09 Juli 2001
"Hai bro, jangan lupa siang ini kita ada janjian sama cewek sekolah sebelah." sahabatku Henry menepuk pundakku dari belakang.
"Gak ah bro, elu aja yang datang. Gue gak ikut, ajak noh si Jojo." ok. memang bukan gayaku nolak acara kencan dengan cewek-cewek cantik berbadan bohai. Tapi kali ini aku gak minat, sejak pesonaku tak mempan sama adik kelas sebelah. Bagaimana bisa pesonaku yang tak pernah diragukan tiba-tiba gak ngefek sama sekali pada satu makhluk mungil itu. Seakan harga diriku di jatuhkan, aku pastikan sebelum aku lulus dari sekolah ini, gadis itu sudah bisa aku taklukkan dalam pesonaku.
"Woooooi ngelamun aja sih lu akhir-akhir ini. pokoknya lu harus ikut, gak ada penolakan. Gue jemput nanti sepulang sekolah."
Aku tak menghiraukan teriakan Jay, sedari tadi ngomel masalah cewek cewek dan kencan. Dasar playboy cap ikan teri.
Memasuki area kelas 3 yang berada di sayap kanan bangunan. Ku lihat sosok gadis itu, berjalan menuju kelasnya bersama teman cupunya yang selalu berada disamping dia. Ku urungkan langkahku menuju kelas, berganti mengikuti gadis itu. Suaranya lembut ketika ia berbicara sama temannya, entah apa yang dibicarakannya bersama si teman. Tapi itu tak penting bagi ku, yang aku butuhkan adalah jawaban yang selama 2 minggu terakhir ini membuatku penasaran padanya. Kalau aku langsung menyapanya pasti dia hanya tersenyum dan langsung ngacir dengan menyeret temanya. Jadi untuk sementara aku akan mengikuti dia saja.
Aku heran padanya, selain dia tak terpesona olehku, juga pakaian yang dipakainya. Udah tau badannya itu munggil dan hampir menyerupai anak SMP, tapi pakaiannya sumpaah gak banget. Gila men besarnya kebangetan. secara hampir semua cewek di sekolahan ini pada berlomba untuk berpakaian seragam ala-ala japannese style. tapi dia, Atasan putih berlengan panjang dan rok sepan juga panjang hingga mata kaki, Hampir menenggelamkan seluruh tubuhnya.
"Kak Ridho, ngapain disini ? Bukannya kelas kakak disebalah sana ya?" iisssh.....klo boleh aku ingin memplester mulut seseorang, udah aku plester itu mulut. Mengganggu saja, gak lihat apa aku lagi melakukan misi yang sangat penting.
Seperti yang aku takutkan. Dia menoleh kearah ku.
Tersenyum
Dan
Menunduk setelah itu sudah aku duga, dia langsung melenggang pergi dari arah pandanganku.
Vanya, si pemilik suara tadi, tak merasa bersalah setelah mengganggu misi ku. Sekarang malah dengan sok genitnya menghampiriku, menggandeng tanganku.
"Kak Ridho kok sekarang jarang nelpon Vanya sih ? Vanya kan kangen sama suara merdu kakak." what??merdu?? Kidding me? Dia kira aku anggota paduan suara apa.
"Apaan sih lu Van, sono pergi. bel masuk udah bunyi tuh." usirku. tapi emang ya, pesona seorang Ridho tak akan pernah bisa terpalingkan untuk semua makhluk berjenis perempuan. udah diusir masih saja gak mau pergi. malah sekarang ngikutin ngintil dibelakangku. eeh lupa, kecuali sama gadis mungil penghuni kelas 1-2 itu saja seakan pesona kegantenganku tak berfungsi sama sekali.
**
Aku masih belum bisa mendekatinya. jangankan mendekatinya, berdekatanpun aku tak pernah bisa. seakan dia itu terlarang untuk berdekatan denganku. segala cara dan usaha sudah ku lakukan, hanya untuk sekedar bisa ngobrol dengan dia. tapi semua itu gagal total.
Sejauh ini aku hanya bisa sekedar menyapanya dari jauh saja. menjadi stalker disaat jam istirahat tanpa melakukan apapun. hanya mengikuti setiap aktifitas yang dia lakukan.
Entah apa yang dia lakukan padaku, selama aku menjadi siswa paling charming seantreo sekolahan. Belum pernah aku merasakan perasaan seperti ini. Selalu para gadis-gadis itu yang mengejarku, tapi sekarang aku yang mengejar-ngejar dia. Ok kali ini aku harus berhasil mengajak dia ngobrol atau palimg tidak, aku akan meminta penjelasannya karena sudah membuatku menjadi seperti ini.
Naah ini namanya pucuk dicinta, ulam tiba. Dia muncul dari arah perpustakaan.
"Langit.." sapaku sambil berlari menghampirinya.
Namanya Langit humairah, temam-temanya memanggil dia iit. Tapi aku lebih suka memanggil dia dengan nama belakangnya, humairah tapi berhubung kepanjangan, ku putuskan untuk memanggilnya 'mai'.
Dia menoleh ke arah ku, dengan wajah bingung seakan penuh dengan pertanyaan. tapi aku juga melihat disorot matanya seakan ada rasa ketakutan. what ?? tunggu. takut ? dia takut sama aku? ku dekati dia, hingga jarak kami sekarang mungkin tinggal 3 langkah kaki. dia melangkah mundur sambil menengok kanan kiri, seakan mencari perlindungan. jadi dugaanku benar, dia takut sama aku. tapi kenapa ? semakin ku dibuat penasaran akan tingkahnya.
"Mai tunggu, jangan pergi dulu." cegahku ketika dia sudah siap-siap melangkahkan kakinya pergi dari hadapanku.
Mai berhenti tapi pandangannya masih membelakangiku. "maa.....maaf, kakak. Mai mau kembali ke kelas dulu." cicitnya. sekarang dia sudah menghadap ke arah ku tapi dengan wajah menunduk, suaranya pun bergetar. kenapa sih anak ini. emang aku semenyeramkan itu baginya ?
"Kamu takut sama aku Mai ?" kataku langsung. dia masih menduduk dan tak menjawab. ku ulangi lagi "Mai, kamu takut sama aku ?" baru dia seakan tersadar dari entah apa yang menjadikan dia sibuk dengan pemikirannya sendiri.
"Buu....bu bukan gitu kak. Langit tidak takut kok sama kakak."
"Terus kenapa setiap kakak panggil, kamu gak pernah mau berhenti dan menyapa kakak kembali. kamu benci sama kakak ?" todongku dengan tidak sabar. setiap aku menanyakan sesuatu, pasti dia tidak langsung menjawabnya melainkan hanya diam dan mengambil nafas sebanyak-banyaknya kemudia baru dia menjawab.
"Ti...tidak, Langit tidak membenci kakak. maaf. apa Langit boleh pergi kak ? iii..itu bel masuk sudah berbunyi." aku hanya bisa menghela nafas. terpaksa aku membiarkannya pergi. tapi tidak untuk lain kali, aku harus bisa menemukan jawaban atas sikapnya ini. mau dibilang aku ini cowok kepo. bodo amat. ke kepo an terkadang tidak selamanya ingin tau urusan orang lain tapi bisa jadi itu adalah rasa simpati dan empati pada seseorang.
**
Hari-hari terakhirku memakai seragam putih abu-abu akan segera berakhir. ujian kelulusan sekolah sudah selesai dari 5 hari yang lalu. sekarang bagi kelas 3, hari ini adalah hari tenang. setelah mempertaruhkan hasil belajar selama 3 tahunnya hanya pada soal-soal sebanyak 50 butir. tidak adil memang. bagaimana bisa kelulusan hanya ditentukan oleh itu saja.
Sejak 2 minggu obrolan pertamaku dengan dia, dan sejak itu pula dia masih tetap seperti Mai yang dulu. seakan terlarang berdekatan dengan ku. tapi tidak dengan ku. aku semakin penasaran sama itu anak. dan sudah 2 hari ini aku mengikuti dia sampai pulang ke rumahnya. ternyata jauh juga rumah dia. hampir butuh 1 jam untuk sampai dirumahnya. rumah sederhana berpagar dari kayu bambu.
Dia sudah memasuki rumahnya. tapi aku masih menunggu di bawah pohon mangga depan rumahnya agak jauh sedikit. memperhatikan rumah itu. sepi. pintunya tertutup. seakan tidak ada kehidupan didalamnya.
Baru ku putuskan untuk pergi, di sana. dari dalam rumah itu, Mai berlari keluar dengan menangis. wajah ketakutannya dan yang semakin membuatku kaget, bibirnya keluar darah. segera ku turun dari motor butut ku dan berlari menghampiri Mai.
"Mai..." sapaku. dia kaget.
"Kak Ridho." baru kali ini dia menyebut namaku. senyumku merekah. "Kak Ridho bawa Mai pergi dari sini, nikahi Mai." seakan mendengar gelegar petir disiang bolong. ucapan Mai sukses membuatku syok. aku terdiam, linglung. apa-apaan ini ?
"Lupakan kata-kata Langit tadi, kak Ridho cepat pergi dari sini, sebelum orang itu datang. cepat pergi kak." belum sempat aku menjawabnya, dia sudah memotongnya lagi. aku semakin dibuatnya linglung. tak mengerti situasi seperti apa ini. ada apa dengan dia ? kenapa menangis ? kenapa ada darah diwajahnya? kenapa? kenapa? kenapa?
Dia terus mendorongku untuk keluar dari pekarangan rumahnya. aku masih tetap terdiam, tercengang melihat adegan selanjutnya. sesosok laki-laki keluar dari rumah dan menggeret paksa Mai untuk memasuki rumah itu kembali.