6 bulan dan setiap detik yang aku jalani selalu tampak biasa-biasa saja. Bukan lahir sebagai seorang yang diidolakan di lingkungan kompleks rumahnya tapi hanya sebagai gadis biasa yang mengharapkan cinta dari seseorang yang tulus kepadanya. Namun hidup tak semudah itu, kan?
Seandainya saja ketika aku bisa mengatakan bahwa aku menyukaimu dan saat itu aku bisa memilikimu, mungkin sudah lama aku akan mengatakannya. Karena semakin aku melupakan rasa ini, semakin aku terjebak oleh dirimu.
Yah. Adrian Glorya Hindartono telah mencuri hati ini jauh sebelum aku meninggalkan segala cerita yang ada di kota ini. Berpisah bukan inginku tapi adalah takdir yang harus aku jalani. Dan pria itu hanya tersenyum puas melihat aku menghampirinya ke tempat kerjanya. Ia sukses membuatku menemuinya karena paksaannya -tentu saja.
"Hai," sapanya tanpa dosa
Oh, God, I hate him so much.
Aku hanya mengukir senyum semanis mungkin. Setidaknya jangan biarkan aku terpesona padanya. Dia tidak cukup menawan untuk membuatku jatuh cinta kembali.
Adrian segera menghampiriku. Tangannya menepuk pundakku dan memamerkan sejajaran gigi putihnya. "Ku kira usahaku akan gagal."
"Mustahil," ejekku kesal. Aku sudah bilang tidak kalau terkadang posisiku sebagai seorang sahabat itu hanya alasan baginya untuk bisa menyuruhku melakukan ini itu.
"Ayolah, Jil. Aku kan rindu padamu. 6 bulan tak melihatmu berkeliaran tentu saja membuatku kebingungan. Aku rindu melihatmu mengoceh sepanjang hari hanya untuk diriku. Aku rindu mengejekmu saat kau mulai jengah dengan kehidupan monotonmu. Makanya aku memanggilmu sekarang."
Aku memutar mataku. Lagi-lagi jengah dengan ucapannya. Tidak pernahkah dia tau bahwa aku lebih-lebih merindukannya dari yanng dia kira? Bagaimana aku dengan susah payah untuk tidak mengintip media sosialnya dan berpura-pura seperti orang bodoh saja? Entahlah, aku rasa usahaku selama ini sia-sia. Aku tak pernah sadar bahwa magnetnya terlalu menarikku sangat kuat.
"Aku masih ada kerjaan di kantor, kau mau mampir tetap di sini atau mau ku antar ke Gramedia dulu baru aku kembali ke kantor dan menyelesaikan tugasku?" tawarnya ketika tak ada yang mengeluarkan suara sedikitpun
Aku melirik jam tangan silver yang selama ini sudah melingkar di tanganku. Masih pukul 4 sore dan sebenarnya aku cukup tertarik dengan tawarannya yang kedua, namun lagi-lagi mulutku berkata lain. "Sepertinya menunggumu di ruang kerja lebih menyenangkan."
Adrian kembali tersenyum puas mendengar jawabanku. Aku sudah bilangkan bahwa aku sangat mengenal pria ini. Tawaran tadi hanya sebatas basa-basi yang selalu ia lontarkan. Ingatkan aku untuk tidak mencabik-cabiknya nanti.
"Well, bagaimana kuliahmu?"
Aku mengangkat bahuku. "Not bad."
"Yah, aku tahu bahwa kau selalu hidup di zona amanmu."
"As you wish."
Adrian melangkah memasuki salah satu ruangan yang menurutku menjadi tempatnya menghabiskan hampir berjam-jam lamanya. Ruangan itu tidak terlalu kecil namun juga tidak terlalu cukup besar untuk penghuni satu orang. Aku bisa menebak usaha apa yang sudah dilakukan Adrian hingga ia bisa mendapatkan ruangan ini.
"Kamu ingin sesuatu?" ucapnya lagi kali ini sambil melakukan pergerakan yang diluar dugaanku. Jarak kami yang terbilang cukup dekat –karena daritadi aku mengikutinya, membuatku hampir terjatuh karena tubuhnya yang refleks berbalik dan menabrak diriku. Untung ia termasuk pria yang lincah. "Kamu masih sama."
Aku segera menarik diriku dan memperbaiki bajuku. Mungkin bisa dibilang aku salah tingkah. Karena kurasakan pipiku yang mulai memanas. Aku harap ia tidak menyadari keadaanku saat ini.
Dan beruntungnya aku, keinginanku tercapai. Ia segera mengangkat telponnya yang sejak sibuk mengeluarkan bunyi. Ah, aku tak bisa berkonsentrasi terhadapnya karena jantungku yang berdetak dibatas normal. Aku mulai merutuki diriku yang ternyata masih menyimpan rasa itu. Padahal kupikir 6 bulan adalah waktu yang tepat untuk aku menjauh dari perasaan itu. Namun lagi-lagi aku kalah.
Benar ya kata orang, kalau karena satu hal sepele saja mampu membuat kita gagal move on. Lebay mungkin, mengingat hubunganku dan Adrian yang memang hanya sebatas sahabat. Ya, ya, ya, kalian ingin merutukiku kan? Sama, aku juga. Gadis bodoh sepertiku terjebak dalam kisah friendzone yang begitu menyedihkan.
Lamunan ku buyar ketika ku dengar suara pintu diketuk dari arah luar ruangan. Setelahnya seorang wanita muda yang cantik dan tinggi semampai menyembulkan kepalanya lalu berjalan menghampiri meja Adrian tanpa memperdulikan keberadaanku. Atau mungkin aku memang tak terlihat. Ia sangat centil. Bahkan aku bisa melihat Adrian yang mulai risih dengan tingkah wanita itu.
"Terimakasih, An." Adrian mengatakannya singkat lalu berdiri dan menghampiriku, "Kamu masih suka kopi kan?"
Aku mengangguk pelan sambil menerima sekaleng kopi yang memang selalu aku bawa ketika mengunjungi rumahnya atau bertemu dengannya. Aku seorang penikmati kopi. Sebut saja jenis kopi apa yang sudah pernah kalian minum, pasti aku mengetahuinya. Expresso, Ristretto, Flat White dan banyak jenis lainnya yang telah ku cicipi. Tapi ada satu jenis kopi yang tak pernah aku sukai, yaitu kopi hitam. Karena apa? Karena hanya dengan melihatnya saja kau mampu tenggelam dalam pekatnya warna hitam pekat yang mengisi setiap ruangnya, juga rasanya yang pahit sama seperti pahitnya perasaanku yang tak terbalas. Hahaha, lupakan. Anggap saja filosofi tentang kopi yang ku buat barusan hanyalah bualan tak penting dariku.
Tapi serius, aku tak pernah menyukai jenis kopi yang satu itu. Cukup hatiku saja yang merasakan pahit akan kisah cinta yang tak terbalas ini, tak perlu pula bibirku dan tubuhku merasakan hal yang sama.
Kan, lagi. Aku lelah dengan perasaan yang seperti ini. Seperti bukan diriku saja.
"Jil," panggilnya entah untuk panggilan yang ke berapa. Aku tersadar setelah ia menekan pundakku dan hanya mendapati ia dalam ruangan ini. Mungkin wanita itu sudah muak melihat Adrian yang tidak memperdulikannya.
"Ah, sorry."
"Kamu sedang memikirkan apa?"
Memikirkan rasaku yang tak pernah kau balas, Yan.
Konyol. Seandainya aku bisa mengatakan hal itu. Namun kodratku sebagai wanita hanyalah menunggu bukan? "Hanya sesuatu yang tidak penting."
"Sepertinya kamu membutuhkan asupan liburan yang lebih banyak. Hemmm-," sejenak ia berdehem dan seperti menunjukkan bahwa ia sedang berpikir. Ah, padahal dulu ku pikir otaknya tak akan pernah digunakannya. Adrian bukanlah seorang pemikir dan melihatnya berada di ruangan ini dengan jabatan yang lumayan tinggi membuat aku jadi bahwa Adrian-ku telah diculik oleh makhluk planet.
Ah, sudahlah. Aku mulai ngaco.
"Sabtu ini aku bisa mengosongkan jadwalku, jadi ada baiknya kamu mulai menyusun hal apa yang ingin kamu lakukan di sini. Sekalian aku akan mengenalkanmu pada calon tunanganku."
Ucapannya begitu sangat mudah ku dengar hingga sampai akhirnya aku merasa udara di sekitarku menghilang.
A...apa? Tunangan? Yang benar!
Adrian tersenyum seolah mampu menebak isi pikiranku. "Namanya Salsabila, Jil. Sebenarnya kita dijodohkan. Tapi kamu tahu apa yang lebih menarik dari itu semua? Sebelum kami dijodohkan, aku suka menyukainya lebih dulu. Cinta pada pandangan pertama. Aku sendiri tak pernah tertarik dengan perjodohan dari orangtuaku, tapi semenjak aku bertemu dengannya lagi, tanpa ragu aku mengatakan iya pada keputusan itu. Kau harus mengenalnya lebih jauh karena aku yakin, kau juga pasti akan menyukai Salsa...,"
Dan selebihnya Adrian hanya akan membicarakan tentang dirinya dan wanita bernama Salsabila tersebut. Di mulai dari penolakan Salsabila hingga perjuangan Adrian untuk menyakinkan Salsabila untuk menyetujui perjodohan itu. Semuanya diceritakan secara detail oleh Adrian. Seolah tak peduli bahwa ada hati yang tersakiti di sini.
Selalu hanya aku danperasaanku. Sudah ku bilang kan? Selamanya kisah cintaku akan sepahit rasa kopihitam yang sangat ku benci tersebut. Hanya menenggelamkanku lebih dalam padarasa itu lalu membiarkanku terjerat pada rasa itu, lalu semuanya akan terasasulit dan menyakitkan secara bersamaan. Beginilah kisahku yang berjuang untuk 6 bulan yang sia-sia.
Fin~
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan cerita
RastgeleHanya tentang segelintir kenangan yang tak dapat dihapus kemudian ditulis kembali dalam bentuk picisan.