Hara menyelempangkan tas sekolah hitam miliknya secara asal ke pundak, tatkala lonceng pertanda usainya jam pembelajaran berkumandang pada setiap penjuru ruang. Membawanya buru-buru keluar, ia mengambil dentum langkah bersamaan dengan beberapa pasang kaki yang ikut mencumbu lantai.
Hara ingin pulang.
Namun sesuatu yang terasa sangat meremat dadanya, serta-merta membuat dirinya memalingkan langkah menuju kamar mandi. Berlari, ia tersengal, semakin sulit menggapai napas. Pandangnya meremang, membuka knop pintu serta bersicepat meraih tabung obat bertempat di dalam tas. Lantas diteguknya melebihi batas dosis yang telah ditentukan.
"Huh... huh... sakit..."
Dadanya masih bergemuruh, berdenyut nyeri seakan diserang komplikasi berakibat vatal. Setitik, dua titik, bulir dingin mengalir tipis di atas permukaan kulit Hara. Ikut menyandarkan diri pada meja wastafel bernuansa agak usang. Menetralisir si rasa sakit agar cepat memudar.
Gue mau pulang...
Kala sunyi lantas mulai memelopori keadaan sekitar, tak lagi terdengar sayup suara penghuni sekolah yang menggema-gema. Tentu mereka sudah pulang lebih dulu, meninggalkan Hara yang kini tengah meraih ponsel miliknya yang sedang berdering dalam hening.
Itu Haruto.
"Hara, maaf. Lo bisa balik sendiri, kan? Urgent nih soalnya." Suaranya menguar agak kalut.
"Oke kalau gitu, maaf ya. Besok gue traktir kopi sepuas lo, deh!" Haruto ikut tertawa dari seberang sana.
"Gue tunggu, Haru..."
Setelah itu, sambungan ponsel terputus, seiring Hara melangkah keluar dari dalam kamar mandi sekolah. Hujan di luar sana juga bisa ia tangkap bahananya meski agak sayup. Seolah tengah menyoraki dirinya dari atas sana, mengejek. Tapi, ah, Hara suka hujan.
Netra sayunya mulai ikut menyorot si rintik usai sepasang sepatunya membawa Hara pada halaman utama sekolah. Mengulurkan tangan, menyapa setiap bulir dingin meski rasanya bak menikam sampai ke tulang.
Tidak apa-apa, Hara suka hujan.
"Terobos aja kali, ya?" suatu kalimat teruntuk dirinya sendiri kemudian menguar pelan.
Iya, lebih baik Hara menyusup di bawah hujan. Tenang, hujan tidak akan membuatnya sakit. Mungkin hanya berakhir dengan cambuk murka. Sekali lagi, tidak apa-apa, Hara sudah berteman dengan yang namanya rasa sakit.
Sebentar...
Kakinya yang senantiasa menerobos air hujan, ia hentikan sejenak. Tidak, ini mendadak. Karena dari jarak yang masih bisa dijangkau oleh netra, di sana, di depan sebuah kafe bergradasi cokelat, afeksinya terpatri pada seseorang yang tengah menatapnya seraya menangkup roman hambar.
"Kak Jeno..."
Hara tersenyum, tulus, tanpa paksaan. Meski tak pernah terbalas. Meski tak pernah dihiraukan. Bodoh, katakanlah Hara adalah gadis paling bodoh yang pernah hidup di muka bumi. Benar, ia bodoh karena satu kata 'cinta' juga entah apa artinya.
"Dek, pulang."
Atensinya teralihkan, menatap Na Jaemin yang entah sejak kapan sudah berdiri di hadapannya sembari memegang payung bening. Memandangi Sang adik dengan sorot sendu serta pilu. Ulur tangannya lantas menyapa pipi kemerahan Hara, dingin, diiringi bulir air yang ikut menetes.
Tidak, itu bukan air hujan.
Jaemin tahu, adiknya tengah menangis saat ini. Meski tidak kentara, efek menyatunya dengan air dari awang.
"Kamu halusinasi lagi?"
Hara menggeleng, "ada kak Jeno di sana."
Na Jaemin tersenyum miris, menggulir pandang ke arah kafe di seberang jalan. Tidak ada siapapun di sana, kosong. Kafe itu sudah ditutup sejak minggu lalu.
"Kamu mau pulang sama kakak, kan?"
Tbc...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.