45. Sandiwara

7 2 0
                                    

~Kau tutupi tatapanmu. Ku tutupi perkataanku. Tapi, ku buka sandiwara untuk menjalankan pertemuanku. Sanggupkah kau merasakan getaran cinta yang hebat tanpa melihat? Sanggupkah aku menjalankannya tanpa berkata? Itulah definisi kelemahan pria dan wanita.

                                              ***
Pak Jack dan Imaz saling menatap terpaku. Mereka benar-benar melupakan kalau ayah Robet pernah bertemu dengannya di ruang persidangan. Seketika itu, raut mukanya berubah. Ia berpura-pura canggung dengan Imaz.

"Iya pak. Saya tidak menyangka bakal ketemu bapak disini," katanya dengan ramah.

"Oh begitu." Ayah Robet manggut-manggut, "bapak masih ada keturunan dengan Kiyai Hasan Besari?"

"Tidak pak. Saya cuma ingin berziarah saja." Mereka tidak sadar perbincangan yang telah dilaluinya, tanpa berpikir jika Imaz ziarah bersama pak Jack. Terlebih jika Icha adalah Imaz.

"Sendirian?" Pertanyaan itu mencengangkan mereka. Untungnya, ayah Robet tidak curiga.

"Iya. Karena kebetulan saya bekerja disini, jadi sekaligus ziarah."

"Oh, kerja apa kalau boleh tau?"

Pak Jack berpikir sejenak. Ia mengedarkan pandangan ke pedagang kaki lima. Mencari tau pekerjaan apa yang pantas buat dia. Mulutnya memang tidak bisa dikondisikan. Asal bicara saja.

"Tukang siomay," katanya saat melihat bapak tua jualan siomay. Karena dia kepikiran, dengan mengasal jawab tukang siomay dan kebetulan bapak itu sudah tua, kemungkinan bapak itu bisa pikun.

"Wah, bapak sudah jadi juru kunci pengadilan agama sekaligus penjual siomay. Kalau bapak lagi kerja di pengadilan agama, lantas jual siomay nya liburkah?"

Dalam hati Imaz menggerutu, di makam bukannya berdoa malah berbincang panjang lebar.

"Kakek saya yang menggantikan," jawab pak jack sambil menunjuk bapak tua itu.

Ayah Robet juga ibunya menoleh ke belakang dengan ekspresi aneh. Heran. Berpikir apa setega itu dia menyuruh bapak tua itu bekerja di tengah panas teriknya matahari.

"Keluarga kalian kuat-kuat ya," pujinya dengan nada merendahkan.

"Yah, kita lanjutkan baca yasin. Setelah itu, antarkan aku ke rumah sakit." Robet menghentikan perbincangan mereka. Pak Jack bisa bernapas lega. Akhirnya Robet peka juga. Ia kemudian mengeluarkan ponselnya. Mengirim pesan WA untuk Imaz meski mereka berdekatan. Merasa ponselnya bergetar, Imaz melirik ke pak Jack. Ia mengambil ponsel dari sakunya. Benar seratus persen. Ia sudah menduga kalau yang mengirim pesan itu pak Jack.

Pesan itu berisi perintah pak Jack sekarang juga segera ke bagasi mobil Robet. Imaz memicingkan mata ke arahnya. Lalu, menatap ke arah keluarga Robet yang khusyuk tahlilan. Ia mulai mengerti. Dan melangkah berjalan ke bagasi. Ia mengendap dengan waspada membuka bagasi. Dengan posisi terlentang, ia tutup rapat dan pelan bagasinya.

Mereka menggeleng-gelengkan kepala sambil mengucapkan tahlil. Sampai pada ujung, ayah Robet menengadahkan tangan berdoa. Mereka mengamini.

Selesai tahlilan, mereka keluar dengan bersamaan.

"Pak Jack, mari kita antarkan ke rumah bapak." Ayah Robet menawarkan.

Pak Jack menggelengkan kepala sungkan, "tidak perlu pak. Kata bapak, Tuan Robet buru-buru ke rumah sakit?"

"Ya Allah, tidak apalah. Kasihan kau pulang sendirian."

"Saya baik-baik saja kok pak. Saya juga mau bantu kakek jualan."

"Oh, baiklah kalau begitu. Kita pamit ya," ucap ayah Robet dilanjut dengan memberi salam. Pak Jack menjawab salamnya. Dia masih diam berdiri di tempat pemakaman sampai mereka masuk ke mobil. Mesin dinyalakan. Mereka melambaikan tangan. Dari balik jendela bagasi, ia juga melihat Imaz melambaikan tangan. Mobil dilajukan.

Meeting You Untill DeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang