Chapter 3

65 8 0
                                        

Seminggu kemudian....

Arsha tengah bersantai dihalaman belakang sekolah. Jam pelajaran masih berlangsung tapi ia malah bersantai disini. Menurutnya, bolos itu perlu sesekali supaya kelak kita punya kenangan nakal waktu disekolah.

Ia duduk dibawah pohon yang lumayan rindang, dedaunannya menghalangi sinar matahari agar tidak menyilaukan Arsha. Angin berhembus tenang membuat suasana menjadi tenang dan damai.

Tiba-tiba saja sebuah pesawat kertas mendarat diwajahnya. Ia membolak-balikkan pesawat tersebut dan mencari siapa pelakunya. Tapi nihil disana hanya ada dirinya seorang.

     "Siapa sih iseng banget," gumamnya.

Tangannya membuka lipatan pesawat kertas tersebut. Terdapat sebuah tulisan tangan disana.

Tunggu sebentar lagi dan aku akan kembali. Membawamu kedalam sebuah kebenaran yang selama ini tertutupi. Aku harap kamu tidak akan menolak kejutan yang akan aku beri.

Tentanda
~A

Apa maksudnya?
Kertas ini muncul lagi? Setelah beberapa bulan menghilang.

Ya dulu sewaktu ia masih menjadi murid baru disekolah ini, ia sering sekali mendapat surat misterius seperti ini. Claudia mengatakan bahwa dirinya mempunyai pengagum rahasia.


•••

Arsha bersenandung riang seraya menggayuh sepedanya dengan kecepatan sedang. Rambutnya terkadang berterbangan ketika angin datang menerpanya.

Jarak sekolah kerumahnya tidak jauh dan tidak bisa dikatakan dekat. Lumayan lah. Entah ada angin apa Arsha memilih bersepeda kesekolah. Biasanya ia lebih memilih diantarkan supir untuk pergi kesekolah.

Tiba dipersimpangan kompleks ia melihat ada seorang nenek tua yang sedang diganggu oleh dua orang preman. Ia turun dari sepedanya dan menstandarkan sepedanya terlebih dahulu sebelum menghampiri nenek itu.

     "Bentar-bentar," ucap Arsha menghentikan langkahnya.

     "Gue kan nggak bisa beladiri. Terus gimana caranya gue selamatin tuh nenek, mana premannya gede-gede lagi yang ada gue dijadiin prekedel sama mereka," monolog Arsha dengan bulu kuduknya yang tiba-tiba berdiri.

Arsha hanya berharap satu kali ini. Ia berharap agar otaknya yang jarang ia pakai bisa bekerja disaat yang mendesak seperti ini. Kalau tidak segera bertindak bisa-bisa nenek itu terluka.

Dengan langkah perlahan Arsha mendekat. Dia terlihat tenang dan biasa saja, tapi sejujurnya dia ketakutan dan berusaha keras untuk mendapatkan sebuah ide.

      "Heh! Lepasin nggak tuh nenek," ujar Arsha sok berani.

      Salah satu diantara preman tersebut mendekat, "Anak kecil nggak usah sok jadi jagoan."

     Arsha mendelik tak terima, "Jangan panggil aku anak kecil paman!"

     "Terus apa? Bocah ingusan?" ucap preman yang berkepala botak.

     "Mana ada bocah ingusan yang secantik gue."

     "Nggak usah banyak bacot. Karna lo nggak ada urusannya sama gue mending sekarang lo cabut. Gue masih baik nih biarin lo lepas gitu aja," ujarnya.

     Arsha menggeleng tidak setuju, "Gue bakalan pergi kalau kalian lepasin tuh nenek juga."

     "Udah dikasih enak malah nglunjak," cibir preman tersebut.

Arsha berpura-pura mengambil handphone dari saku bajunya.

     "Kalian tau nggak? Gue tuh sebenarnya bisa bikin kalian didepak dari profesi kalian sebagai preman disini."

Kedua preman itu saling bertatapan tak paham dengan maksud perkataan bocah SMA didepannya.

     "Lo belum kenal gue kan? Nah kenalin gue.. aduh siapa sih nama gue.. nah iya, nama gue Marni, keponakannya bos kalian."

Arsha berusaha menahan tawanya sendiri. Bisa-bisanya ia kepikiran nama 'Marni' yang tidak lain adalah nama pembantunya dulu. Tak apalah yang penting ia bisa berbohong dengan baik.

     "Maafin Arsha Ya Allah. Maafin Arsha juga mbok Marni udah make nama mbok," batin Arsha meringis.

     "Bos siapa? Bos Bardun?"

Arsha mengangguk dengan mantap. Persetan siapa namanya yang jelas ia ingin segera pergi dari hadapan kedua preman ini.

     "Gue bakal laporin kalian ke om Bardun kalo kalian udah berani-beraninya malakin keponakannya yang paling disayangin sama dia," kata Arsha.

     "Coba aja kalau berani," ucap preman berkepala plontos meremehkan.

Gadis itu lalu mengotak-atik ponselnya sebentar. Terdengar nada menyambungkan dari ponsel tersebut setelah panggilan itu terhubung Arsha lalu berteriak.

     "OM TOLONGIN ARSHA.. ARSHA DIPALAKIN SAMA ANAK BUAH...."

Ponselnya dirampas dan dimatikan paksa oleh preman itu.

     "Yaudah lo boleh pergi. Tapi awas kalau lo sampai berani laporin kita berdua ke bos Bardun."

Dengan sigap Arsha menggandeng tangan nenek tersebut dan mengajaknya untuk menjauhi kedua preman itu.

     "Makasih ya, Nak," ujar nenek itu tulus.

     "Iya, Nek. Sama-sama," balas Arsha. Ia menatap wajah sang nenek dengan seksama. Kayak kenal tapi dimana?

     "Nenek itu Nek Suci bukan? Temennya nenek Arsha," ucap Arsha.

Nek Suci terlihat sedikit terkejut. Ia tidak menyangka akan bertemu dan ditolong oleh cucu dari sahabatnya.

     "Kamu nak Arsha ya? Maaf ya nenek udah tua jadi suka lupa."

     "Gapapa, Nek. Mending sekarang kita pergi dari sini sebelum preman itu pada sadar."

Arsha mengambil sepedanya dan mengajak Nek Suci untuk membonceng dirinya. Awalnya Nek Suci menolak tapi karna paksaan dan rengekan Arsha berhasil membuatnya luluh dan menurut.

Sementara itu seorang lelaki dengan postur tubuh yang besar dengan tindik dan tato dibeberapa bagian tubuhnya menimbulkan kesan seram, tengah berjalan menghampiri kedua preman tadi.

Dia Bardun.

Bos dari preman itu.

     "Dapat berapa lo?" tanyanya.

     "Belum dapat bos. Tadi ada nenek bangka yang sempat mau kita palakin. Tapi keponakan bos keburu datang."

     Bardun terlihat bingung, "Ponakan?"

Kedua preman itu kompak mengangguk.

     "Dasar bego! Gue nggak punya ponakan! Gue anak tunggal gimana caranya bisa punya ponakan anjing. Mikir pake otak mau aja lo dikibulin sama bocah. Badan gede tapi otak kagak ada. Malu-maluin aja lo!"

Yang menjadi sasaran amukan Bardun hanya bisa terdiam mendengarkan ceramah dari bos mereka. Dalam hati mereka menyumpah serapahi Arsha yang telah berani-beraninya membohongi mereka.







TBC

ARSHAKA [New Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang