10: Pesan yang Dirindukan

36 17 22
                                    

Bismillah

Hafshah menyerahkan segulung kertas pada tangan Rufaida. Dengan perlahan, Rufaida membuka kertas tersebut. Setelah kertas terbuka, Rufaida menatapnya cukup lama. Tidak, tapi lama sekali.

"Tapi Hafshah, aku lupa huruf. Aku enggak bisa baca," ungkap Rufaida.

Rufaida sangat malu. Apa-apaan ini? Ia tidak lupa caranya berbicara, tapi ia lupa cara membaca setiap abjad yang mungkin pernah ia bisa sebelumnya.

Hafshah termenung mendengar pengakuan dari Rufaida. Bagi Hafshah, mungkin ini salah satu hal yang Rufaida lupakan. Wajar saja. Jadi, ia akan membantu Rufaida mengingat lagi setiap huruf.

"Kalau begitu, kita belajar membaca dulu, ya?" tawar Hafshah.

Rufaida mengangguk pelan, gadis itu menyengir karena rasa malu beberapa detik lalu masih bersarang. Ia hanya bisa melihat Hafshah yang mulai sibuk mencari sesuatu di lemari pakaiannya. Lantas, Hafshah kembali dengan sebuah karton tebal yang digulung.

"Di sini ada huruf dan angka. Kakakku yang membuat ini, dia bikin ini karena dulu waktu kecil aku lola ... semacam susah memproses sesuatu di otak. Mengesalkan, gara-gara itu aku jadi bahan bully-an dari TK sampai SMP." Hafshah berucap panjang.

"Bully itu?"

"Semacam penindasan, bisa lewat ucapan, tindakan, dan lain-lain. Kalau temanku dulu, mereka suka bilang aku ini lola tiada lawan. Padahal, kalau mereka butuh apa-apa, larinya pasti ke aku. Aku tahu itu cuma ucapan, tapi bagi aku yang mendapatkan ucapan itu, itu sangat sakit," jelas Hafshah disertai dengan curhatan.

Tangan Rufaida terulur, menyentuh pundak Hafshah. Rufaida tersenyum lebar, lalu berkata, "Aku tahu kamu kuat. Semangat, ya?"

Hafshah mengangguk mantap. "Sejak kapan aku enggak semangat? Yuk, kita mulai belajarnya."

Karton tadi dibuka. Kedua gadis itu lantas menempelkannya di dinding kamar dengan selotip. Setelah beres, Hafshah menarik kursi kecil dari bawah meja rias. Ia meminta agar Rufaida duduk di kursi itu. Sedangkan Hafshah kini mulai mengeja satu per satu huruf.

✿•✿•✿

Rufaida berjalan mondar-mandir di depan kolam ikan—kolam ikan yang ditunjukkan Hafshah waktu itu. Rufaida membaca berkali-kali satu per satu huruf yang terterah di buku tulisnya. Ya, setelah belajar di kamar tadi ia memutuskan untuk menyalin setiap huruf agar bisa ia pelajari di tempat lain.

Beberapa menit yang lalu, Hafshah harus melaksanakan salat Zuhur di masjid. Terpaksa, ia harus meninggalkan Rufaida sendirian. Karena bosan, Rufaida akhirnya pergi ke luar untuk jalan-jalan.

Sampai di huruf U, Rufaida langsung bingung. Ia lupa bagaimana membaca huruf setelah huruf U. Gadis itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, dia bingung harus bertanya pada siapa.

Dari atas sini, Rufaida bisa melihat Billa yang tengah menjemur pakaian. Rufaida pun memutuskan untuk turun dari taman, lantas berlari menghampiri Billa untuk meminta bantuan.

"Assalamualaikum, Mbak Billa," sapa Rufaida dengan riang.

Billa menoleh, ia tersenyum sembari membalas salam. Setelah itu, ia memeras sisa air yang masih ditampung oleh pakaian yang akan ia jemur.

"Mbak, Bill. Aku bingung, nih," ujar Rufaida dengan cengiran.

"Bingung kenapa?" Billa bertanya.

"Ini ... aku lupa cara membaca. Tapi aku mau belajar lagi, jadi Hafshah bantu aku buat membaca. Tapi aku lupa huruf setelah U bacanya bagaimana," jelas Rufaida, menceritakan keluhannya.

Billa menghentikan kegiatannya. Ia lalu meminta buku yang Rufaida bawa. Billa lantas menghadapkan buku itu pada Rufaida dan menunjuk satu per satu huruf setelah huruf U sembari mengucap bacaannya.

Rufaida berterima kasih pada Billa. Ia lalu berdiri sejenak sembari melihat Billa yang kembali melanjutkan aktivitas menjemur pakaian.

"Ini pakaian siapa, Mbak?" tanya Rufaida.

"Pakaianku. Kenapa?" balas Billa tanpa melihat Rufaida.

"Boleh aku bantu?" tawar Rufaida. Ia hendak memgambil satu gamis yang ada di salah satu ember, tetapi Billa mencegahnya.

"Jangan! Nanti kamu lelah lagi, bajuku banyak soalnya," ujar Billa tak enak.

Rufaida menggeleng tegas. "Aku malah suka kalau bantu Mbak Billa."

Billa tersenyum tipis. Rufaida sungguh berbeda dari yang Ayu ceritakan. Hal itu membuat Billa membatin, Kenapa Ayu malah tidak menyukai gadis periang seperti gadis ini?

"Oh iya, nama kamu siapa?" tanya Billa di tengah-tengah kegiatan.

"Rufaida." Rufaida menjawab singkat. "Oh iya, Mbak. Mbak Billa enggak salat Zuhur?"

Billa menggeleng pelan. "Mbak lagi halangan."

Rufaida mengangguk paham. Ia lalu kembali membantu Billa menjemur pakaian. Di tempat ini memang menjadi tempat menjemur untuk para santriwati. Selain karena tempatnya yang tertutup—terhalang dinding pembatas masjid, tempat ini juga mudah mendapat sinar matahari.

✿•✿•✿

Sore hari menjadi hari yang cukup melelahkan. Segala aktivitas dari pagi hingga siang, lelahnya menjadi satu di sore hari. Seperti Hafshah, gadis itu kali ini tengah merebahkan tubuhnya di atas ranjang, sembari kedua tangannya mengotak-atik ponsel guna mengetahui informasi terbaru.

Tubuh Hafshah menegak, ketika ia baru saja membaca pesan yang masuk ke dalam aplikasi WhatsApp-nya. Gadis itu langsung keluar dari kamarnya, berlari menuju kamar Nyai Nafeeza. Lelahnya tadi seketika hilang.

Di depan kamar Nyai Nafeeza, ada Rufaida yang tengah menyapu. Gadis itu melakukan aktivitas ini sejak satu jam yang lalu, ia menyapu hampir seluruh tempat yang ada di dalam ndalem.

"Kamu kenapa lari-lari, Hafshah?" tanya Rufaida heran.

Hafshah menggeleng pelan. "Nanti aku ceritakan."

Setelah mengucap itu, Hafshah masuk ke dalam kamar Nyai Nafeeza. Ia menunjukkan layar ponselnya pada uminya. Setelah itu, baik Nyai Nafeeza atau Hafshah, sama-sama tersenyum senang.

Mas Manaf
Minggu depan Mas pulang.

✿•✿•✿

Terima kasih sudah mampir dan membaca PEACH dari awal part hingga akhir.

Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komentar. Atau boleh men-share cerita ini ke teman-teman kalian^^

Tinggalkan pula kritik dan saran. Masukan sangat dibutuhkan bagi saya.

-Dn💙

-Dn💙

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
PEACH [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang