Bismillah
Rufaida duduk di tepi kolam ikan. Sembari menunggu Hafshah yang sedang asyik merawat bunga, Rufaida memilih mengisi waktunya dengan bermain ikan hias.
"Katanya tadi beli buat kakaknya doang. Eh, ternyata beli sekebun." Rufaida berkata tanpa melihat Hafshah.
Hafshah melirik Rufaida sejenak. "Ya, maaf. Lagian di sana banyak banget bunganya, aku jadi bingung."
Rufaida menggeleng pelan. Tangan gadis itu ia celupkan ke dalam kolam, sembari mengejar beberapa ikan yang berenang lebih cepat saat tangan Rufaida mulai mendekat.
"Nama kakaknya siapa? Aku lupa," tanya Rufaida.
Hafshah menatap Rufaida beberapa saat. "Pikun." Gadis itu mengambil pot kecil, lantas berkata, "Manaf."
"Heh?"
"Manaf. Ma-naf."
Rufaida mengangguk kecil. "Namanya bagus, ya."
"Jelas. Siapa dulu adiknya? Hafshah," balas Hafshah dengan wajah bangga.
Rufaida mengerutkan alisnya heran. Gadis itu mencipratkan air ke arah Hafshah. "Enggak nyambung!" serunya, lantas tertawa.
✿•✿•✿
Ayu mengambil wajan yang sedikit panas karena telah digunakan beberapa saat lalu. Ia lantas membawa makanan yang telah ia masak tadi ke ruang makan, bersama dengan Billa dan Rufaida.
Setelah itu, Ayu dan Billa meninggalkan ruang makan, sedangkan Rufaida memilih untuk menyiapkan piring-piring di atas meja makan. Tak lama kemudian, Hafshah tiba bersamaan dengan Ayu yang membawa teko air.
"Mas Manaf sebentar lagi datang, Ruf!" seru Hafshah. Kalimat itu telah Rufaida dengar berkali-kali, hingga ia sendiri merasa bosan.
"Sudah tahu," balas Rufaida seadanya.
Ayu menatap kedua gadis di hadapannya untuk waktu yang cukup lama. Lalu ia tersenyum tipis dan berlalu dari hadapan mereka berdua.
Ayu menyandarkan tubuhnya di dinding dapur, menyentuh dadanya yang tiba-tiba berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Ayu merasa kebahagiaan yang begitu menggebu, sehingga sedikit sulit ia mengendalikan rasa bahagia yang ia rasakan saat ini.
Bibirnya semakin mengembang, apalagi ketika air mata di pucuk matanya mengalir membasahi kedua pipinya yang kini tengah merona. Selintas ucapan dari percakapan terakhir itu terdengar.
"Santai saja, Mbak. Aku pasti inget sana Mbak. Bye, ya!"
Bibir Ayu bergetar, senyumnya masih ia tahan dengan air mata yang terus-menerus tumpah. Tangannya semakin erat, mencengkeram kerudung bewarna biru tua yang ia pakai sekarang.
"Gus Manaf ...," lirih Ayu dengan pejaman mata, membiarkan pipinya kembali membasah dengan air mata.
✿•✿•✿
Hari semakin malam. Selepas salat Isya, Ayu berjalan menuju kamar Hafshah. Tujuannya adalah untuk bertanya soal kabar yang tadi ia dengar di ruang makan. Perkara Manaf yang akan pulang.
Tanpa ragu ia mengetuk pintu, lantas pintu terbuka setelah Rufaida menariknya dari dalam. Senyum Ayu sedikit berkurang saat melihat wajah oriental milik Rufaida.
"Assalamualaikum. Ning Hafshah ada di dalam?" tanya Ayu tanpa basa-basi.
Rufaida mengangguk kecil setelah menjawab salam. Gadis itu sedikit menoleh ke belakang, di mana Hafshah sedang berada. "Hafshah, ada Mbak Ayu," katanya.
Terdengar sahutan dari Hafshah, mengizinkan agar mbak ndalem yang satu itu masuk ke dalam.
"Ning Hafshah, Mbak mau ngobrol sebentar," ujar Ayu penuh semangat.
Hafshah bangkit dari posisi duduknya, lalu berjalan mendekati Ayu yang sedang berdiri di depan pintu.
"Ngobrol apa, Mbak?" tanya Hafshah.
Ayu sedikit melirik ke arah Rufaida. "Ada Rufaida," lirihnya.
Hafshah tersenyum tipis. "Perkara apa memangnya?"
"Euhm ... anu, soal Gus Manaf," lirih Ayu.
Hafshah tersenyum tipis. "Santai saja, Rufaida enggak akan komentar aneh-aneh atau beberin rahasia."
Ragu-ragu, Ayu pun mengutarakan segala pertanyaannya. Rentetan pertanyaan itu Hafshah jawab dengan sabar dan jelas.
"Aku enggak sabar ketemu Gus Manaf. Gus Manaf teman Mbak sejak kecil. Mbak di sini 'kan karena Mbak dulu orang tuanya kerja di sini, jadi Mbak di sini terus sampai orang tua Mbak meninggal. Semoga Gus Manaf masih ingat sama Mbak." Ayu berucap antusias.
Hafshah mengangguk paham. Ayu dan Manaf dulu memang cukup dekat bila sedang berada di ndalem. Meski begitu, Manaf selalu menjaga jarak, layaknya sebagaimana hubungan laki-laki dan perempuan dalam Islam.
"Aku juga, Mbak. Apalagi ada Rufaida sekarang, mau aku kenalin sama Mas Manaf," bisik Hafshah.
Senyum Ayu memudar. "Maksud kamu?"
"Astagfirullah, Mbak Ayu. Santai aja mukanya. Namanya juga teman, sekaligus anggota keluarga baru bagi kita, masa iya enggak dikenalkan dengan Mas Manaf?" Hafshah menjelaskan.
Ayu mengangguk pelan. Langkahnya mundur secara perlahan. Kedua bola matanya menatap ke bawah, lantas ia berbalik tanpa pamit meninggalkan kamar Hafshah.
Hafshah mengerutkan kening heran. Sikap Ayu barusan, di luar ekspetasinya. Hafshah juga tak tahu alasan Ayu bersikap seperti barusan. Memangnya ada yang salah dengan sikap Hafshah? Hafshah rasa, tidak.
✿•✿•✿
Terima kasih sudah mampir dan membaca PEACH dari awal part hingga akhir.
Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komentar. Atau boleh men-share cerita ini ke teman-teman kalian^^
Tinggalkan pula kritik dan saran. Masukan sangat dibutuhkan bagi saya.
-Dn💙
KAMU SEDANG MEMBACA
PEACH [Sudah Terbit]
Spiritual[Spiritual-Romance] [SUDAH TERBIT] -Sebagian part sudah dihapus.- Bunga tulip bewarna peach pernah memberi kenangan indah bagi seorang gadis bernama Riley Arabelle Efigenia. Bunga tulip bewarna peach juga menjadi bunga favorit bagi gadis bermata cok...