Perkenalan

64 18 4
                                    

#Salam_WritingMarathon
#ChallengeMenulisSatuBulan
redaksisalam_ped

Samudra menghembuskan napas pelan. Dia tahu semua ini akan terjadi, sebelum masuk ke toilet tadi dia bisa melihat dari ekor mata kalau Linka mengikutinya. Dan sekarang beginilah keadaanya, terkunci di kamar mandi.

Samudra mengeluarkan handphone dari dalam sakunya, beruntung dia sudah meminta nomor handphone Tony tadi. Jadi, satu-satunya cara agar dia bisa keluar dari tempat itu sekarang adalah menghubungi teman semejanya itu.

“Siapa sih yang berani kunciin loe di sini?” tanya Tony setelah berhasil mengeluarkan Sam dari toilet.

“Gak tau. Tadi gue lihat ada cewek tadi yang di kantin ngikutin gue.”

“Linka?” tanya Tony spontan.

Sam mengangkat bahu. Dia tak tahu nama gadis itu yang dia ingat hanya kelakuannya—meskipun belum tahu pasti—yang sangat bar-bar. Sam dan Tony berjalan beriringan menuju kelas, meskipun hanya terkunci tak sampai sepuluh menit, Sam harus menyeka keringat berkali-kali. Panas dan pengap.

“Tuh cewek memang rada gila, kerjaannya bikin onar mulu. Untung ada Ali yang jadi backingannya, kalau enggak sudah habis dia di masa sama orang-orang.”

Sam melihat ke arah Tony yang sedang bercerita dengan menggebu-gebu. Sebenarnya pemuda itu tak terlalu peduli, tapi mengingat penolakannya kepada Linka tadi, dia yakin gadis itu akan datang lagi untuk mengganggunya.

“Ali siapa? Pacarnya?”

“Bukan. Mereka sih, katanya sahabatan dari kecil tapi kalau diamati pasti, si Ali sudah kayak jongosnya Linka. Nurut banget.”

Sam menyipit. “Kenapa bisa gitu?”

Tony mengangkat bahu. “Kagak tau. Cinta mungkin si Ali sama dia. Gue saranin loe jangan berurusan sama dia deh, ribet. Gak dibales itu bikin kesel, dibales bisa remuk kita di tangan Ali. Dia atlet taekwondo, sudah banyak yang bonyok di tangannya.”

Sam hanya mendengarkan ocehan Tony dengan diam. Mereka sudah sampai di kelas sekarang, bel masuk sudah berbunyi sejak dua menit yang lalu. Jadi, bisa dipastikan sebentar lagi guru mata pelajaran selanjutnya akan segera memasuki kelas.

“Atau jangan-jangan si Linka naksir elo, Sam? Dia minta kenalan lebih dulu kan tadi?” lanjut Tony dengan senyum terkembang.

Sam meliriknya sejenak, memutar bola matanya malas. “Dia bukan tipe gue,” jawabnya singkat.

“Yakin? Meskipun biang onar, tapi kalau dilihat-lihat dia manis juga sih, apalagi dengan gigi kelincinya itu, makin kelihatan unyu banget.”

“Ambil aja buat loe!”jawab Sam sinis.

“Ya andai saja dia mau sama gue yang burik gini, Sam.”

“Ya, berarti itu derita loe!”

Terdengar Tony mendengkus. Sam tersenyum tipis, meskipun baru sehari berteman, tapi dia yakin akan sangat cocok bergaul dengan Tony. Ya, meskipun lelaki itu bisa dikategorikan, bawel.

====SETEL KENDOR====

Linka melemparkan tasnya asal. Gadis itu menjatuhkan tubuhnya di atas sofa ruang tamu. Hari ini udara terasa begitu panas, belum lagi Ali yang harus pulang lebih dulu untuk latihan taekwondo. Akhirnya, mau tak mau dia harus menggunakan angkot untuk pulang.

“Linka, kamu bikin onar apalagi kemarin?”
Belum tuntas rasa lelahnya hilang, Linka harus menghadapi lagi auman singa dari sang ibu ratu. Gadis itu hampir saja berlari menuju kamarnya, tapi terlambat!

“Aduh, Bunda. Sakit.” Sebuah jeweran sudah mendarat sempurna di telinga Linka.

“Kamu seneng banget, ya, bikin Bunda darah tinggi. Kenapa kemarin kamu bolos? Kenapa, hah?”

“Aww!” pekik Linka.

Sang Bunda tak hanya mengomel, bahkan telinga anak gadisnya itu ditariknya kuat-kuat. Sengaja ingin memberi efek jerah yang meskipun dia yakin itu tak akan berlaku untuk Linka.

“Ali yang ngajakin, Bun. Beneran Linka sudah nolak kemarin.”

Ali maapin gue, yak. Kali ini loe terpaksa harus jadi kambing hitam.

“Kamu sama Ali itu sama saja. Gak ada yang bisa dibela! Kamu sudah kelas tiga Linka, mau sampai kapan begini terus, hah? Kalau gak lulus gimana?” Tarikan di telinga Linka semakin menguat, membuat si empunya telinga hanya bisa meringis menahan sakit.

“Kemarin itu yang terakhir, Bun. Linka janji, deh. Sekarang lepasin dong, sakit,” rengek Linka yang tak dihiraukan oleh bundanya.

Sang bunda sudah hampir menyerah menanggapi kelakuan anaknya itu. Padahal hubungan mereka baik-baik saja. Meskipun bukan barang mewah, tapi kebutuhan Linka terpenuhi dengan cukup baik, lantas apa yang membuat putrinya sebengal ini?

Bu astrid–Bunda Linka–entah sudah berapa kali datang ke sekolah untuk memenuhi panggilan dari guru BK akibat ulah Linka. Bahkan tak tanggung-tanggung, para guru bahkan memberikan wejangan tentang cara mendidik anak broken home. Saat itu bola mata Bu Astrid membulat sempurna, siapa yang broken home? Linka bahkan sangat manja kepada sang ayah jika dia pilang dari dinas luar kotanya. Sedang dengan dirinya sendiri? meskipun sering mengomel, Linka adalah putri satu-satunya, tak mungkin dia bersikap layaknya ibu tiri. Kelakuan anak gadisnya itu benar-benar merusak citranya yang dikenal baik layaknya ibu peri.

“Janjimu palsu! Kemarin juga bilang begitu, tapi apa kenyataanya? Kalau kamu terus-terusan begini, jangan harap bunda ijinin ayah buat beliin motor baru buat kamu!”

Mendengar kata motor, bibir Linka langsung mengangah. Selama ini dia memang meminta motor baru kepada kedua orang tuanya untuk dia pakai ke sekolah. Namun, permintaannya selalu ditolak dengan alasan masih kecil, dan sekarang apa yang dia impikan terkabul. Nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan, Gengs.

“Bunda mau beliin Linka motor baru?” tanya Linka dengan mata berbinar dan penuh harap.

“Gak jadi! Kamu udah bikin malu bunda sama ayah.” Bu Astrid bersendekap dada, memalingkan muka menghindari muka melas yang dibuat-buat oleh putrinya.

“Bunda jangan gitu dong, tega amat sama anak sendiri. Linka janji kali ini Linka bakal jadi anak baik deh, sumpah!”

Linka mendekat ke arah sang bunda, memegang lengannya seraya menggosok-gosokkan kepala di ketiak Bu Astrid. Persis anak monyet yang mau minta nyusu. Kalau sudah seperti ini siapa yang sangka jika sebenarnya Linka adalah preman dan si biang onar di sekolah.

“Assalammualaikum.”

“Waalaikumsalam,” jawab bunda dan Linka secara bersamaan.

Seorang pemuda masih dengan seragam lengkap dan tas di punggung melangkah masuk. Dia mendekat ke arah Bu Astrid dan mencium tangannya takzim.

“Dia kan yang ngajakin kamu bolos?” Omelan Bu Astrid akhirnya berlanjut.

Linka menepuk dahinya pelan. Belum berhasil dia membujuk sang bunda, masalah justru datang dengan muka polos tanda dosa. Ali yang tak mengerti apa-apa hanya menatap Linka bingung.

“Kenapa sih, Bun?” tanyanya sembari melihat Bu Astrid dan Linka bergantian.

Mengenal sejak kecil membuat  Ali mendapat hak khusus memanggil  Bu Astrid dengan sebutan bunda. Linka pun melakukan hal yang sama kepada orang tua Ali.

“Linka kemarin bolos sekolah. Dan kata dia itu gara-gara diajakin kamu!” Mata Ali melotot seketika. Dia menatap Linka dengan horor, sedang gadis yang ditatap itu hanya cengar-cengir tak jelas.

Bukankah dia yang maksa ngajakin bolos? Kenapa sekarang gue yang jadi tersangka?

Baru saja Ali mau buka suara, Bu Astrid sudah bicara lebih dulu.

“Kamu mau gak saya kasih restu buat menikah sama Linka?”

“Hah?”

SETEL KENDORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang