Friendzone

954 6 1
                                    

Aku mengikuti bayanganmu. Tentang bagaimana waktu membawaku pada perasaan yang salah. Tentang bagaimana aku bisa merasa bahwa sedetik saja, hanya sedetik, kamu begitu mampu membuatku berarti. Mungkin kedengarannya konyol. Karena akhirnya, aku sadar bahwa semua itu berhak aku dapatkan. Aku masih sahabatmu, bahkan ribuan hari dan bulan telah menjadi saksi perjalanan kita. Tak setahun atau dua atau tiga, kita sudah bersama hampir seumur hidup. Kamu memberitahu ku cara untuk bahagia yang akhirnya mengajariku untuk mencintaimu. Tanpa sadar namun pasti, perasaan ini berubah sementara kamu masih menjadi misteri bagiku.

Pernah sewaktu-waktu aku bertanya pada pencipta, benarkah rasa ini? Apakah mungkin aku telah memandangmu sebagai lelaki yang seutuhnya? Bukan lagi si bocah kecil yang senantiasa bermain-main dibawah terik matahari hanya untuk sebuah layangan. Bukan lagi si bocah kecil dekil, hitam yang membuat hari ku terasa begitu membosankan. Tebak, bagaimana aku bisa tahan dengan sikapnya yang kian bertambah umur kian sulit untuk dipahami.

Sebenarnya aku tak begitu tahu tentang perasaan ku padanya, sebelum akhirnya aku merasa sakit saat melihatnya menangis untuk orang lain. Sahabat kecil ku menangis untuk wanita lain yang begitu asing untuk kami –ralat, tepatnya untukku. Waktu itu hari berlalu begitu cepat. Aku sudah terbiasa menikmati malam tanpa kehadirannya. Awalnya memang menyenangkan. Aku tak perlu susah payah lagi menyelesaikan bacaan ku karena dia tidak lagi mengganggu. Awalnya terasa begitu memuaskan karena aku mampu menghabiskan ribuan menit dengan cara ku sendiri. Hingga di bulan kedua aku menjalaninya, perasaan kehilangan membungkus rapat setiap dinding kamar ku. Aku diselimuti rasa rindu yang teramat padanya walau sebetulnya siang hari ia masih setia menemui ku.

Lalu, suatu malam yang panjang, ketika aku berusaha untuk tidak memikirkannya, ponselku berbunyi. Suara penyanyi korea yang dikenal dengan nama Super Junior terdengar nyaring mengisi kekosongan kamarku. Display ponselku menampilkan namanya. Dion Prakarsa Adiwiguna. Sesuatu yang ganjil, karena biasanya ia masih sibuk bersama pacarnya di jam-jam seperti ini. Namun apa daya, aku begitu senang melihatnya masih mengingat keberadaanku. Tanpa berpikir panjang, aku menswipe ponselku. Dan blam. Dion menangis.

"Kil, my heart is break."

Aku tak tahu merespon apa saat itu, namun yang pasti, aku turut merasakan kesedihannya. Hatiku ikut perih ketika aku tahu bahwa ia sangat mencintai gadis itu. Ia sangat menaruh harap untuk perempuan itu. Harap yang besar sampai ia lupa tentang aku.

"Kil," Dion membuyarkan lamunanku. Aku menatapnya sekilas. Tak ada yang berbeda dari dirinya. Hanya saja, Dion dengan kemeja abu-abu dan celana bahan hitam adalah kesukaanku. Jangan salah paham, tapi serius deh, dia tampil lebih ganteng dengan pakaian seperti itu. "Are you okay?"

Aku tersenyum, "Not really okay. Tapi kayaknya, gue beneran mau pingsan, Yon."
Dion ikutan tersenyum sambil mengambil tempat tepat dihadapanku. Tangannya telah mencapai puncak kepalaku sekiranya mengukur apakah suhu tubuhku sudah sama seperti suhu tubuhnya. "Setidaknya lo nggak deman separah yang kemarin," ujarnya. Ia mengeluarkan bermacam-macam obat yang dapat aku pastikan dia dapatkan dari maminya. Hal yang membuat aku cuman bisa geleng-geleng tak terima. "Jangan bikin orang terus-terusan khawatir, Kil. Lo nggak tahu gimana gue merasa takut setengah mati karena lo."

"Maaf." Aku mengatakannya dengan tulus. Sejujurnya, aku tak ingin membuatnya khawatir seperti kemarin. Dan kalau kalian melihat bagaimana kemarin ia setia berada disebelahku tanpa pergi sedetik pun, kalian pasti mengira bahwa ia juga menyukaiku.

Tapi perasaan Dion tetaplah sebuah misteri yang belum mampu aku pecahkan. Bahkan sejak dulu, ia adalah satu dari ribuan orang yang selalu pintar menyembunyikan perasaannya. Sangat apik menyimpan segala rahasia yang ia punya. Tak heran banyak yang ingin berteman dengannya.

"Hei!" Lagi-lagi Dion mengagetkanku. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Daritadi mikirin apa sih?"

"Mikirin, gimana mungkin selama hampir 20 tahun gue hidup, lo selalu ada disebelah gue. Bahkan saat-saat terberat yang gue hadapi selama ini," ucapku tanpa berusaha membantahnya. Aku memang bersyukur karena diberikan kesempatan untuk mengenal dia.

"Dan seberapa beruntungnya lo bisa dekat-dekat sama cowok secakep dan sepopuler gue."

"Dih, sok kecakepan," sanggahku berusaha untuk menetralkan jantungku yang mulai berpacu dengan kekuatan yang tidak biasanya. "Lo nggak cakep, tapi kalau popular sih, gue akui."

"Iya deh, mbak, iya."

Dion mengeluarkan beberapa butir obat lalu memberikannya padaku sambil menyodorkan botol aquanya. "Tadi lo udah makan, 'kan? Sekarang lo minum obatnya biar gue bisa cabut ke kelas. Bentar lagi gue mau masuk soalnya," lanjutnya masih menatapku penuh dengan khawatir yang sedikit berlebihan.

"Lah? Kalau ada kelas lanjutan kenapa mesti ke kampus gue? Mending lo makan di kantin sambil nunggu kelas berikutnya. Bukannya malah habisin waktu buat datang ke kampus gue. Dasar bego!" celotehku panjang lebar. Sebenarnya aku bahagia waktu dia bilang begitu. Ia menyempatkan diri untuk menemuiku di sela-sela waktu yang ia punya. Bahkan ia sampai merelakan waktu makannya. "Nanti kalau lo ikutan sakit gimana?"

"Gue sakit itu urusan belakangan." Dion tak mengalah. "Lagian gue cowok, jadi gue nggak akan mati kelaparan kalau hanya sekali dalam sehari nggak makan."

"Sama aja bego."

Dion menggeleng masih dengan harapan untuk aku menyelesaikan tugas utama tersebut. "Bedalah, dol."

"Sama."

"Ih, dibilangin beda."

"Sama Dion Prakarsa Adiwiguna!"

"Beda Kilana Sesandra Childs!"

"Kok nggak mau ngalah sih?"

"Yah ngapain ngalah sama lo?"

"Kan gue sakit?"

"Nah, lo akhirnya ngaku sakit." Akhir Dion jengah. Ada senyum penuh kemenangan yang tergambar diwajahnya. Ditambah ia dengan sigap memasukkan obat-obat tersebut ke dalam mulutku. "Ketimbang minum obat aja susah."

"Bukan susah. Cuman kalau dihadapan lo, obatnya suka malu-malu kucing," jawabku asal menegak hampir setengah air mineral yang ia belikan. Lalu berpaling padanya yang hanya sibuk memandangiku tanpa sedetikpun berkedip. "Lo kenapa?"

"Kapan sih lo punya cowok, Kil?"

Pertanyaan yang langsung membuatku tersedat. Gimana gue mau punya cowok kalau lo aja masih seperhatian gitu sama gue. Batinku mendumel.

"Kok nanya gitu?"

Dion menggeleng sambil tersenyum. "Enggak sih. Gue cuman berharap suatu hari nanti kalau lo punya pacar, dia harus bisa buat lo bahagia. Minimal melanjutkan apa yang udah gue lakuin ke lo. Dan dia itu harus bisa mengukir senyum di wajah lo selamanya."

Dan seandainya hari itu tiba, gue pengennya lo yang jadi pacar gue. Gue ingin lo yang tetap menjaga gue sesuai dengan janji yang pernah lo ucapkan sama gue. Dan seandainya hari itu tiba, ijinkan gue untuk memohon bahwa orang itu adalah lo, yon. Karena gue tahu, bahwa ketika gue merasa bahagia, itu adalah masa saat gue bisa menikmati hari berdua bersama lo.

FRIENDZONE

Hai guys, gue balik nih. Setelah gue mencoba untuk memikirkan apa gue melanjutkan semua yang udah pernah gue buat, akhirnya gue pikir, gue akan pending cerita-cerita gue semuanya. Gue akan fokus sama cerita ini aja. Gue akan fokus membuat cerita-cerita baper yang sebenarnya enggak penting amat. But, i think i can do it. Ah ya, btw, malam ini gue gabut.

Kuliah menyisahkan jam-jam seperti ini buat gue bisa menuangkan isi pikiran gue. Dan, sekian Author's note gue. Bhay para kesayanganku.

Kumpulan ceritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang