Gue, Alinka

261 47 42
                                    

#Salam_WritingMarathon
#ChallengeMenulisSatuBulan
redaksisalam_ped
Jumkat: 1254

"Alinka Prameswari! Kembali!"

Gadis yang dipanggil itu hanya menoleh sejenak, tersenyum miring dan kembali mengencangkan larinya menuju halaman belakang. Linka berhenti, mendongak menatap tembok yang tinggi menjulang di depannya.

Perempuan paru baya yang tadi mengejarnya ikut berhenti. Dia menghirup napas dalam-dalam, mencari pasokan oksigen untuk melegakan saluran pernapasannya. Perempuan yang biasa dipanggil Bu Ayu itu tersenyum senang, merasa menang melihat incarannya tersudut.

Namun, hanya sekejap dia bisa bernapas lega, kini lagi-lagi dia dibuat melotot tak percaya dengan tingkah muridnya itu. Alinka satu-satunya murid perempuan yang terkenal bandel itu melompat ke atas pagar tembok setelah sebelumnya melempar tasnya lebih dulu.

"Alinka!" teriak Bu Ayu lagi.

Alinka yang sudah sampai atas itu menoleh, tersenyum lebar sembari melambaikan tangan. "Duluan, ya, Bu Ayu," ucapnya kemudian berbalik dan menghilang dengan satu lompatan.

Bu Ayu hanya menganga di tempat. Dielus dadanya yang rata, berharap bisa berubah segede punya Dewi Perssik. Eh, maksudnya berharap diberi kesabaran yang gede.

Dari sekian ratus murid perempuan di sekolah itu, entah kenapa dia ingin sekali Alinka cepat lulus. Kadar darahnya bisa overloud jika tiap hari berurusan dengan gadis itu.

Alinka Prameswari, siswi kelas XII yang dikenal dengan kenakalannya. Jika cewek pada umumnya lebih memilih ekstra tari, Alinka justru memilih bela diri. Alinka akan dengan bangga saat bisa bergabung dengan klub basket putra ketimbang harus teriak-teriak menjadi cherleader. Alinka selalu bertolak belakang dengan sifat wanita pada umumnya.

Alinka tersenyum puas sembari melihat dinding kokoh di hadapannya itu. Lagi-lagi dia bisa mendarat dengan sempurna. Tak salah memang dia ikut extrakulikuler panjat tebing dulu.

"Good bye, Bu Ayu. Kita ketemu besok, itu pun kalau aku gak tergoda buat bolos," ucap Linka sembari membersihkan belakang roknya.

"Woe, buru!" Teriakan dari belakang membuat Linka menoleh. Dia langsung menyambar tasnya, berlari menuju si sumber suara.

"Pinter. Gitu dong tepat waktu," oceh Linka dengan menaiki motor sport di hadapannya.

"Tepat waktu paan? Gue nunggu di depan sana bego!"

"Protes mulu! Itukan emang tugas loe." Linka menepuk bahu sahabatnya itu, pertanda sudah saatnya motor melaju.

Pemuda di depan itu hanya geleng-geleng kepala, sebelum akhirnya menyalakan mesin dan menjauh dari sekolah.

"Al, cari makan dulu. Gue laper. Buat kali ini, loe boleh pilih tempatnya, tapi loe yang traktir, ya?" teriak Linka dari belakang.

Pemuda bernama Ali itu mendengkus di balik helm full facenya. "Sejak kapan loe bayar pakai duit loe sendiri? Mau siapapun yang nentuin tempat, tetep aja gue yang bayar," omel Ali yang ditanggapi Linka dengan terbahak.

"Sebagai anak buah, loe emang seharusnya tunduk sama gua," ucap Linka sembari menepuk-nepuk dadanya. Bangga.

Ali memutar bola mata malas. "Gue jatuhin juga loe!"

Ali dan Alinka, dua sahabat yang bagi sebagian orang justru terlihat seperti sepasang kekasih. Di mana ada Linka, di situ pasti ada Ali. Jika Linka maju ke medan perang, maka sudah bisa dipastikan Ali yang akan menjadi tamengnya.

Kedua orang beda kelamin itu bersahabat sejak jaman embrio. Jadi, tak heran jika mereka lebih dekat ketimbang saudara kembar. Namun, bisa dibilang kedekatan itu hanya menguntungkan Linka, sedangkan Ali? Dia lebih pantas disebut kacung ketimbang sahabat.

SETEL KENDORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang