09: Depot dan Nomor Telepon

37 17 50
                                    

Bismillah

Saddam membuka kedua matanya. Lelaki itu terbangun pada pukul sembilan pagi, ia baru saja melihat dari arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

Lelaki itu berdiri dan berjalan mendekati pembatas jembatan yang sudah jebol. Ia menatapnya cukup lama, sembari berpikir, Mengapa pembatas yang seharusnya kuat ini bisa jebol hanya karena hantaman mobil?

Mungkin, sebagian orang akan berspekulasi bahwa itu sudah menjadi takdir bagi keluarga Efigenia. Namun bagi Saddam, ia harus mengetahui penyebab atas akibat yang telah terjadi detik itu.

"Dam?" Suara Liliana membuat Saddam menoleh ke belakang.

Sang anak tidak menjawab. Saddam memilih untuk menunggu Liliana berada di hadapannya.

"Kamu baru bangun?" tanya Liliana. Jemari wanita paruh baya itu menyentuh kening putranya, merapikan rambut Saddam yang berantakan menutupi kening.

Saddam mengangguk atas pertanyaan Liliana. "Kenapa?"

"Berarti kamu enggak salat Subuh? Padahal di depan sana ada masjid, Dam," balas Liliana. Tangannya sudah berhenti merapikan rambut Saddam.

"Saddam enggak tahu, Bu. Mau salat atau enggak, apa itu berpengaruh pada keadaan yang kita alami saat ini?" balas Saddam.

Liliana berkerut kening. "Kenapa kamu bilang begitu? Padahal kamu yang biasanya mengingatkan Ibu untuk salat. Atau jangan-jangan, dari kemarin kamu bolong salatnya?" tanya Liliana memberondong.

Saddam mendongak, menatap dedaunan pohon yang tertiup pelan karena sang bayu.

"Sudah, Bu. Saddam mau makan. Setelah ini, Saddam mau cari Riley lagi," ujar Saddam. Ia berlalu dari hadapan Liliana.

✿•✿•✿

Ini kali kedua Saddam makan di depot kecil setelah sekian lama. Lelaki itu memesan makanan yang sama dengan apa yang ia pesan dulu, nasi pecel dan teh hangat.

Saddam memainkan ponselnya, sembari menunggu pesanannya datang. Tampak beberapa pesan WhatsApp dari beberapa teman SMA-nya, khususnya anak-anak jurnalistik yang cukup mengenal Riley. Pesan itu tak lain berisi tentang ucapan belasungkawa.

Ah, hidup. Baru saja ia mendapat pesan selamat atas pertunangannya dengan Riley, kini ia mendapat pesan belasungkawa karena hilangnya Riley. Riley dan hidupnya, sunggu membuat Saddam paham bahwa takdir bisa membalik 180° dalam waktu sekejap.

Saddam membuka akun Twitternya. Lelaki itu pun mendapat pesan yang sama, baik melalui direct message atau kicauan teman-temannya. Saddam tahu itu, karena mereka menyebut akun Saddam dalam setiap unggahan.

Saddam yang malang. Ia semakin pusing karena pesan-pesan yang ia terima. Benar-benar Saddam yang malang.

Lelaki itu mematikan ponselnya. Ia tak mau membuat hidupnya semakin terpuruk karena media sosial yang ia miliki.

Di tengah lamunannya, ia mengingat satu hal. Tentu saja, sebuah peristiwa kecil yang membuat ia paham, bahwa suatu kegiatan tidaklah berarti pada tempat, tetapi ... dengan siapa kita melakukannya.

✿•✿•✿

Bel pulang sekolah telah terdengar. Dengan santai Saddam beranjak dari bangkunya untuk keluar kelas. Nahasnya, saat berada di pertigaan kelas sepuluh, ia mendapati Hirana dengan senyum yang ia tunjukkan.

Baiklah, Saddam harus pura-pura tak melihatnya. Ia tak mau meladeni lagi tingkah aneh yang selalu Hirana tunjukkan beberapa hari ini. Sejak acara bazar. Hirana selalu mendekatinya.

PEACH [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang