Andai kesabaran menghasilkan uang, maka sudah sedari dulu Draco akan pindah ke pulau Hawai dan memulai bisnis rumah bordil di sana. Andai saja. Dan yah, ia hanya berandai-andai di kepalanya.
Draco tidak tahu alasan kenapa ia harus dipindahkan dari sekolahnya hanya karena memukul seorang bajingan yang mencoba mengambil uang jajannya. Draco sebenarnya tidak peduli dengan uang, hanya saja ia merasa tertekan ketika orang-orang mencoba mencuri miliknya tepat di depan matanya sendiri. Sialan, apa mereka tidak bisa melihat tangan berurat Draco yang sudah siap-siap memukul? Sekarang ia tidak heran mengapa kedua orang itu berakhir di rumah sakit dengan tulang rusuk dan gigi yang patah.
Ayahnya tentu saja marah padanya, tapi ada sedikit binar dimatanya yang menunjukkan bahwa dia merasa bangga karena putranya sudah tumbuh seperti anak singa yang mencoba mengaum. Disisi lain, Ibunya hanya bisa menghela nafas dan mulai menghubungi saudaranya.
Sekarang, disinilah Draco. Di sebuah kota kecil dengan penduduk ramah tamah yang selalu coba tersenyum pada semua orang. Bahkan jika ada pembunuh berantai yang lalu, Draco yakin penduduk desa ini tak akan segan-segan memberi mereka tempat untuk berteduh.
Kopernya sangat berat. Ia merasa Ibunya telah memasukkan tabung gas dan kompor di dalamnya. Setiap kali ada orang lewat, mereka akan menawarkan bantuan padanya, tapi Draco menolak, ia takut jika ini bagian awal dari tragedi pembunuhan berantai yang sering ia tonton di film-film horor. Buat para korban senang dan kenyang, kemudian cincang isi tubuhnya. Itu menjijikan, dan Draco masih terlalu muda untuk mati.
Draco bertahan sebentar. Ia kemudian membuka handphone dan mulai menghubungi nomor pamannya. Rasanya seperti bertahun-tahun setelah orang itu mengangkatnya. "Aku sudah ada di depan gedung kota, dan aku tidak menemukanmu di manapun." Draco melirik tempat itu sekali lagi, dan ia hanya menemukan seorang anak kecil yang mencoba kencing di sebuah pohon besar.
'Benarkah? Gedung kota? Bukankah aku bilang di depan Cafe?'
Gigi Draco bergemelatuk nyaring. Handphonenya bahkan hampir hancur karena terlalu dicengkram kuat. "Aku tidak pikun."
'Ah, maaf. Bisa kau datang ke Cafe saja? Aku akan kirim alamatnya.'
Sebelum Draco bisa menyerapah, orang itu kemudian menutup sambungan telepon secara sepihak. Draco menggertak, ia bahkan menendang tong sampah hingga seorang nenek tua yang tuli terkejut. Draco kembali menarik kopernya dengan mata yang membara, tidak peduli jika anak yang tadinya kencing tiba-tiba kencing lagi karena ketakutan.
Draco menarik nafasnya.
Lalu mengeluarkannya.
Tarik nafas.
Keluarkan.
Tarik nafas.
Keluarkan.
Tarik-
"Hei bung, kau orang baru?"
Draco berbalik, menemukan seorang wanita dengan potongan rambut pendek dan satu orang lelaki berkulit hitam. Pakaian mereka berantakan, wanita itu memakai tindik hitam di telinganya, dan sang lelaki memiliki wajah datar yang membuat Draco berpikir jika orang itu belum pernah makan burger keju selama sisa hidupnya. Dilihat-lihat lagi, mereka berdua persis seperti hama yang ingin dihindari Draco.
"Wah, hei, jangan pergi dulu." Wanita itu menghalangi jalan Draco.
Draco melirik wanita itu dari atas ke bawah, samping kanan ke kiri. "Dengar, aku tidak punya uang receh untuk dibagi." Dengan itu Draco pergi dari hadapan mereka.
Draco benci orang-orang baru.
Draco benci orang-orang yang bersamanya dulu.
Intinya, Draco benci dengan semua orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
In His Mind || Drarry || ✔
FanfictionTidak ada yang namanya Voldemort. Tidak ada yang namanya penyihir dan Hogwarts. Hanya saja, ada anak laki-laki yang bernama Harry Potter. __ Harry Potter © JK.Rowling