"Eh eh, lo tau nggak anak kelas sebelah yang namanya Anggita?"
"Anggita Samono Dewata?"
"Iya."
"Emang tuh anak kenapa?"
"Katanya dia pacaran sama Rio Harianto. Senior kita yang super galak itu."
"Seriusan? Becanda lo, ah."
"Sumpah deh. Itu tuh beritanya udah nyebar. Katanya lagi nih, si Anggita itu pake pelet."
Anggita geleng-geleng menyaksikan sekumpulan mahasiswa dan mahasiswi yang sedang membicarakan tentang dirinya. Hal yang membuatnya tak habis pikir, kenapa semua orang dengan mudah menyebar berita murahan yang belum ada bukti konkretnya? Mereka tau darimana? Udah nanya ke Anggita? Atau minimal sama senior ganteng yang menurut mereka lumayan oke itu?
Dasar kampungan!
"Zaman sekarang masih guna pake pelet? Ada yang lebih manjur gengs daripada hanya sekedar pelet," sanggah Anggita menyela pembicaraan mereka. Ia tak peduli dengan tatapan orang-orang yang begitu enggan terhadapnya. Salah sendiri kenapa mereka membicarakan dirinya? Emang Anggota sepopuler itu sampai harus digosipin begitu?
"Haduh. Otak kalian tuh ya, kebanyakan diberi micin tau nggak."
Anggita membalikkan badannya hendak meninggalkan sekumpulan orang tak bermanfaat bagi nusa dan bangsa tersebut. Namun mendengar ucapan yang terlontar dari mahasiswi seangkatannya mrmbuat ubun-ubun Anggita menaik dengan dratis. Ia merasa mengeluarkan asap yang banyak karena omong kosong yang barusan di dengar.
Anggita berbalik dan menatap sekitarnya untuk mendapati seorang gadis berpakaian modis dengan wajah tirus yang tampak begitu manis karena senyumannya yang lebar. Anggita sampe lupa alasan ia berbalik jika sekali lagi, gadis cantik itu tidak memprovokasi dirinya.
"Nggak usah sok cakep deh lo. Rio nggak mungkin naksir cewe blo'on kayak lo!"
Persis seperti peran antagonis. Sayangnya seperti yang tadi sudah Anggita deskripsikan, gadis itu sama sekali tidak cocok dengan wajah kemerah-merahan yang tampak norak di mata Anggita.
Anggita tersenyum. "Gue nggak sok cakep. Ataupun blo'on. Karena apa? Karena kalau gue blo'on, kagak mungkin gue diterima di kampus ini."
"Lo hanya caper kan sama Rio karena Rio itu populer dan lo pengen ikutan eksis?" ucapnya lagi kali ini tak gentar sekalipun. Ada tersirat rasa takut yang bergejolak dari mata gadia itu. "Kalau perlu gue ingetin, gue masih pacar Rio."
"Gue nggak punya pacar!"
Suara lantang itu membelah kerumunan yang tercipta melingkari Anggita dan gadis yang sampai saat ini belum Anggita ketahui namanya. Anggita kenal dia. Ya, jelas. Mereka ada di satu organisasi yang sama. Anggita memang hanya sebatas bendahara dan dia sekretaris tapi mereka tak seakrab itu untuk bisa jadi teman.
Dan suara yang tadi sempat memecahkan kericuhan itu adalah suara dari orang yang membuat masa-masa kuliah gue semakin kelam. Ya, dia Rio.
"Beb, kamu kok bilang gitu sih? Mama udah atur-,"
"Dan kita emang nggak pacaran, Sar. Mama gue yang maksa buat gue pacaran sama lo. Tapi enggak dengan gue sendiri." Rio segera membantah ucapan Sarah. Ya, namanya Sarah.
Rio mundur beberapa langkah hingga sampai berdiri tepat di sebelah Anggita. Tangannya memegang pundak teman chattingnya itu sesaat sambil melihat keadaan sekitar. "Oh iya, kalian juga nggak perlu sekepo itu sama hubungan gue dan Anggita. Untuk saat ini, gue sama dia masih teman. Enggak tau kalau ke depannya kita ada apa-apa."
Ucapan itu sangat menyiratkan sebuah makna. Apalagi penekanan yang ia lakukan dibelakang kalimatnya. Tentu saja itu menarik perhatian, bukan hanya dari lingkungan dan pandangan orang-orang yang mungkin patah hati bahkan juga dari Anggita sendiri.
Bohong jika Anggita bilang ia tidak baper. Yah kalian tahulah julukan bagi cewek yang sedang dekat sama cowok yang perhatiannya sangat luar biasa bahkan tidak malu-malu melakukan hal semanis tadi pada cewek yang ia dekati. Yah bagi cowok itu mungkin hanya sedikit perhatian yang lazim mereka lakulan karena rasa ingin melindungi seseorang, tapi bagi cewek itu seperti punya pacar tapi ternyata ga ada status. Boom!
"Udah, lo nggak usah mikirin Sarah." Rio mengucapkannya tanpa beban. Seolah itu bukan masalah yang penting. Tingkah dia yang seperti ini bakalan berpotensi besar untuk kelangsungan hidupnya. Ia bakalan dapat cerca lebih banyak dari sini. "Gue mau kok memperjuaangkan lo. Kayak yang gue bilang tadi."
"Gue pikir lo becanda soal ucapan lo tadi."
Anggita tersenyum puas mendapati Rio benar-benar memiliki perasaan lebih padanya. Berarti ia bukan termasuk dalam antara orang-orang baper yang hanya diberi perhatian tanpa kepastian.
Rio berhenti lalu memegang pundak Anggita dan memutar tubuh itu untuk menghadapnya. "Gue nggak berharap lebih sama takdir. Tapi kalau gue bisa memilih sih, gue memilih untuk takdir yang mempertemukan gue dengan lo..,"
Tuh, kan?
Apa kata gue?Anggita mesem-mesem nggak jelas setelah mendengar ucapan Rio barusan. Ia melayang. Sumpah ia merasa serasa di surga sekarang.
"Gia." Rio mendesis kesal tanpa alasan. "Gue cheese banget ya bilang kayak gitu? Padahal tuh gue cuman mau bilang gue sayang sama dia. Ah, Rio bego."
Dan setelahnya Anggita sadar, ia terlalu berharap. Perasaannya terlalu melambung jauh makanya jatuhnya itu sakit.
Inilah akhir dari satu bentuk perhatian yang tidak terdefinisikan. Bahwa rasa melindungi yang cowok punya hanya menimbulkan luka kecil dalam hati cewek yang menggunakan perasaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan cerita
RandomHanya tentang segelintir kenangan yang tak dapat dihapus kemudian ditulis kembali dalam bentuk picisan.