19. Perasaanku di penjara

22 5 0
                                    

~ Cinta yang selama ini ku dambakan perlu waktu untuk memberinya kepercayaan~

♤♤♤

Aparat kepolisian mempersilahkan Imaz masuk ke sel tahanan nomor 17. Tak ayal, ia berada di sebelah sel tahanan yang dihuni Tuan Darwin. Ia duduk memojok terpekur. Sementara Tuan Darwin menatapnya prihatin. Deretan memori kelam berputar dalam bayangannya ketika ia tega merenggut pita suaranya. Ketika ia bahagia menewaskan sahabatnya. Ketika ia marah dihianati keponakannya yang secara sengaja ia bunuh tanpa rasa belas kasihan. Lebih naasnya, ia membunuh Bapaknya yang tak salah apa-apa. Justru berkat dia usaha ikannya berjalan lancar. Hanya karena ia tumbuh rasa cinta kepada istrinya.

Perut Imaz memberontak kelaparan. Belum sempat makan siang. Makan siang yang dihidangkan tak lagi bisa dirasakan. Bahkan Robet tak kunjung memberi kabar. Berkali-kali ia mengelus perutnya. Tuan Darwin makin prihatin dengan keadaannya. Masih ada sisa sarapan tadi di atas meja. Meski sedikit, itu sudah cukup untuk memenuhi permintaannya.

"Makanlah walaupun sedikit." Pinta Tuan Darwin menyodorkan sisa makanan yang terbungkus kertas minyak.

Dari kejauhan, ia terdiam enggan untuk bicara. Tuan Darwin tertunduk menyesal. Bungkus makanannya teracuhkan.

Sinar matahari mulai hilang ditelan awan. Waktu menunjukkan sore hari.

Suasana Pesantren Benang Biru berjalan seperti biasa. Pagi-pagi, rasa kantuk menyelimuti, sorogan datang menghampiri. Tetap mengikuti walau dengan berat hati. Siang hari muncul sinar matahari, tak sempat menjemur diri, terpaksa sekolah membetahkan diri. Malam hari, sudah tak berdaya lagi, mata terbelalak karena rasa grogi untuk menyempurnakan setoran sebentar lagi.

Satu hari pengunjung kosong.
Para sel tahanan salatnya tak bisa bolong. Seharian menunya terong. Tak ada kesempatan untuk bohong. Hanya tidur sambil mimpi di siang bolong.

Hari berikutnya,
Ningrum datang ke kantor polisi untuk menjenguk Imaz dan Tuan Darwin. Datang seorang diri naik taxi sambil membawa rantang berisi lauk ayam dan nasi. Merelakan diri memasak pagi buta sekali.

Mereka datang di hadapan Ningrum dengan tatapan dingin dan kurang semangat diri. Duduk tanpa menoleh kanan kiri.

"Ini makanan buat kalian berdua." Ningrum menyerahkan satu rantang makanan dengan mengembangkan senyumannya.

Mereka tetap diam membisu.

"Aku tahu kalian masih belum menerima satu sama lain. Tapi ku mohon kali ini saja buat Ibu senang melihat kalian makan masakan Ibu." Ningrum memohon.

"Baiklah demi Ibu juga rasa sayangku pada Ibu." Tanpa banyak kata, Imaz membuka rantangnya. Dua nasi satu lauk berbagai anggota badan ayam siap disantap mereka berdua.

"Sebelumnya maafkan aku jika lancang mengatakan ini pada kalian." Tuan Darwin angkat bicara. Sendok masih ia pegang.

Imaz mengacuhkan perkataannya. Ia menutupi kemarahannya dengan menelan makanan yang belum sepenuhnya lembut.

"Aku menyadari atas perilakuku selama ini." Tuan Darwin meletakkan sendoknya. Enggan untuk melahapnya lagi. Ningrum mendengarnya dengan seksama. Imaz masih lanjut dengan melahap makanannya.

"Aku membangun Desa yang sengaja aku hancurkan karena kemarahanku pada Ibu. Tapi entah kenapa hadirnya Ningrum merubah suasana hatiku yang aslinya temperamen menjadi telaten."

"Telaten mengurus para nelayan. Telaten mengurus kebutuhanku sehari-hari. Termasuk telaten memandangmu setiap hari." Mata dan bibir Tuan Darwin mengembangkan perasaan hatinya.

Imaz terbatuk bukan karena meledek ataupun apa melainkan rayuan gombalnya yang mengingatkannya pada Galang tiga tahun yang lalu.

"Jika dihitung, ditotal semua dosaku, pasti banyak. Dibayar berapapun jutaan, milyaran, tidak akan sanggup. Bahkan tidak akan mau."

Meeting You Untill DeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang