{08} Bangun Pagi

33 15 38
                                    

"Aku tidak bisa melupakan dia, karena dia pernah menjadi bagian kenangan terindahku"

                                                  ~Devan

"Gimana Bun pijitan Zara? Enakkan?" Ujarnya sambil terus memijit bahu bundanya itu. Hana mengangguk tanda setuju. Dia memejamkan matanya menghayati pijitan Zara.

"Bunda jangan cape-cape ya, ntar kalo sakit siapa yang jagain Zara"

Hana hanya geleng-geleng kepala. Sudah beranjak SMA anaknya ini masih manja. Tidak berubah, sama seperti dulu.

"Kan bang Ansell ada Za"

"Gak mau bunda, yang ada bang Ansell nyusahin Zara" jawabnya sambil memandang ke arah Ansell yang baru saja keluar dari kamarnya sehabis mandi.

Ansell mendelik tak suka. Setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik, dia selalu salah di mata Zara. Entahlah, tidak ada kata akur untuk kakak beradik itu.

"Terserah Lo deh dek. Gue pusing mau makan" ujarnya sambil berjalan ke arah meja makan dan mulai memposisikan diri duduk manis di kursinya. Ansell mulai menyodok nasi secukupnya, kemudian menaruhnya di atas piringnya. Dia mengambil sayur-sayuran yang sudah di siapkan bi Inah sedari tadi. Di meja makan itu ada ikan goreng dan sambal pecel. Namun Ansell tak bisa memakan ikan goreng itu karena ia alergi dengan semua jenis makanan yang berbahan dasar ikan. Kalau dia memakan sedikit saja, sudah pasti tubuhnya di penuhi bintik-bintik merah.

"Bun, makan dulu yuk! Zara laper"

"Emang tadi sama pacar kamu gak makan dulu di jalan?"

"Pacar? Yang mana? Zara gak punya pacar Bun" ujarnya sambil mengerutkan alisnya.

"Itu yang tadi anterin kamu pulang, trus ngasih kamu bunga mawar"

"Oh itu mah si Devan, temen doang Bun" jawab Zara.

"Cieee anak bunda udah punya pacar"

"Apaan sih Bun, Zara gak suka sama dia. Zara gak suka cowok jutek trus sombong kayak dia. Ikhh amit-amit Bun"

"Bentar! Tadi Lo bilang cowok itu Devan kan?" Tanya Ansell menatap Zara penuh intimidasi.

Zara mengangguk. "Iya bang"

Ansell nampak berpikir sambil menatap ke langit-langit. Jari telunjuknya ia ketuk-ketukkan ke dagunya terlihat seperti orang yang sedang berpikir keras. Zara dan Hana menatap Ansell penuh pertanyaan. Ada apa dengan abangnya itu?

"Namanya Devan. Kayak pernah di cantumin dalam perjanjian kita deh dek" sontak Zara teringat dengan perjanjian konyol yang di buat oleh kakaknya itu.

"Perjanjian apa?" Tanya Hana penasaran menatap Zara penuh selidik.

"Ekhh nggak kok Bun. Itu mah bang Ansell aja ngada-ngada. Yaudah makan yuk Bun" jawabnya dengan senyum andalannya menarik tangan sang bunda agar bangkit dari tempat duduknya.

"Ngalihin pembicaraan" celetuk Ansell membuat Zara melotot ke arahnya.

Zara dan Hana pun ikut gabung dengan Ansell yang masih belum selesai melakukan aktivitas makannya.

"Beneran cuma temen doang?" Tanya Hana di sela-sela makannya. Zara mengangguk cepat.

"Trus kenapa sampe kasih-kasih bunga gitu? Pasti ada apa-apanya nih"

"Suudzon mulu lu mah bang"

"Tadi pas Zara mau pulang, angkot gada yang lewat. Trus Zara, Alya, sama Salwa di tawarin pulang bareng sama Aksa temennya Devan yang suka sama Salwa. Tapi awalnya Salwa nolak karena gak suka sama si Aksa. Nah trus bundanya nelpon ngasih tau kalau dia gak bisa jemput Salwa. Alhasil bundanya itu nyuruh Aksa buat nganterin. Karena pas-pasan kayak sepasang-sepasang, jadi Salwa di bonceng Aksa, Alya di bonceng Gilang, dan Zara di bonceng Devan. Gitu Bun" jelasnya panjang lebar. Itulah Zara, dia tidak mau ada orang yang salah paham tentang dirinya. Dia selalu menceritakan semua kejadian yang ia alami  kepada bundanya walaupun dia sekarang sudah SMA. Dia lebih dekat dengan bundanya di banding dengan anggota keluarga lainnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 16, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Zara (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang