Five

21 9 1
                                    

"Kak Arsen kenapa melamun? Sendirian pula, nanti kesambet loh." Arsen yang sadar akan kehadiran anak kecil itu tersenyum manis dan menoleh.

"Siapa yang ajarin?" tanya Arsen. Anak kecil itu menunjukkan ekspresi bingungnya, "Ajarin ngomong?" 

Arsen kembali tertawa kecil dan menggelengkan kepalanya pelan. "Bukan, ajarin soal kesambet." ucapnya membuat anak kecil itu bergumam lalu berpikir dengan ekspresi lugunya.

Arsen semakin gemas dengan tingkahnya kemudian mencubit pipi anak itu dengan lembut. Sesederhana itu alasan Arsen tersenyum tapi kenapa susah sekali mendapatkannya?

"Di ajarin Rora." jawab anak kecil itu dengan ekspresi sumringahnya membuat Arsen diam tanpa ekspresi apapun.

"Rora yang pahlawan mati listrik?" tanya Arsen ragu membuat anak kecil itu mengangguk yakin dan tersenyum lebar.

"Dia sering kesini?" tanya Arsen lagi membuat anak kecil itu mengangguk. Di rasa sudah terlalu kepo, Arsen berhenti dengan pertanyaan yang menggantung di kepalanya itu. Lalu kembali pada pandangan di depannya dengan tenang, berusaha membuang apa yang mengganggu pikirannya akhir-akhir ini.

Hasil dari essay-nya belum juga keluar, membuatnya semakin ragu akan mimpinya untuk bebas dan pergi dari sisi kelamnya ini.

Hanya Rumah Belajar yang dapat membuatnya lebih tenang sekarang. Arsen tidak sedang menyerah. Arsen hanya khawatir untuk hal-hal yang memang perlu dikhawatirkan.

"Yuk, Kak. Makan." Arsen mengangguk lalu mengikuti kemana langkah mungil itu pergi. Bu Sri yang sudah berdiri di depan daun pintu itu tersenyum hangat menyambut Arsen, Arsen tidak bisa bohong hatinya terluka melihat senyuman sehangat itu.

"Arsen baik-baik aja kan?" tanya Bu Sri memastikan membuat Arsen yang sedang kacau pikirannya itu tersenyum kikuk. "Iya, Bu." Bu Sri mengelus pelan bahu Arsen seolah tahu Arsen berbohong dan berusaha menyembunyikannya.

"Nggak papa kalo emang lagi nggak baik-baik aja, Sen. Manusia kan terbatas, kalo sedih ya sedih aja." ucapan itu membuat Arsen menghela napasnya panjang.

"Arsen nyoba untuk positif aja, Bu." jawabnya dengan memandang makanan yang berasa di atas piring.

"Toxic positivity." 

Arsen menoleh mendengarnya, "Iya. Itu maksa namanya. Kapasitas kamu segini, tapi kamu malah nambah-nambahin. Orang kuat nggak ngelakuin hal itu." ucapan itu membuat mata Arsen terbuka lebar.

Apakah benar apa yang diucapkan oleh Bu Sri?

"Ibu suka baca buku tentang self help, dan kamu juga harus. Jaga mental kamu, Sen." Arsen diam dengan pikiran kosongnya, bahkan Arsen tidak sadar bahwa ia belum seluas itu untuk mengenal dirinya sendiri. Ia masih sangat jauh dari perkiraannya.

"Ibu ambilkan ya, buat kamu. Sekarang kamu makan dulu biar nggak makin pusing." tutur kata Bu Sri menenangkan Arsen membuat Arsen lahap menyantap makanan di atas piringnya.

Arsen mencoba memikirkan apapun yang menyakitinya, berusaha larut disana agar letih sendiri dengan isi kepala dan perasaan kacaunya.

Tubuh wanita dengan selendang di leher yang berada di depannya kini menghamburkan pikiran Arsen, Bu Sri kembali dengan beberapa buku di tangannya.

"Ini buku self help yang Ibu punya. Ibu yakin Arsen juga punya di rumah." Arsen membuka satu persatu buku yang diberikan oleh Bu Sri di atas meja. Arsen diam lalu memandang kembali Bu Sri seolah memberi jawaban. 

"Arsen nggak punya." ucapan itu membuat Bu Sri mengernyitkan dahinya, "Arsen terlalu fokus—"

Bu Sri memotong. "Nggak papa, Ibu ngerti. Ambil yang Arsen butuh. Buat Arsen lebih mengenal siapa diri Arsen." 

Voyage (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang