05. Hurts so good

32 41 0
                                    

Selamat membaca...












"Bangun."

Satu sampai tiga tepukan kecil berhasil mendarat di atas wajah letih Hara. Mengernyit sembari membuka si aksa, lamban, pening ikut membega. Netra buramnya lalu mulai menyorot panggar gelita di atas sana, tampak asing.

Tunggu...

Ini bukan kamarnya.

Tercegak Hara kemudian, membidik arah tatap pada laki-laki berdurja muram di hadapannya. Berkemeja seputih gading, rapi, sepertinya hendak berangkat kuliah. Namun bukan itu yang menjadi sasaran Hara kala kini.

"Kok aku ada di sini?"

Jeno berdecak, mengalihkan pandang serta si kerangka menuju nakas kecil di sudut kamar, "semalem lo ketiduran," ujarnya, kelewat datar.

Hara mengangguk, tersenyum kikuk seraya bergegas turun dari ranjang. Meski nalarnya masih tetap melalang buana, berusaha mengingat kejadian semalam, juga tentang Jeno yang... agaknya bisa Hara katakan sebagai sikap manis.

Kendati hanya sebatas kalimat umpama.

Tidak apa-apa.

"Pulang sana. Sekolah."

Seringai Hara melebar, memandangi Jeno dengan gemuruh di dada. Sakit juga berdebar secara tak karuan. Melangkah mendekat sambil melempar seluruh tilik pada Jeno, meski si napas sulit dicapai. Rasanya nyeri, perih, remai hingga ke tulang.

Hara tersenyum.

"Makasih, kak Jeno." Suaranya, diabaikan.

"Kak Jeno..."

Masih sama, terabai.

"Huft, selamat pagi, jangan lupa bahagia, jangan lupa senyum, dan jangan lupa buat tetep napas! Kalo nggak, nanti aku juga ikut mati." Kalimat konyol Hara tercetus, bibirnya mencebik sambil mengulas dentum.

Jeno diam, tak menganggap Hara ada. Sibuk mencari sesuatu di dalam nakas.

"Kak Jeno, aku pulang, ya..."

Langkah Hara bergulir, keluar dari dalam kamar penuh nuansa kelam milik Jeno. Memaku tatap pada lantai sampai dirinya benar-benar keluar dari dalam petak berukuran luas tersebut. Terkejut, setelah mengangkat sudut pandang. Mendapati Haruto yang tengah berdiri di depan rumahnya, ditemani seonggok motor besar juga seragam putih abu yang melekat di tubuh jangkungnya.

Hara berlari kecil kemudian, bertambah pucat si iras bersama rasa lara yang kian menjalar. Tertalah-talah menghampiri Haruto, yang ikut menyorot eksistensi Hara seraya memasang tampang penuh napap.

"Haru!"

Laki-laki itu menganga, terheran-heran, "lo abis ngapain, anjrit?! Kok keluar dari sana? Terus kok belom mandi? Nanti kalo telat gimana?! Aduh, Gusti!"

Hara tersenyum kecil setelah berhenti tepat di hadapan Haruto, "Haru, maaf. Semalem— ah, enggak. Gue siap-siap dulu, deh. Tunggu ya, Haruuu. Jangan ditinggal!" serunya, hendak nyelonong masuk ke dalam rumah.

Kedua alis tebal milik Haruto lantas menyatu ragu, menahan lengan Hara agar tak melenggang masuk, "obatnya jangan lupa diminum dulu," ujarnya. Mengganti kalimat yang sebelumnya ingin ia lontarkan.

Hara hanya mengangguk, menahan nyeri di dadanya yang bertambah membuncah. Ah, Hara belum minum obat. Pantas saja...

Menghela napas panjang, agak berat juga terputus-putus. Langkahnya lunglai. Tapi kemudian, kontan ia berhenti. Sekonyong-konyong. Mendadak. Tiba-tiba. Netranya mencuat, menangkap keberadaan Sang ayah yang tengah memeluk sorot tajam.

Hendak menghujami dirinya dengan segala macam kalimat serta hadiah menyakitkan, sebab semalam Hara tak pulang.








Tbc...

Tbc

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
HisteriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang