Pintu kamar berkelir cokelat tua baru saja di buka oleh sang empu, menampakkan pemilik kamar yang tak lain dan tak bukan ialah gadis bersurai sebahu berbalut seragam sekolah putih serta abu.
Setelah tertutupnya pintu berbahan dasar kayu, kedua pasang kaki ringkih mulai melangkah ditemani netra sayu. Berkawan iras datar serta gurat sendu yang melekat pada si rupa agak pucat. Sampai pada akhirnya, tapak gadis tersebut berhenti di hadapan sang anggota keluarga yang tengah melakukan sarapan pagi bertempat pada ruang makan.
"Hara, ayo sarapan dulu."
Ia melengos, mengabaikan suara wanita yang saat ini menyandang status sebagai ibu tirinya. Berdecak, seraya membatin, gue bahkan udah bilang beberapa kali kalau gue nggak bisa makan pagi. Bersamaan dengan kalimatnya yang mencelos dalam diam, kakinya lantas kembali melangkah menuju arah kulkas. Hendak mengambil beberapa makanan yang akan ia buat sebagai bekal.
Juga, sebisa mungkin menutup rapat si indra pendengar agar suara canda serta tawa sang keluarga tidak lolos masuk ke dalam telinga.
"Ma, pa, besok aku bolehkan nonton turnamen basket sama kak Jaemin?" gadis bersurai panjang melontar tanya, seraya melahap satu potong rotinya.
"Boleh, asal nggak aneh-aneh selama di sana. Jaemin juga, adiknya harus dijagain terus. Jangan sampai lepas pengawasan."
Laki-laki yang namanya barusan disebut, hanya mengangguk kecil. Diam-diam memerhatikan saudara tirinya yang masih sibuk menyiapkan bekal makanan. "dek," panggil Jaemin. Percuma, karena sama sekali tidak Hara hiraukan.
"Nanti Della berangkatnya sama kak Jaemin, ya?" gadis bersurai panjang itu kembali kembali buka bahana.
"Iya, Hara juga—"
"Hara udah sama temennya, kamu anterin Della aja," sahut sang kepala keluarga.
Setelah selesai dengan aktivitasnya, Hara kontan melenggang pergi tanpa mengucap basa-basi. Menenteng paper bag berisi makanan sembari melangkah keluar dari dalam rumah yang tidak bisa Hara sebut sebagai rumah. Lucu sekali.
Gadis itu tergelak, lumayan terkejut setelah Haruto melempar untai kalimat pada dirinya. Laki-laki berseragam sama sepertinya malah hanya cengengesan disertai wajah tanpa dosa.
"Kalo nggak gue jemput, ntar lo berangkatnya sama siapa, say?"
Hara mendengus, "bolos, dong!"
"Enak aja, kalo lo bolos, berarti gue juga harus bolos. Kan kita sahabat sehidup semati, ya nggak?" tanya Haruto, melantik alis.
Gadis berhelai sebahu sekali lagi melengos, meluruhkan segenap minat pada laki-laki berkemeja yang hendak masuk ke dalam mobil. Maka tanpa pikir panjang, sekonyong-konyong Hara berlari menuju laki-laki tersebut. Meninggalkan Haruto yang tengah didekap bingung.
"Eh, mau ke mana, say?"
"Kak Jeno, tunggu!"
Huh, hampir saja pintu mobilnya tertutup rapat jika tidak Hara tahan. Membuat si pengemudinya berdecak pelan dengan wajah terlampau datar. Sudah paham betul dengan tingkah eksentrik dari si gadis berseragam.
"Ini, bekal buat kak Jeno. Semangat ya kuliahnya," ujar Hara, menyerahkan paper bag berwarna putih sambil mengembangkan senyum ceria.
"Gue nggak butuh."
Hara diam, melunturkan senyum serta silih berganti menjadi rupa tanpa mimik. Ia menghela napas, sudah sangat terbiasa mendapat balasan seperti itu dari Jeno. Tidak, Hara tidak sakit hati. Untuk apa? Kan sudah terbiasa.
"Tapi kata Haru, nolak pemberian dari orang itu nggak baik. Apalagi kalau yang ngasih bener-bener tulus."
"Nggak usah caper," ujar Jeno, mulai menggerakkan tanganuntuk menutup kembali pintu mobil. Sepersekon detik kemudian memelesat pergi dari pekarangan rumah miliknya. Meninggalkan Hara yang tengah tertawa kecil sembari mencumbu tanah ke arah sahabat laki-lakinya.
"Sakit nggak, Ra?" Haruto bertanya, memasangkan helm di atas kepala milik Hara.
"Sakit, Haru..."
Tbc...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.