08

62 13 2
                                    


Selamat Menjalankan ibadah puasa, untuk yang menjalankan🎉

Semoga kalian sehat-sehat, ya

Enjoy, gaes.

Happy reading.

***

Elva baru tiba di halaman rumahnya. Turun dari mobil dengan raut lelah. Gadis itu melangkah ke arah pintu utama, masuk ke dalam rumah tanpa permisi. Lalu menghempaskan tubuhnya keatas sofa.

Elva memang gadis yang beda. Di saat gadis lain yang hidup bergelimangan harta, dengan manjanya memerintah bawahan. Naik mobil harus dengan supir, masuk rumah harus dibukakan pintu, makan di ambilkan, semua serba bergantung pada bawahan. Namun, hal itu tidak berlaku dalam hidup Elva. Gadis itu lebih ingin hidup mandiri. Segala halnya tak boleh di kerjakan oleh orang lain. Dia lebih sopan pada bawahan. Walau orang melihatnya sebagai anak yang manja dan cuek. Tapi sebenarnya sifat jeleknya itu hanya sebagai topeng untuk menutupi sifat aslinya.

Bi Tina yang mengetahui anak majikannya itu datang pun langsung menghampiri.

"Loh, non abis dari mana? Kayaknya capek banget, ya?" tanyanya.

Elva menoleh, lalu menggeleng. "Biasa, Bi, tadi abis nyari suasana aja," jawabnya dengan tersenyum. Namun wajah lelahnya tak bisa ditutupi.

Bu Tina duduk di samping Elva sembari menggenggam tangan putih milik Elva.

Elva menatap tangannya yang ada dalam genggaman bi Tina. Raut wajahnya berubah sendu. Andai saja tangan yang menggenggamnya itu adalah tangan sang ibu, pasti dia akan sangat bahagia. Tapi nyatanya itu hanya harapan, yang kecil kemungkinan untuk jadi kenyataan.

Memang bi Tina dan pak Muh saja yang selalu ada untuk Elva. Mereka sudah lama bekerja, bahkan mereka lah yang mengurusnya sedari kecil. Di saat anak-anak seumurnya asyik bermain dengan ayah dan ibunya, Elva justru hanya bisa bermain dengan bi Tina ataupun pak Muh.

Sejak saat itu, Elva mengklaim Bi Tina dan pak Muh sebagai orang tua keduanya. Walaupun sebenarnya, Elva ingin dicintai oleh kedua orang tuanya. Namun itu hanyalah sebuah hal yang sangat mustahil.

Teringat saat ia hendak bunuh diri yang mengakibatkan dirinya masuk rumah sakit. Untuk pertama kalinya ia melihat sang ibu khawatir. Wanita yang melahirkannya itu bahkan berjanji akan berubah dan mulai menyayangi dirinya, tapi apa? Itu hanya sebuah omong kosong yang tak bisa ibunya penuhi.

Mengingat hal itu membuat Elva meneteskan air mata secara tiba-tiba.

"Loh, kenapa nangis non? Ada masalah apa? Cerita sama bibi," tanya bi Tina khawatir.

Elva menghapus air matanya secara kasar, lalu tersenyum. "Enggak ada, kok, Bi. Aku tadi cuma kena masalah sedikit."

Jawaban Elva membuat dahi Bi Tina mengernyit, penasaran. "Masalah apa? Bilang sama bibi, kali aja bibi bisa bantu."

Elva menggigit bibir bawahnya, ragu untuk mengatakan jika tadi ia baru saja menabrak seseorang. Elva takut sang ibu tau, dan akan marah padanya.

"Itu ...."

"Itu apa? Ayo cerita sama bibi," ucap bi Tina.

"Anu ... Itu ...."

"Anu, itu apaan sih, Non?" tanya bi Tina penasaran. Pasalnya sejak tadi yang Elva katakan hanya anu dan itu saja.

"Em ... tapi bibi jangan bilang sama Mama, ya? Apalagi Papi." Mata Elva menyiratkan permohonan.

Bi Tina mengangguk. "Emang bibi pernah ngadu, ya?"

Sehati Tak Seiman (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang