07. Because of

26 41 0
                                        

Selamat membaca...















Langkah panjang Haruto membawanya menuju bilik berpetak lumayan lapang, bersuguh aroma semerbak kopi yang kian menjalar ke setiap penghujung ruang, juga bahana isak tangis yang sekalnya masih bisa ia tangkap meski agak remang.

Di hadapannya, tepatnya di atas ranjang tanpa balutan sprai, obsidian kelam Haruto menyorot eksistensi Hara yang tengah menelungkupkan kepala pada bantalan cokelat seraya meluruh isak tangis. Belum menyadari kedatangan Haruto yang sudah dijanjikan sejak beberapa tempo lalu. Asyik menuangkan seluruh beban melalui si pelupuk mata. Ah, rasanya agak menenangkan.

"Eiy, sis. Gue dateng nih, bangun dong." Haruto mengusak helai legam Hara selama beberapa saat, lantas membuat gadis menyedihkan itu kontak terkejut. Mengusap linang netranya sembari mengubah posisinya menjadi duduk.

"Haruto..."

"Naon, say? Udah puas belom nangisnya? Kalo belom, sok atuh dilanjutin." Bahak geli Haruto mencuat.

Hara mendengus, "apasih!"

Memilih untuk tak menanggapi seruan Hara, kedua tangan berbalut kain seragam milik Haruto kini tengah dijulurkan untuk meraih tangan ringkih si gadis berupa agak pasi, "ayo bangun. Mau gue peluk atau gue gendong, nih?"

Hara tersenyum, berusaha melupakan perihal perkara bengis yang barusan terjadi, "mau gendong aja deh," ujarnya. Setelah meraih tangan cegak sahabat laki-lakinya.

Setelahnya Haruto tertawa, menempatkan tubuh tak seberapa Hara pada punggung belakang. Ditemani senda gurau juga wacana-wacana jenaka yang mampu menggelitik seisi perutnya.

"Kuy, jalan-jalan sore!"

Sepasang sol sepatu hitam milik Haruto lantas tertalah-talah membawa keduanya keluar dari dalam kamar. Mengeratkan gendongan serta masih setia bercelatuk ria. Namun pada saat pertengahan jalan, sekonyong-konyong dihadang oleh Na Jaemin yang kebetulan hendak pergi entah ke mana.

"Kalian mau ke mana?" satu pertanyaan berhasil membuat Hara mendengus pelan.

Haruto yang menjawab, "gue ijin bawa Hara buat jalan-jalan ya, Bang. Tolong jangan diaduin sama ayahnya."

Jaemin telak mengangguk, membiarkan Sang adik dibawa oleh Haruto. Tidak masalah bagi Jaemin. Karena setidaknya, dengan Haruto, Hara bisa merasakan apa arti bahagia yang sesungguhnya. Bukan riang karena sekadar kalimat omong kosong belaka. Alias kebahagiaan yang hanya dibuat-buat. Kebohongan.

"Iya, sana. Tapi jangan sampai lupa waktu, ya?" Kalimat Jaemin, mengarah pada Hara yang masih dililit notasi bisu, "gue titipin adek gue sama lo, tolong lo jaga sebisa mungkin." Untuk yang ini, ia tujukan ke arah Haruto.

"Ashiappp!!! Dahlah, kita mau kencan dulu," ujar Haruto, lantas melenggang pergi, keluar dari dalam pekarangan rumah milik keluarga si gadis yang hingga saat ini masih termenung. "Eiyy, kenapa diem aja?"

Hembus napas Hara kontan tertarik keluar, "itu... ada kak Jeno," cicitnya pelan. Memusatkan segenap animo pada laki-laki yang baru saja keluar dari dalam mobil sedan berona legam.

"Kita samperin, kuy. Hehehe..." Haruto lagi-lagi terkekeh kecil. Hara hanya mengangguk seraya mengeratkan pelukan tangannya pada leher Haruto.

Setelah keduanya tiba di hadapan Lee Jeno, laki-laki bertubuh tegap itu hanya memasang tampang hambar juga memaku pandang anomali ke arah Hara yang sedang berada dalam gendongan Haruto. Wajahnya tampak sumringah, meski sedikit dihiasi iras pucat.

Ah, kenapa Jeno jadi memerhatikan?

"Selamat sore, kak Jenooo." Senyum sapa Hara juga Haruto serentak mengemuka.

"Hm."

Hanya itu yang Jeno lontarkan, sebelum setelahnya hendak kembali mengulas langkah. Namun, mana sempat. Haruto sudah buru-buru menyergah.

"E e eh, tunggu dulu!"

Jeno berdecak, "apa?"

"Dingin bener sih kakaknya, senyum napa. Jangan datar mulu itu muka, udah mirip si Yunseong alias tetangga sebelah gue aja, deh. Greget gue lama-lama." Haruto menggeleng-gelengkan kepalanya, dibalas kekehan dari Hara.

"Haru nggak boleh gitu, nanti kak Jenonya marah, loh."

Haruto mendengus, "ngeselin sih, mana nggak pernah ngehargain lo. Udah gitu, sombong lagi. Hilih."

"Haru..."

"Apasih? Emang faktanya gitu, kan? Tau nggak sih, Ra. Gue tuh rasanya pengin marah setiap liat cowok ini seakan-akan nggak peduli sama lo. Gue juga mau marah sama lo, bisa-bisanya malah suka sama cowok yang modelannya kek gini. Kek anak anjing!"

Mungkin bagi Hara, Haruto tak sepantasnya berbicara seperti itu. Terlebih di hadapan Jeno yang saat ini tengah terdiam. Membiarkan segala macam kalimat sarkas tersebut memenuhi setiap relung pikirnya.

Lantas Jeno menunduk, apakah dirinya memang seketerlaluan itu dalam menghadapi Hara?









Tbc...

Tbc

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
HisteriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang