21. Persidangan

14 5 0
                                    

~Di balik kesalahan orang lain, ada rahasia terindah yang Allah persiapkan untuk umat-Nya berupa ikhlas~

                                ♤♤♤
Dedaunan berguguran menunjukkan pergantian musim. Dua pria berkuda poni melintasinya ketika ia tersesat di hutan. Terlelap di bawah pohon rindang. Dengan lembut senyum menyapa, dua pria tersebut membelai hijab yang dikenakannya. Mencium hangat dahinya. Menggenggam erat tangannya. Suara lirih berhembus dalam telinganya.

"Nak, bangunlah. Aku menyayangimu." Suara itu terlintas mengingatkannya pada Bapak.

"Nak, bangunlah. Aku merindukanmu." Suara itu juga terlintas mengingatkannya pada Romo Kiyai.

Perlahan ia membukakan matanya. Senyum merekah ia suguhkan padanya.  Dua pria tersebut merupakan sosok yang sangat berharga di matanya. Yang sama-sama mendidik. Satunya mendidik dari kecil. Satunya lagi mendidik sewaktu berada di pesantren. Siapa lagi kalau bukan Pak Mamad dan Romo Kiyai. Air mata Imaz meleleh. Mereka dengan seksama menghapusnya.

"Jangan menangis. Bapak sekarang ada disini." Kata Bapak menenangkan.

"Selama mimpimu bersajak, kami datang membawa motivasi untukmu Nak." Sambung Romo Kiyai.

"Pak, Romo, aku bukan pembunuh kan? Katakan padaku, siapa yang telah membunuh Romo?"

"Siapapun pelakunya, Allah pasti mengadili hukumannya. Jika tidak berada di dunia, mungkin di akhirat nanti." Nasihat Romo Kiyai.

"Tapi kenapa harus aku yang dituduh Romo?"

"Nak, Allah itu sayang sama orang yang sabar. Jadi, bersabarlah Allah memiliki rencana indah yang tak pernah kau bayangkan selama ini."

"Baiklah. Tapi katakan siapa yang telah membunuh Romo?" Imaz masih kekeh meminta jawaban siapa pelaku yang sebenarnya.

"Dia yang selama ini mengasihanimu dan tanpa tahu berkorban demi kamu."

"Gus Robet?" Imaz langsung bisa menebak. Namun, jawabannya tetap salah. Romo Kiyai segera menggelengkan kepalanya.

"Lalu, siapa?"

"Sampai kapanpun kau tetap tidak bisa menemukannya. Dia telah dihukum langsung oleh Allah."

"Gus Robetkan Romo. Katakan yang sebenarnya."

Mendadak mereka berdiri. Mengembangkan senyumannya kemudian melambaikan tangannya.

"Nak, kau nikmati saja apa yang Allah berikan padamu." Pesan terakhir dari Bapak.

"Yakinlah. Cobaan besar yang Allah berikan pada umat-Nya, semata-mata karena memiliki rasa cinta yang besar." Dilanjut pesan terakhir dari Romo Kiyai. Mereka saling membalikkan badan. Sinar cahaya datang menyambut kepergian mereka. Membawanya meninggalkan kenangan yang dalam baginya. Mereka hilang begitu saja. Imaz sontak menangis histeris. Dada rasanya sesak harus menerima semua orang menganggapnya seorang Narapidana.

Keringat menderas di wajah Imaz. Berteriak memanggil Bapak dan Romo Kiyai berkali-kali. Hingga sampai di ujung, Imaz terkesiap bangun. Itu semua hanyalah mimpi. Mimpi yang seakan-akan kenyataan. Mendengar teriakan darinya, pihak kepolisian membawakan air putih untuknya. Imaz langsung menenggaknya habis.

"Apa keluhanmu saudari Imaz?" Pihak kepolisian bertanya siap melayani para tahanan dengan baik.

"Saya bermimpi bertemu Bapak dan Romo. Mereka mengatakan pelaku pembunuhan Romo sudah dihukum. Apa Pak polisi tahu, siapa?"

"Sudahlah saudari Imaz. Jangan panik sampai terbawa mimpi. Berdoa saja semoga persidangan besok berjalan dengan lancar."

Pak polisi itu kembali ke ruang pribadinya. Imaz melirik jam dinding yang melekat di sel tahanan menunjukkan pukul tiga malam. Sepertiga malam menyambut kedatangannya. Mungkin benar apa yang dikatakan pak polisi itu. Mimpinya hanya sebuah ilusi karena memiliki rasa kecemasan yang hebat. Dan memberi petunjuk dengan membangunkannya agar ia segera melaksanakan salat tahajud. Maka, ia menuruti perintahnya. Segera berwudhu dan melampirkan sajadah menghadap kiblat.

Meeting You Untill DeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang