Selamat membaca...
Hara menelungkupkan wajahnya pada bantal berona putih yang setia menampung air mata berambai-ambai, bak menjadi saksi bisu tatkala gadis berupa tak karuan tersebut diserang gundah serta sentimen yang sarat akan rasa sakit.
Ia menangis, sesenggukan sampai sulit sekali untuk sekadar mengembus napas. Dadanya ikut perih, melemah, rasanya mau mati.
"Hara benci ayah..."
Sembari terus mengurai derai air di atas pelupuk mata, kalimatnya juga ikut menguar dengan nada sumbang. Gemetar, sayup. Terdengar menyakitkan. Lantas kepingan memori beberapa waktu lalu, kembali terngiang-ngiang di dalam pikiran.
Saat ayahnya melontar wacana memilukan, saat ayahnya menoreh luka baru di atas permukaan kulitnya. Tidak, bagi Hara luka fisik tidak sesakit itu. Namun segala macam kalimat-kalimat sarkaslah yang mampu merusak batinnya. Sungguh, rasanya sesakit itu...
"Bunda, tolong bawa Hara pergi... ayah jahat..." Suaranya lagi-lagi mencuat pelan.
"Bunda... Hara mau ikut bunda. Di sini rasanya kaya di neraka. Sakit..."
Tangisnya pecah lagi untuk yang kesekian kali. Meski ia mencoba untuk tenang, rasanya sama sekali tidak bisa. Hara sudah terlanjur dilanda sesuatu yang membuat dirinya hampir kehilangan kesadaran.
Dan, tunggu...
Hara teringat suatu hal.
"Haru..."
Kontan Hara beranjak dari atas ranjang seraya mengusap wajah dengan gerakan agak kasar, menyeka air mata. Kemudian berjalan ke arah jendela yang tengah terbuka lebar. Lalu si atensi mulai menyorot eksistensi Haruto yang masih senantiasa mencuat di depan rumahnya.
Ah, Hara lupa jika laki-laki itu masih menunggu dirinya sejak beberapa menit yang lalu. Hendak pergi sekolah bersama. Tapi sekarang apa? Hara bahkan sudah tidak berminat untuk sekadar keluar dari dalam kamar.
"Haruto!"
Terkesiap, lantas laki-laki berseragam putih abu, sontak mendongak. Menatap Hara yang barusan berseru dari atas sana.
"Hara..." suaranya pelan, terdengar seperti gumaman. Haruto tahu, tahu jika gadis itu sedang tidak baik-baik saja sekarang. Ah, selalu. Bukan hanya saat ini.
"Lo berangkat duluan aja, gue mau bolos, hehehe. Maaf ya, Haruuu!"
Haruto diam, dasar sok kuat, batinnya meracau. Lalu memilih untuk ikut mengulas senyum, "okeee, lo lanjutin aja nangisnya sana! Jangan ditahan, pokoknya lo keluarin aja semuanya. Nanti kalo gue udah balik, ntar ke sini lagi buat meluk lo, oke?!"
Tbc...
Apasih,...