“Apa aku bisa sembuh, Om?”
Pertanyaan gue sore itu membuka sesi konseling kita.
Pria paruh baya dengan papan nama bertuliskan Steven Aditmajaya itu tersenyum menatap gue. Kita hanya duduk bersebelahan dengan senja yang ingin pamit kembali ke pengaduannya. Gue lebih senang melakukan konseling di tempat terbuka seperti ini. Terasa lebih manusiawi ketimbang duduk berhadap dan saling menatap satu sama lain tapi tidak bsia memahami perasaan satu sama lain.
Ah, gue dan Om Steven bukan dalam hubungan yang terlarang.
Saat ini, posisi gue hanya seorang pasien yang membutuhkan bantuan dari ahlinya. Dan kebetulan Om Steven bersedia.
Mungkin, hampir lima tahun lamanya. Gue memang pelupa, tapi untuk pertama kalinya, gue nggak lupa bagaimana Om Steven yang menolong gue hari itu.
“Kamu tidak perlu sembuh, Dis. Kamu tidak butuh sembuh.”
Gue mencoba mendengarkan dalam diam.
“Lima tahun saya kenal kamu. Selama itu, saya tidak pernah bertanya apakah saya mampu menyembuhkan kamu. Lalu, suatu hari saat saya lihat kamu menangis sendirian di kamar kamu dengan darah yang mengucur hebat dari pergelangan tangan kamu, saya sadar. Kamu tidak butuh sembuh. Kamu hanya butuh diri kamu sendiri.” Penjelasan itu kembali membuat gue bernostalgia pada waktu gue ingin menghilang dari dunia untuk kesekian kalinya. Setiap kali gue ada di keadaan itu, orang tua gue hanya bisa melihat gue dari jauh dengan wajah sendu tanpa berani mendekat. Kata mereka, gue seperti kaca yang sudah retak dan mereka tidak mau sembarang memberikan sentuhan sangkin rapuhnya. Gue dan keadaan memilukan itu. “Kamu butuh untuk mencintai dirimu sendiri.”
Selalu.
Om Steven selalu meminta gue untuk mencintai diri sendiri. Hal yang sulit untuk gue lakuin karena benci sudah lebih dahulu menenggelamkan gue dalam kegelapan. Iya, bahkan setelah lima tahun pun, gue masih begitu. Keadaan gue tidak memburuk dan dapat dikatakan lebih baik dari pertama perkenalan gue dengan Om Steven. Beliau pun mengakuinya.
Katanya, gue sudah bersinar. Secara perlahan dan tidak buru-buru. Dan karena itu, gue semakin takut menghadapi dunia. Gue takut kalau-kalau gue bersinar, semua orang akan menyakiti gue. Iya, mereka menyakiti gue karena gue bahagia.
Seringnya, mereka membuat gue lupa dengan diri gue sendiri.
“Sekarang saatnya kamu mencintai dirimu sendiri, Dis. Sekarang saatnya kamu menemukan siapa Glendis Adisuara. Seperti apa kamu dan apa mimpi kamu. Lupakan orang-orang yang berusaha membuat kamu hancur. Karena mereka tidak punya hak atas hidup kamu. kamu hanya punya hidup untuk diri kamu sendiri.”
Gue tersenyum.
Untuk pertama kalinya, gue mengakui ucapan Om Steven.
Gue harus menemukan siapa Glendis Adisuara sebenarnya. Jadi, gue nggak boleh menyerah. Walau gue nggak tahu harus seberapa besar rasa sakit itu menghampiri gue. Walau gue nggak tahu seberapa hancurnya gue saat tahu kalau harapan tidak selalu sama dengan kenyataan.
“Makasih, Om.”
FIN-
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan cerita
RandomHanya tentang segelintir kenangan yang tak dapat dihapus kemudian ditulis kembali dalam bentuk picisan.