Kecewa

23 1 0
                                    

Katanya, cinta bicara tentang rasa. Tapi bagi Arafah, cinta mengenai waktu. Waktu yang menunjukkan seberapa penting orang itu buat kamu. Jika tidak ada waktu maka kamu membiarkan dia untuk mendapatkan orang lain yang lebih menganggapnya penting. Jangan ditahan, bukan sakit untuk dia tapi kamu juga.

Arafah Syerani adalah satu dari sekian banyak gadis yang berharap dapat menemukan seseorang yang bersedia memberikan 30 menitnya untuk sekedar menanyakan kesibukannya hari ini. Dia, si gadis bersurai hitam legam yang entah bagaimana mungkin juga menyediakan sedikit waktunya untuk berdiam diri di balkon rumahnya sambil berbicara dengan hatinya.

Katanya pula, suara hati adalah teman paling jujur di dunia. Karena ia jujur dan tidak menyembunyikan apapun. Makanya, ketika Arafah jatuh cinta, ia hanya butuh waktu untuk berpikir tentang rasanya. Kemudian ia akan jujur pada dirinya.

Arafah menghelakan napasnya. Panjang sekali sampai mungkin jika ia tidak sendirian malam ini, teman yang berada di sebelahnya akan menyadari kondisi dirinya. Ia melirik ponselnya yang sejak tadi tidak menunjukkan tanda-tanda akan menemukan kehidupan baru. Dan sebenarnya ini sudah berlangsung hampir sejam.

Dulu, Arafah sangat membenci kata menunggu. Ia tidak pernah berteman baik dengan kata itu. Karena baginya, ia akan terlihat bodoh ketika ia merelakan waktu berharganya untuk seseorang yang bahkan tidak bisa merelakan waktunya untuk dia. Arafah tahu sekarang dirinya memang terlihat sangat bodoh.

“Ah, kamu berharap apa, Fah?” tanyanya pada diri sendiri. Ia lelah dengan semuanya.

Sejujurnya, ini bukan pertama kalinya ia menunggu. Namun walaupun sudah berulang kali tetap saja rasanya masih cukup menyedihkan. Kecewa? Ia sudah berteman baik dengan hal itu. Seolah ketika ada Arafah maka ada kecewa. Alasannya? Ya, dia. Seseorang yang kemarin hadir dalam hidupnya dan memberi sapaan manis. Lalu kemudian beberapa minggu kemudian menghilang. Tidak, bahkan tidak sampai seminggu.

“Harus berapa kali kamu memaafkannya, Fah? Harus berapa kali pula kamu kecewa untuk dia yang tidak akan pernah berubah?” Dia sudah biasa bermonolog. Berbicara dengan dirinya sendiri untuk menyalurkan setiap sakit yang ia rasakan dari dadanya.

Arafah kembali melirik jam tangan silver yang memang sering menemani harinya. Dia masih ingin menunggu barang sebentar. Biarkan saja. Kebodohannya sudah memuncak. Dia tidak ingin melakukan kebodohan yang sama nanti. Jadi, dia memutuskan untuk mengakhiri kebodohannya hari ini.

Lama. Sangat lama sampai-sampai ponselnya bergetar dalam genggaman tapi tak kunjung mendapatkan apa yang ia inginkan. Sebuah nama terpampang di sana. Tentunya bukan nama orang yang Arafah tunggu.

Dia melirik Jam tangannya untuk terakhir kalinya. Sudah mencapai tengah malam dan pantas saja ia dapat telpon dari rumah.

“Halo, Fah. Sudah di mana, Nak?” tanya suara seberang ketika dengan cepat Arafah menarik tombol hijau di layar ponselnya. Suara khawatir yang entah mengapa membuat Arafah merasa bersalah.

Arafah terdiam. Ia merasakan matanya memanas.

“Arafah.” Ayah kembali memanggil namanya.

“Eh, iya, Yah.” Jatuh. Sudah jelas air matanya jatuh. Segera, Arafah menghapusnya menggunakan punggung tangannya. “Ini kerjaan Arafah baru selesai.”

“Mau ayah jemput?”

Arafah menggeleng, “Nggak usah, Yah. Arafah pulang naik gojek saja. Kebetulan sudah dipesankan sama teman.”

“Oh. Hati-hati ya, Nak. Ayah tunggu ya.”

Arafah mengangguk. Lalu terdiam sampai telepon yang ia genggam mati. Dan tidak perlu menunggu lama, gadis itu menangis dalam diamnya. Berteman sepi dan tertinggal hanya rasa sakit.

Kumpulan ceritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang