13

55 10 4
                                    

Happy Reading.

—————o0o—————

Plak!

Semua orang terkejut mendengar suara tamparan yang sangat keras. Membuat siapa saja yang mendengarnya ikut merasa ngilu.

"Nyonya!" Ujar Pak Muh terkejut.

"Diam!" Sentak Leana sambil menatap tajam Pak Muh.

"Nyonya jangan kasar pada istri saya! Kami memang bawahan nyonya, tapi kami juga punya hati, dan juga harga diri!" Ujar Pak Muh sedikit meninggi.

Mata Leana menajam. "Berani kamu? Bisa apa kamu? Memenjarakan saya? Untuk makan saja kamu tidak mampu! Jadi lebih baik DIAM!"

Tanpa ada rasa bersalah dalam hatinya, Leana berucap seperti itu. Mengeluarkan kalimah yang bisa membuat hati orang sakit kala mendengarnya.

Pak Muh terdiam membisu. Ucapan Leana terlalu menamparmya. Dia memang bukan orang mampu, tapi apakah pantas jika terus dihina seperti ini?

Kini tatapan Leana beralih ke arah Bi Tina. "Dan kamu!" tunjuk Leana. "Beraninya kamu menyalahkan saya! Kamu hanya pembantu, tak perlu ikut campur berlebih dengan urusan keluarga saya!" ucapnya dengan pandangan yang penuh kilatan amarah.

Pak Muh terdiam. Bi Tina menunduk dengan tangisnya sembari memegang sebelah pipinya yang memerah akibat tamparan. Sedangkan Mumtaz yang masih terkejut hanya menatap mereka bingung. Ternyata ibu si gadis itu sangat pemarah.

Sebenarnya Pak Muh dan bi Tina tidak nyaman bekerja di rumah Leana, namun ada alasan yang membuat keduanya harus bertahan.

Satu hal yang membuat keduanya memilih untuk bertahan bekerja di rumah yang tak pernah damai itu. Karena mereka ingin melindungi Elvarette, takut nona-nya itu kembali mendapat perlakuan kasar dan merasa sendirian.

Walau tak banyak yang bisa mereka lakukan, setidaknya mereka masih bisa menghibur sang nona agar tak merasa kesepian dengan adanya Pak Muh dan Bi Tina, Elvarette tak akan merasa sendirian.

Jika bukan karena hal ini, Bi Tina dan Pak Muh sudah dari dulu keluar. Walau harus kelaparan, mereka yakin rezeki itu pasti ada bagiannya.  Mungkin, tidak akan ada yang betah bekerja di rumah yang setiap harinya selalu ada saja perdebatan dan ucapan kasar majikannya selain mereka.

"Bu, jangan bertindak kasar. Lebih baik bicarakan baik-baik," ujar Mumtaz pada Leana.

Leana menatap Mumtaz sengit. "Siapa kamu? Kamu juga tidak perlu ikut campur! Ini urusan keluarga saya! Orang asing jangan berani-beraninya menasihati saya!"

"Maaf bu. Tapi, jika ibu marah-marah seperti ini tidak akan menyelesaikan masalah. Malah akan membuat semuanya semakin tak berujung. Dan hati-hati akan ucapan ibu yang mungkin menyakiti hati orang lain," nasihat Mumtaz.

"Jangan ikut campur! Urusi saja urusanmu. Kamu masih ingat dimana pintu keluar 'kan? Sekarang silakan keluar!" tangan Leana menunjuk kearah pintu ruang rawat Elvarette.

Mumtaz menghembuskan nafasnya pasrah. "Baiklah, saya permisi." Mumtaz pun memilih keluar dari ruang rawat Elvarette.

Pak Muh dan Bi Tina hanya menatap pemuda itu dengan wajah sendu. Nyonya-nya ini memang keras kepala, hatinya pun keras, tadak mudah untuk dinasihati.

Setelah Mumtaz pergi, mata Leana kembali tertuju pada pembantu dan supirnya itu. Dia masih kesal akibat ucapan bi Tina yang berani menyalahkam dirinya. Hanya pembantu, tapi dengan beraninya bicara seperti itu.

"Kamu, Tina! Kalau kamu bicara seperti itu lagi, saya tidak segan-segan memecat kamu! Kamu harus ingat, kamu hanya pembantu, tidak perlu terlalu dalam ikut campur urusan keluarga saya!" peringat Leana sengit.

Sehati Tak Seiman (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang