Anything For You

85 11 10
                                    

"Jangan keseringan bolos kek gini, Lin. Kita udah kelas tiga. Kelulusan jadi taruhan nih!" oceh Ali saat baru saja menenggak habis es teh panas di hadapannya.

"Loe bawel kayak bunda! Lagian loe ngomong gitu kayak udah bener aja. Loe juga bolos, bego!"

"Ya, gue bolos juga gara-gara loe, goblok!"

"Tapi gue gak ngajakin loe, homo!"

Ali melotot tak terima. Bisa-bisanya dia dibilang homo. Ali masih normal, sangat normal malah.

"Sarap loe, ya! Bisa-bisanya ngomong begitu. Kalau ada yang denger gimana?" protes Ali tak terima. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, memperhatikan sekitar dan memastikan tak ada yang mendengar ucapan Linka.

"Lah sapa tau, dari dulu loe jomlo terus? Gue kan jadi ragu loe normal apa enggak!"

Linka bicara dengan santainya, dia bahkan terlihat begitu tanpa beban. Gadis itu justru asik menghabiskan sisa-sisa daging yang masih menempel di tulang ayamnya, tak peduli dengan Ali yang harus ektra sabar menghadapinya.

"Gue normal! Loe lupa banyak cewek yang nembak gue? Gue aja yang memang pilih-pilih, tapi bukan berarti homo juga, bego!" protes Ali lagi.

Linka hanya menjawab dengan alis terangkat dan mengangguk kecil. Tunggu setelah  buruannya ini habis, Linka akan membuat Ali tak berkutik.

Sepuluh menit lamanya Ali merasa tenang karena Linka tak membahas soal yang baru saja mereka bicarakan. Sahabatnya itu kini sedang menenggak segelas es teh jumbo ditambah dengan es teh miliknya yang tinggal setengah. Benar-benar mirip sapi gelonggongan.

“Loe bilang gak homo, tapi sampai sekarang gue gak hamil-hamil. Padahal kita sering tidur berdua—" Ucapan Linka terjeda karena Ali tiba-tiba membekap mulutnya. Yang benar saja, Linka sangat kenyang sekarang, bisa-bisa dia muntah dibekap seperti ini.

“Loe kalau  ngomong dipikir pakai otak, Kebo! Orang bisa mikir aneh-aneh sama ucapan loe. Jelas loe gak hamil, kita Cuma tidur berdua, gak ngapa-ngapain!”

Ali melepas bekapan tangannya di mulut Linka. Dia menggeram gemas. Sejak tadi sahabatnya itu membahas tentang perhomoan, Ali pikir Linka sudah sangat paham dengan hubungan intim semacam itu. Namun nyatanya? Bego juga.

“Tapi kata bunda, gue dulu lahir gara-gara bunda sering tidur berdua sama ayah. Lah kita kan juga begitu,” jawab Linka dengan polosnya. Entah beneran polos atau tidak, yang jelas Ali sekarang sadar, antara polos dan bloon memang terkadang beda tipis.

“Loe harusnya kemarin masuk jurusan IPA aja, biar ngerti soal beginian!”

“Justru karena gue males mikir mangkanya gue masuk jurusan bahasa aja. Gue pingin jadi penulis, pingin punya banyak buku yang best seller, gak Cuma sekedar pengisi mading sekolah aja.”

Mata Linka menerawang jauh ke atas, dia membayangkan bagaimana jika benar-benar dia menjadi seorang penulis. Dikenal banyak orang, sana-sini dimintai tanda tangan dan foto bersama. Ah, indahnya.

“Aw!” Linka memekik kaget saat sebuah jitakan mendarat di tepat dahinya. Siapa lagi pelakunya kalau bukan si tiang listrik berjalan. Ali.

“Loe kalau mimpi jangan ketinggian. Tulisan mana yang loe banggain? Puisi yang yang gak jelas iramanya itu? Atau cerpen yang kagak jelas konflik dan endingnya itu? Nulis cerpen aja gak ada alurnya, gimana mau nulis novel?”

Linka menggosok-gosok dahinya dengan bibir mengerucut. Dia makin sebal saja mendengar kenyataan menyakitkan yang Ali ucapkan. Ya, meskipun tak bisa dia pungkiri kalau yang Ali ucapkan semua benar adanya. Kalaupun dia lolos pajang di mading sekolah selama ini, tentu saja semua berkat Ali. Belum lagi si pengurus mading memang tergila-gila kepada sahabatnya itu. Makin lancar saja kiriman cerpennya menjadi pajangan sekolah.

“Harusnya sebagai sahabat yang baik, loe dukung gue kek. Bukan malah ngendorin begini. Kalau gue beneran jadi penulis hebat nanti, gue pastiin nasib loe bakal ancur di novel-novel yang gue bikin.” Ancam Linka dengan berapi-api.

Ali terkekeh mendengar ucapan Linka. Sejak mereka kecil, Linka memang bercita-cita menjadi penulis, dan tiap dia marah selalu itu ancaman yang dia ucapkan kepada Ali. Namun hasilnya? Nihil. Bukan dari karya Linka dikenal, tapi justru karena tingkah konyol dan urakannya yang membuat semua orang selalu mengingatnya.

“Yang gue tahu, kalau orang udah punya cita-cita sekuat itu, dia pasti ngejar dengan cara apapun. Dia akan mencoba mencari jalan agar apa yang dia impikan tercapai. Lah loe? Kerjaan malah bolos sekolah terus, kuliah aja gue yakin loe mau.”

Linka nyengir. Lagi-lagi ucapan Ali tepat sasaran. Sekolah selama dua belas tahun lamanya sudah membuatnya lelah tak berdaya, ditambah kuliah lagi empat sampai lima tahun lagi? Ya Tuhan, Linka bisa benar-benar kurus kering nanti.

Ali bangkit dari duduknya. “Loe tunggu sini, gue mau bayar dulu.” Linka mengangguk.

Ali berdecak sendiri, Linka selalu membuatnya rugi bandar. Gadis itu yang mengajak bolos, tapi justru dia yang tekor. Tadi pagi dia sudah harus membayar bubur ayam untuk mereka sarapan, setelah itu bermain PS tiga jam lamanya. Dan sekarang? Nasi penyetan dengan lauk lengkap ditambah dua gelas es teh jumbo. Kempes sudah isi dompet Ali.

Kalau untuk sekadar uang, Ali punya cukup banyak tabungan, tapi untuk tabungan stok sabar? Ali mulai ragu.

“Ayo. Gue anterin loe ke suatu tempat, setelah itu gue balik.”

Ali meraih tas di meja, Linka memandangnya dengan bertanya-tanya. Perasaan jadwal mereka hari ini sudah selesai, tak ada tujuan lagi. Lantas Ali akan membawanya kemana?

“Loe mau nganterin gue kemana?” tanya Linka sembari iku bangkit dari tempatnya. Gadis itu ikut menyambar tasnya, menyusul Ali yang sudah berjalan keluar lebih dulu.

“Ikut aja. Gue yakin setelah ini loe bakal berterima kasih sama gue.”

Ali menyerahkan helm kepada Linka, di sendiri sibuk memasang jaketnya. Linka yang tak tahu tujuan Ali hanya menurut begitu saja. Dia yakin jika Ali sudah berkata seperti itu, pasti akan terjadi hal yang seperti itu pula. Linka terlalu percaya kepada Ali.

Hampir dua puluh menit perjalanan, Ali menepikan motornya di depan sebuah kafe. Linka mengeryit heran, mereka baru saja makan, kenapa harus ke kafe lagi?

“Loe mau ngajakin gue makan lagi?” tanya Linka saat sudah turun dari motor.

Ali menarik tubuh Linka untuk mendekat. Dilepaskannya helm yang masih berada di kepala sahabatnya itu dan setelah itu barulah Ali merapikan sedikit poni-poni Linka yang berantakan dan menjuntai ke depan.

“Di dalam ada Sam sedang makan sendirian. Ini waktunya loe PDKT sama dia tanpa perlu banyak orang tahu.”

Linka menatap tak percaya kepada Ali. Tak perlu dia tanya dari mana sahabatnya itu tahu keberadaan Sam. Hanya saja Linka tak habis pikir, Ali melakukan semua ini untuknya.

“Sana masuk! Gue balik!”

“Thanks, Al. Loe emang terbaik,” ucap Linka sembari tersenyum manis.

Ali hanya mengangguk sekilas, pemuda itu menyalakan mesin motor dan pergi dari sana. Usai kepergian Ali, Linka menatap pintu masuk kafe di hadapannya.

“Sam, gue datang.”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 07, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SETEL KENDORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang