Wanita dengan anak kecil di gendongannya, dia wanita yang sama seperti pertama kali aku mengenalnya. Senyuman itu masih sama, malu nya dan tutur lembut gerak-geriknya masih sama seperti dulu. Dia kembali menjumpai dalam hidupku setelah 15 tahun tak pernah bertemu lagi sejak kejadian itu. Langit Humairah.
Masih menatapnya dari seberang jalan. dia bersama bayi perempuan berusia kira-kira 8 bulan didalam gendongannya. senyum cerahnya ketika berbicara dengan si penjaga toko kue. ku dekati, tapi masih dalam jangkauan yang aman dari pandangan dia.
Di tempat ini, aku bisa mendengar percapakannya meskipun samar-samar. keakraban mereka, saling melempar gurauan hingga kertawanya yang masih dalam tahap cekikikan.
"Ummi...ummi, kakak nakal. adek gak boleh pilih kue yang banyak coklatnya." celotehan anak kecil dari arah konter sebelah sisi kanan tempat Mai dan temannya itu berbicara. siapa anak kecil itu ? anak Mai juga ? OK positif thinking dulu. anggap anak kecil tadi adalah bukan anak Mai.
"Adek kan giginya udah banyak yang copot ummi, jadi A'am larang ambil kue itu." satu lagi anak laki-laki seusia anak yang pertama keluar dari konter etalase kue. ditangannya memegang sumpit penggapit kue.
Kembar ? jadi anak kecil tadi kembar ? lucu dan menggemaskan.
"Tapi A'im pengen ummi. kemaren A'im kan udah ke Om Wisnu. kata beliau, nanti gigi A'im bisa tumbuh lagi." kekeuh anak yang pertama keluar tadi. Mai dengan lembutnya membelai kepala anak yang menyebut dirinya A'im. ternyata benar kembar, bahkan kurasa mereka kembar identik. mungkin aku tak akan bisa membedakannya jika mereka berdua memakai kopyah yang sama.
Ku amati mereka berdua. mereka sangat mirip Mai, tapi dengan jenis yang berbeda. mereka laki-laki dan Mai perempuan. lesung pipi mereka juga menambah kemiripan antara mereka bertiga.
"A'im boleh memakannya, tapi sedikit aja ya sayang."
"A'am juga ya ummi ?"
"Iya....tapi ijin dulu sama amma (tante) ya ?"
"Baik ummi."
"Amma, A'am boleh minta kue coklatnya ?"
"A'im juga ya amma ?"
Wanita yang sedari tadi berbincang dengan Mai, tersenyum. kemudian menggandeng bocah kembar itu. "Ayoo amma ambilkan."
Aku tercengang, kaget, bahagia, sedih semuanya bercampur jadi satu hanya melihat wanita yang ada dihadapanku sekarang. dia kembali ? tapi siapa anak-anak kembar dan yang ada di dalam gendongannya itu ? anak-anaknya kah ? berarti dia sudah menikah ? sama siapa ? aah beribu-ribu pertanyaan seakan memenuhi seluruh otakku. tak mampu berfikir dengan jernih.
Jadi aku terlambar. sudah tak ada kesempatan lagi. benar-benar terlambat ? seandainya dulu aku bukan anak remaja ingusan yang terkena gertakan sedikit saja sudah kabur. seandainya waktu itu, aku mengajaknya kabur dari rumah mengerikan dan menyetujui langsung ajakannya. seandainya aku punya keberanian untuk menyelamatkan dia dari laki-laki itu. tapi, aku tetaplah anak remaja ingusan yang tak siap menghadapi kenyataan didepan mata. remaja yang tak mengerti apa itu rasa cinta. remaja yang hanya berbekal ego saja. menjudge apa saja yang dikiranya pantas untuk dia sebuat cinta. cinta remaja, cinta yang tanpa pondasi yang kuat. mengkambing hitamkan sebuah fitrah dengan melegalkan atas aktifitas yang disebut pacaran.
"Kak Ridho." teriakan super cetar dari seberang jalan membuyarkan segala lamunanku. suara Mona. dia belum pergi juga dari tadi ?
Belum sempat aku melemparkan kode pada dia, agar tak menyusulku kemari. sekarang dia malah sudah berlari menuju tempatku persembunyianku dari Mai. "Kak Ridho kok masih disini sih, katanya tadi ada urusan penting ?" cerocosnya dengan nafas ngos-ngosannya. udah tau kehabisan nafas tetap saja nyerocos.
"Gak jadi, udah dicencel." jawabku asal. Mona menatapku curiga.
"Kakak boong ya tadi ?"
"Tidak, kenapa mesti bohong."
"Ya siapa tau kak Ridho boong demi menghindari Mona."
"Apaan sih lu Mon, siapa yang menghindar ? kita kan belum menyepakati perjodohan kita. jadi kenapa gue harus menghindar dari lu."
"Lho emang kak Ridho gak mau ya dijodohin sama Mona ?"
"Kan gue udah bilang Mon tadi. gue kesini hanya memenuhi permintaan emak. klo masalah perjodohan ya lihat entar aja dulu." ku lihat tatapan Mona jadi kecewa. tapi bagaimana lagi. aku masih belum siap dijodohin. masak harus maksain diri sih. "Sorry Mon, bukan maksud gue buat lu kecewa. tapi gue emang belom siap untuk di jodohin Mon." lanjutku. berharap dengan penjelasan ini Mona tidak akan kecewa lagi.
"Mbak Langit." seru Mona.
Ku lihat dia sudah melangkahkan kakinya pergi dari hadapanku. haaah dasar Mona, jadi dari tadi Mona gak dengerin penjelasanku ? tapi sebentar. dia tadi memanggil nama Mbak Langit ? Iit.....alias Langit Khumaira ? Mai ku ?
Benar. Mona sekarang menuju ketempat toko kue itu, dimana Mai dan temannya berbincang-bincang sedari tadi. Mona kenal sama Mai ??
Segera ku ikuti Mona. sudah kepalang ketahuan. saat ini Mai sudah mengetahui keberadaanku, jadi ya sudah sekalian aja menampakkan diri dihadapannya. tapi apa dia akan mengenaliku ? detakan jantungku tiba-tiab menguat memikirkan hal ini. bagaimana kalau Mai tak mengenaliku ? tidak. tidak boleh. Mai tidak boleh melupakanku.
"Mbak langir kok kesini gak bilang-bilang sih ?" lamunanku seketika buyar. jadi benar Mona mengenal Mai. ada hubungan apa antara mereka berdua ? saudaranya kah ? tapi seingatku dulu Mai seorang anak yatim, tinggal bersama laki-laki kejam itu tanpa saudara.
Sekarang, Mona, aku dan Mei sudah berada didalam toko kue yang sedari tadi menjadi tempat pengintaianku. Mai menoleh kearahku. dia mengenaliku kah ? "Hai..." sapaku bodoh. dia tersenyum. setelah itu kembali tatapannya diarahkan ke Mona. "tadi si kembar minta kue buatan ammanya, jadi deh mbak kesini." jelasnya lembut. oh Mai tau kah dirimu, betapa aku tak bisa melupakan tutur lembut mu itu. 15 tahun tak mampu mengenyahkan pikiranku akan sosokmu.
"Oiya mbak, kenalin ini kak Ridho. senoir Mona waktu kuliah dulu." mona memperkenalkan kami. belum tau dia kalau aku udah mengenal Mai bahkan sebelum aku mengenal Mona. "Kak Ridho ini mbak Langit, kakak ipar Mona."
Laksana sambaran petir yang memupuskan harapanku. sekali sambar mati langsung. itulah yang kurasakan saat ini. ketakutanku sedari tadi benar adanya. kesempatan itu sudah pergi bersama perginya sambaran petir yang sukses memporak-porandakan harapanku seketika.
Berharap setelah 15 tahun aku menantinya, akan ada masa aku bisa mempersuntingnya dengan layak. tapi sekarang harapan tinggallah harapan. harapanku layu sebelum berkembang.
Dia sudah menikah, bahkan dikaruniai 3 orang anak yang lucu-lucu. aku kalah. hati ku nyeri secara tiba-tiba. mengingat sekarang aku sudah tidak berhak untuk mengharapkan dia lagi. tertutup sudah kesempatan itu, bahkan terkunci. meratapi nasib percintaanku yang mengenaskan. memulainya saja belum, tapi sudah terkapar tak berdaya.
"Kak Ridho...hai kak Ridho kok malah bengong sih."
Sapaan Mona tak ku perdulikan. hati ku sudah terlalu perih. ingin segera menghilang dari hadapannya, meratapi keterlambatanku. katakanlah aku laki-laki cengen ataupun lebay. aku tak perduli. saat ini hati ku benar-benar nyeri seakan tercubit oleh benda tajam bernama tang.
**