7. Ketika rasa itu hadir

25 4 0
                                    

~Ketika rasa itu hadir, aku bermain mata, bergejolak hati yang menemukan sebuah rasa cinta~

                               ♤♤♤

Majalah dinding mengibarkan berita. Segerombolan santri putri berdesakan. Imaz berjinjit berusaha ingin tau berita baru.

Meskipun mata kelihatan setengah tentang informasinya setidaknya membuat hatinya lega. Ya. Ia terpilih menjadi khodam Ning Fiyyah. Sesuai ekspektasi. Jadwal setoran Alfiyah dilaksanakan sehabis isya' dengan guru Robithus Sabilillah atau yang dikenal dengan Robet. Mereka bertemu kembali.

"Masakan cumi dan udang bakar madumu sungguh enak. Kapan-kapan buatkan lagi ya?" Kata Ning Fiyyah memuji dan bersandar di tembok.

Setelah sekian segerombolan santri putri makin mengecil di majalah dinding. Imaz memutuskan berkunjung ke kamar Ning Fiyyah untuk mengucapkan terima kasih atas kerelaan dia menerima sebagai khodamnya.

"Iya, Insya Allah aku buatkan."

"Oh ya, siapa gurumu?" Ning Fiyyah mengubah topik pembicaraan.

"Gus Robet."

"Akhirnya, kalian bertemu lagi."

Imaz terhenyak. Akhirnya bertemu lagi. Seolah-olah kalimat itu memojokkan untuk membuat terus memikirkannya. Apalagi pertemuan mereka di sepertiga malam. Dia pernah menjadi Imam sepertiga malamnya. Tapi mau tak mau ucapan Ning Fiyyah ia balas dengan senyum memaksa. Pikiran tentang Robet dibuang jauh kala ia melihat Ning Fiyyah secara dekat ternyata pucat entah bedaknya yang tebal atau hal lain.

"Ning, bolehkah aku menanyakan sesuatu?"

Imaz meminta izin terlebih dahulu sebelum langsung menyimpulkan apa yang ia lihat.

"Boleh. Biasa sajalah Imaz. Malah kau sudah ku anggap sebagai sahabatku."

"Terima kasih Ning." Ucap Imaz.

"sebenarnya apa yang terjadi neng Ning kok wajah Ning selalu pucat?"

"Dari kecil aku sudah punya penyakit." suara Ning Fiyyah tiba-tiba terdengar sendu. "kanker paru-paru. Sudah stadium empat."

"Ya Allah Ning, aku sama sekali tidak membuatmu sedih. Maafkan aku."

"Sudahlah. Biasa saja. Ini sudah takdirku."

"Jangan begitu Ning."

"Tidak apa. Aku akan menceritakan semuanya."

Sepeninggal Bu Nyai sewaktu Ning Fiyyah berumur lima tahun ia dirundung kesedihan amat dalam. Selama itu, penyakitnya tak separah saat Bu Nyai masih hidup. Keluarganya panik melihat batuk Ning Fiyyah disertai darah menguras cairan energi kekuatan dalam hidupnya. Ia menjadi mudah letih dan lesu. Kecantikan yang terbingkai dalam wujud penciptaan sang ilahi terbentuk turun pada hati yakni keikhlasan diri menerima takdir ilahi.

Masa-masa berjalan di atas kursi roda, diberi jalan pintas semangat oleh Robet. Ya. Dulu sekali sewaktu Robet masih duduk dikelas lima, dia menyantri di pesantren Benang Biru dan resmi menjadi teman kecil Ning Fiyyah.
Dia menjadi pondasi kehidupannya. Dia menjadi madrasah ilmu pengetahuannya. Meskipun ia tak menaruh hati padanya sama sekali.
Sekarang dia dinobatkan sebagai prajurit utama serta anak angkat Romo Kiyai. Saking ambisinya beliau memiliki anak laki-laki. Padahal Robet memiliki keluarga kaya. Ayahnya memiliki bisnis hotel dan Ibunya memiliki toko butik yang sudah diiklankan. Robet seorang polisi. Adiknya kuliah fakultas bisnis di luar negeri.

"Satu hal yang aku impikan tapi tak akan pernah bisa aku capai." Kalimat sendunya mengalirkan air mata. Imaz menatapnya penuh arti.

"Menikah." habis sudah perasaan Ning Fiyyah.

Meeting You Untill DeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang