Eight

11 2 0
                                    

Jangan lupa tinggalkan jejak <3

---

Suara sandaran kapal terdengar, kini Arsen telah tiba di kota barunya, tempat yang benar-benar baru untuk hidupnya. Hatinya belum terlalu siap untuk itu, sekarang yang bisa ia lakukan hanyalah pasrah dengan waktu. Ia membiarkan keadaan yang membawa dirinya pergi entah ke arah mana. Ia tidak akan mengelak lagi.

"Dek, laper?" Diana menoleh ke belakang lalu memberikan sebungkus roti sobek yang dibelinya di supermarket tadi.

Arsen menggeleng pelan, Diana kembali menarik lengannya dengan bungkusan roti di atasnya.

"Mau ngopi?" Anton melirik wajah Arsen dari kaca spion tengah, sedikit melunak untuk hari ini. Berusaha menjadi manusia pengertian walaupun tidak merubah pandangan Arsen padanya.

Arsen menatap kembali mata ayahnya itu dari kaca spion tanpa arti, wajahnya murung sejak tadi.

"Iya yuk, kita ngopi aja." Diana berusaha mencairkan suasana yang sungguh canggung antara ayah dan putranya.

Arsen tidak menjawab apapun, dirinya hanya diam. Arsen pikir buat apa ia memutuskan sesuatu yang ujungnya tidak akan pernah di dengar. Ia sudah terlalu lelah.

Wangi kopi yang semerbak memanjakan hidung Arsen. Ia senang dengan harum kopi, menenangkan hatinya yang gundah sejak tadi malam. Perjalanannya cukup panjang karena ini kali pertamanya Arsen menginjakkan kaki di kota Bandar Lampung.

Tidak terlalu ramai seperti kota Jakarta ataupun Bandung.

Arsen menghela napasnya pelan, berusaha menikmati hot coffee yang ada di cangkirnya sekarang.

Melepaskan rasa penatnya disana dan berharap semua akan membaik. Semua percakapan antara hati dan otaknya terlalu membuat dirinya sesak. Bahkan untuk bernapas saja sulit.

"Mau cookies?" Diana bertanya seperti Arsen masih berusia 5 tahun. Arsen mengangguk pelan, belum terlalu banyak bicara karena lidahnya sulit bergerak jika sudah bad mood.

Diana beranjak dari bangkunya dan kembali ke meja kasir seperti memesan sesuatu yang Arsen nantikan. Arsen menjelajahi sekitarnya dengan mata tajamnya itu, tidak ada keanehan apapun. Sunyi dan cukup tenang.

Coffee shop yang pertama kali sesunyi ini untuk Arsen. Beberapa orang hanya sibuk berkutat dengan laptop dan tugas di atas mejanya. Tidak ada yang tertawa ataupun bergosip ria.

Arsen, pemuda dengan bakat observasi handalnya. Ia pandai mengamati sesuatu dan bagaimana sesuatu itu bergerak lalu menghasilkan.

"Gimana essay kamu untuk ke Germany?" Anton menghancurkan pengamatan Arsen dan sukses membuatnya terkejut. Dari mana Anton tahu hal itu?

"Papa udah tau." rahang Arsen mengeras, siapa yang berani memberitahunya tentang hal itu? Arsen benci hal yang akan terjadi setelah semua ini. Anton pasti tidak akan setuju.

"Arsen belum cek email dari minggu lalu." jawabnya menunduk berusaha mengalihkan agar kritik dari Anton tidak keluar.

Ia tidak membutuhkan kritik ataupun masukan dari kedua orang tuanya ini, ia yakin mereka hanya bisa menyudutkannya, mengingatkannya untuk melupakan semua keinginan dan mengubur impiannya. Arsen tidak akan pernah sudi.

"Kabarin Papa kalo hasilnya sudah keluar." ucap Anton lalu menyeruput hot coffee yang ada di cangkirnya itu dengan nikmat membuat Arsen mengangkat pandangannya bingung.

Apa pentingnya untuk laki-laki berumur di hadapannya ini?

Anton mengatup bibirnya, "Tapi Papa tetap berharap kamu disini. Sama Mama dan Papa." Arsen menatapnya dengan tatapan kecewa. Kenapa harus dilontarkan sekarang perkataan semacam itu?

Voyage (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang