silam. Bersama Trias, Yasmin baik-baik saja.

Yasmin kini berjalan sempoyongan menuju sel diikuti Trias dibelakangnya. Meski sudah tak menangis lagi namun sisa-sisa air mata masih tergenang di pelupuk matanya.

"Terima kasih." lirih Yasmin.

Kini Trias dan Yasmin berdiri saling berhadapan tapi tak seintim tadi.

Trias mengangguk kecil, "Aku harap kejadian tadi yang terakhir kalinya," ucap Trias. "Kamu tahukan Allah membenci umat-Nya yang memilih bunuh diri. Karena perbuatan itu menunjukkan sikap tidak sabar menghadapi ujian, putus asa dan mendahului kehendak syar'iyyah Allâh Azza wa Jalla." terang Trias.

Yasmin menyimaknya minat. "Tuhan membenci pembunuh sepertiku."

Trias tersenyum tipis. "Siapa yang mengatakan itu, Allah sangat menyayangi para hamba-Nya."

Yasmin mengernyit kening tanda berpikir keras. "You've changed a lot."
Menyadari itu, Trias berdecak kecil. "Kamu membuatku ketakutan tadi."

"Kenapa?"

"Karena orang itu, kamu." gumam Trias pelan.

"Huh?"

Trias menggaruk tengkuknya, "Karena Kepala Lapas akan marah, kamu taukan dalam kurung waktu berdekatan dua orang narapidana bunuh diri," Yasmin ber-oh ria. "Pekerjaanku pasti terancam." lanjut Trias kemudian berlalu meninggalkan Yasmin.

Sepuluh tahun ternyata tak mampu melenyapkan degupan yang teramat dirindukan Yasmin.

...

Bian mendesah nafas gusar. "Bagaimana bisa kamu sampai se-teledor ini?" tanya Bian penuh penekanan.

"Aku tidak menduganya, Bian. Bukannya kamu yang melarangku untuk memberikannya antidepresan?" balas Aisyah yang kini terhubung panggilan telepon dengannya.

"Yasmin nyaris mati, Aisyah!" bentak Bian jengah sembari memijat pelipisnya yang mulai pening, "Dan kamu malah memperkarakan antidepresan sialan itu."

"Selalu begini, kamu selalu menyalahkan aku. Aku juga lelah, Bian." pekik Aisyah diseberang telepon.

"Aisyah," suara Bian kini melemah.

"Enough, Bian! aku yakin dia akan mengerti dan memaafkan kita."

"Ini yang terakhir kali kamu menghasutku untuk berhenti, Aisyah." tukas Bian tajam, "Kalau kamu tidak sanggup lagi, biar aku yang turun langsung." lanjutnya seraya mematikan sambungan telepon tanpa memedulikan penolakan Aisyah.

When The Rain ComesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang