10. Siapa, Ra.

118 20 0
                                    

"Ibu kapan pulang?" Celetuk Sarah tepat saat dia pulang dari studionya, kaki kanannya bahkan baru menginjak lantai rumahnya namun satu pukulan dari Ibu dia dapatkan yang membuatnya mengaduh kesakitan.

"Kurang ajar, Ibunya sendiri di usir"
"Bukan gitu, kasian adek di rumah sendiri nggak ada yang masakin" ujar Sarah dengan ratusan alasannya.

Ibu tidak menggubris ucapan Sarah, dia tetap fokus pada kerjaannya yaitu menata lemari baju Sarah yang terkesan tak tertata rapi. Sarah bukanlah tipikal wanita yang tidak peduli dengan kerapian, hanya saja tugas akhirnya seakan terus memeluknya dan tak membiarkannya mengerjakan pekerjaan rumah.

Satu persatu baju dan kaos Sarah tertata rapi, Ibu memasukkan baju baju tersebut sesuai kategori pemakaian seperti kaos tidur, piyama, bahkan baju kuliah. Namun ada satu hal yang membuat dahi Ibu berkerut, sebuah dasi dengan motif garis yang terselip didalam lemari Sarah. Sarah yang melihat Ibu memandang dasi tersebut langsung mengambil paksa dan memasukkan dasi tersebut kedalam tasnya.

"Ini punya temen Sarah, nggak sengaja kebawa pulang" ujar Sarah.
"Nggak sengaja kebawa pulang, apa orangnya yang kamu bawa pulang?" Selidik Ibu, namun Sarah langsung menggelengkan kepalanya berbohong, "Bu, ih punya temen sarah nih. Nggak sengaja kebawa pulang".

"Temen apa temen?".

Lucu, pertanyaan Ibu malah membuat Sarah terdiam. Seharusnya dia senang bisa menjawab pertanyaan ibu dengan jujur namun mengapa disekian banyaknya kejujuran, dia harus diingatkan bahwa dirinya dan lelaki pemilik dasi tersebut tidak lain hanyalah sepasang teman yang berbagi keluh kesah.

"Te—men, cuman temen".
"Kenapa jawabnya gitu, digantungin ya? Duh— cari yang pasti-pasti aja deh, Ra"
"Pasti apa, Bu? Pasti bikin sakit hati?"

Ibu tertawa melihat anak perempuannya yang sudah tumbuh dewasa itu, umurnya memang terus bertambah dan bahkan teman sebayanya tidak sedikit yang sudah menikah namun dimatanya anak perempuan itu masih tetaplah bayi yang tengah berjalan untuk menapakkan kaki di lapang tanah yang tiap detiknya bisa saja dia terjatuh dan terluka.

"Ra, Ibu besarin kamu penuh sama kasih sayang. Ibu jagain kamu, Ibu timang-timang waktu kecil. Jadi kalau sekarang ada yang nyakitin hati kamu, ibu maju paling depan buat pukul kepala dia —enak aja anak Ibu yang cantik gini di sia-sia in" kata Ibu.

"Nggak di sia-sia, Bu. Emang kita pengen gini aja dulu" ujar Sarah.

"Kenalin ke Ibu"

Sarah menggeleng-gelengkan kepalanya, "nggak bisa, Bu".

"Kenapa? Beda agama?" Tebak Ibu, namun sarah menggelengkan kepalanya.

"Beda adat nikah" tebaknya lagi dan Sarah tetap menggelengkan kepalanya.

"Ra, Jangan bilang kamu jeruk makan jer—"

"IBUK! NGGAK! SARAH MASIH NORMAL" teriak Sarah yang memotong perkataan Ibu, tidak ada satupun tebakan dari ibu yang benar dan mungkin wanita tua itu tidak pernah berfikir jika anak sulungnya sedang menyimpan rasa dengan seorang duda.

"Ya terus masalahnya apa? Jangan bikin Ibu pusing, Ra"

"Masalahnya dia nggak bisa, dan Sarah tau Ibu pasti nggak setuju sama Sarah makanya Sarah lebih milih buat gini aja. Dan jangan paksa Sarah buat ngenalin dia ke ibu, Sarah sebenernya mau cuman Sarah nggak bisa, Bu" ujar Sarah frustasi.

Ibu berdiri dari duduknya, dia tidak faham dengan apa yang anak perempuannya katakan namun satu hal yang dia fikirkan yaitu anak perempuannya sedang menjalin kasih dengan seseorang yang tidak semestinya, "kamu jangan aneh-aneh, sampai Ibu tau kalo kamu buat aneh-aneh. Ibu nggak akan izinin kamu disini lagi dan Ibu jodohin kamu".

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 16, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

If I can't have you Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang