One

81 17 12
                                    

"Semua udah siap, Pah?" suara itu samar terdengar dari balik jendela. Dua orang yang tidak asing dengan raut serius sedang berbincang di hadapannya secara diam-diam. "Sudah, Ma. Mama tenang aja."

Apa maksudnya?

"Mama khawatir soal Arsen--" yang disebut pun muncul dengan ekspresi datarnya. "Ada apa nih?" yang ditanya justru diam tidak menjawab.

"Hello?? Arsen nanya kok di cuekin?" tanyanya sekali lagi membuat sepasang suami istri di hadapannya kini saling bertukar pandangan. "Ada yang disembunyiin dari Arsen?" tanyanya untuk kesekian kali, tidak lupa dengan raut mengintimidasi.

"Ya udah kalo emang nggak mau jawab. Yang penting hal itu nggak ngerugiin Arsen, Arsen setuju." lugas nya karena malas terlalu banyak omong. Arsen mulai beranjak dari ruangan tersebut dengan langkah besarnya, "Arsen..." perempuan yang disebut sebagai mamanya itu angkat bicara.

Pemuda itu menoleh dengan senyum tipisnya, "Ya?" jawabnya. 

"Kita pinda-h. Harus pindah." ujar mamanya dengan hati-hati lalu menghela napasnya pelan sebelum akhirnya berani menatap lebih dalam lagi mata tajam milik putranya.

Pemuda itu mematung dengan rahang mengeras dan mata yang mulai panas. "Kapan Arsen bisa stay di satu tempat sih, Mam, Pa?" ucapnya dengan raut wajah kacau. "Arsen nyaman disini. Arsen nggak mau lingkungan baru. Bukan sekali-dua kali Arsen ngalamin hal kayak gini dan ngulang semuanya lagi dari nol." Pemuda itu mengeluarkan seluruh isi kepala dan keinginannya. Dia benar-benar lelah dalam hal ini.

"I'm sorry, Arsen. I couldn't do anything. Ini pekerjaan Papa." jawab laki-laki cukup berumur itu dengan raut lesu merasa bersalah. "Arsen tetap mau di Bandung sama Oma." lugas pemuda itu dengan tatapan dingin.

"Arsen..." wanita itu berusaha meraih lengan Arsen namun Arsen lebih dulu pergi dari sana tanpa sepatah katapun lagi. Wanita itu termenung merasakan apa yang putranya rasakan, sangat sangat melelahkan memang.

"Papa bakal bicarakan ini dengan Arsen. Mama nggak perlu khawatir. Sekarang kita tidur ya." Wanita itu mengangguk pelan, membayangkan betapa gelapnya malam ini untuk Arsen. Arsen anak yang baik dan penurut baginya, namun hak berpendapat semakin banyak Arsen gunakan seiring beranjak dewasa. Itu sangat wajar dan memang harus dilakukan.

###

Pantulan wajah dengan rahang kokoh dan hidung mancung tercetak jelas di depan jendela balkon rumahnya. Namun, ada air mata yang tidak bisa Ia sembunyikan di pelupuk matanya. Arsen lelah, sangat lelah dengan hal yang terus menerus terjadi berulang kali. Sampai kapan ini terjadi? Kapan Arsen bisa memegang kendali untuk segala keinginan dan hidupnya itu?

Langit gelap yang selalu menjadi teman untuknya justru lebih mengerti apa mau hati dan isi kepalanya. Tidak ada lagi yang bisa Ia lakukan selain menjadi anak yang penurut untuk keluarga kecilnya itu. 

"Sen!" yang dipanggil tidak menyaut, menoleh pun tidak. "WOI!" Bima menyenggol bahu pemuda judes ini. "Apaan sih?!" jawaban itu lagi, Bima menggeleng kepalanya tidak heran.

"Judes banget lo kayak cewe PMS!" gerutu Bima membuat Arsen berdecak pusing. "Apaan?" tanya Arsen kembali. "Lo kenapa pagi-pagi muka udah di tekuk kayak origami?" tanya Bima dengan nada penasaran sekaligus mengejek.

"Kalo lo disuruh pindah karena ikut bokap kerja, lo lawan atau nurut?" tanya Arsen yang belum menjawab pertanyaan Bima tadi. Bima menunjukan raut berpikirnya itu, "Hmmm.."

"Tergantung. Kalo emang ada alasan kuat gue harus pindah, ya gue ikut. Tapi kalo nggak, ya gue stay disini itupun kalo bbbokap kasih izin yaa." Arsen berdecak kembali, itu semua jawaban tidak ada bedanya. Semua atas izin orang tua, dasar Bima bego.

Voyage (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang